Film ini mengingatkan saya ketika mengikuti ajang olimpiade sains saat masih duduk di Sekolah Menengah Atas. Ikut bersaing dengan anak-anak seumuran, dengan berkompetisi dari tingkat sekolah, regional, provinsi, sampai bercita-cita bisa ikut level nasional dan internasional. Olimpiade sains kala itu adalah sebuah real deal di sekolah saya. Kembali ke topik, serupa dengan olimpiade, ada salah satu science fair tertua di dunia yang terbilang cukup bergengsi. Lewat “Science Fair,” penonton akan diajak menyaksikan perjalanan beberapa peserta dari beberapa negara yang sedang berjuang dalam kompetisi International Science and Engineering Fair (ISEF).

Di awal cerita, penonton akan berkenalan dengan seorang asian american bernama Anjali yang berasal dari Louisville, Kentucky. Gadis berusia 14 tahun ini sedang mempersiapkan projek keilmuannya, yaitu membuat sebuah sebuah alat sensor untuk mengukur kadar arsenik pada air. Ia mengatakan jika Ia alat sensor ini bermanfaat mencegah potensi terjadi kanker dari arsenik. Untuk ukuran anak seumurnya, mungkin apa yang dilakukan Anjali terbilang luar biasa. Maklum, Ia berasal dari Dupont Manual High School, salah satu sekolah unggulan di Kentucky yang memang terfokus dengan penelitian ilmiah. Baiknya lagi, sekolah ini sedang mengadakan kualifikasi ISEF yang diikuti 290 peserta. Anjali termasuk satu didalamnya untuk memperebutkan empat posisi ke babak internasional.

science fair
Courtesy of Muck Media © 2018

Babak kualifikasi di Dupont Manual juga diikuti oleh tiga siswa senior bernama Harsha, Ryan dan Abraham. Tidak sama seperti cabang keilmuan Anjali, ketiganya lebih terfokus ke pengembangan alat kesehatan. Mereka membuat sebuah stetoskop baru yang diaplikasikan dengan program dan machine learning.

Tidak hanya siswa-siswa asal Amerika Serikat saja. Film ini juga membawa penonton berkenalan dengan Myllena dan Gabriel, duo yang berusaha memberantas penyakit Zika dari Brazil. Yang menjadi menarik saat ketika keduanya berasal dari Iracema, salah satu daerah termiskin disana.

455 picture4
Courtesy of Muck Media © 2018

Film ini membawa penonton dengan beberapa sub-plot lainnya. Ada Dr. McCalla dari Jericho High School, yang berhasil meloloskan banyak murid ke ISEF, Kashfia si minoritas introvert berprestasi yang kurang dihargai, Robbie yang suka memodifikasi kalkulator, sampai Ivo dari Jerman yang mengembangkan flying wings yang kerap populer di tahun 30-an. 90 menit “Science Fair” lumayan membagi porsi karakter-karakternya dalam menghadapi hal yang bersamaan dengan sudut-sudut berbeda.

Tidak hanya siswa-siswi ini saja, film yang disutradarai oleh Cristina Constantini dan Darren Foster ini juga membahas lebih dalam tentang science fair, dengan melibatkan alumni-alumni dari masa ke masa yang merupakan pencetak rekor. Juga, film ini menyingkap bagaimana pentingnya penelitian ilmiah sebagai penggerak ilmu pengetahuan sekaligus untuk negara dan juga penelitinya sendiri. Misalnya saja bagaimana prestasi mereka juga membuat mereka berhasil masuk ke dalam universitas favorit mereka.

455 picture5
Courtesy of Muck Media © 2018

Mengutip ucapan Dr. McCalla di film ini “Having opportunity to international competition, you should win!” Ucapan ini membawa saya ke dalam pemikiran bahwa kita tidak cukup jika hanya mendapatkan ‘kesempatan’ saja, tetapi juga harus jadi yang terbaik. McCalla merupakan simbol bagaimana Ia berhasil menginspirasi murid-muridnya bahwa jika kita terus bekerja keras tentu akan berbuah dengan baik.

Sehabis memperkenalkan satu per satu, film ini kemudian membawa penonton untuk ikut merasakan bagaimanya hype dari ISEF. Saat 1,700 peserta dari sekian banyak cabang keilmuan, yang lolos dari 425 babak kualifikasi regional berkumpul dan menyandingkan kembali penelitian mereka. Cukup seru rasanya saat melihat bagaimana waktu penjurian yang semakin dekat yang memberi tekanan yang berbeda-beda ke para peserta.

455 picture2
Courtesy of Muck Media © 2018

Film dokumenter ini membuktikan betapa pentingnya kerja keras dan ketekunan, dan jika pendidikan adalah kunci menuju gerbang kesuksesan. Film ini menyadari penonton jika science fair merupakan sebuah sarana latihan bagi para siswa untuk menjelaskan penelitian mereka ke para ahli, serta dikritisi sebagai seorang kolega.

“Science Fair” berhasil menginspirasi dan mengajarkan banyak poin positif yang perlu ditiru. Mulai dari bagaimana ‘kekalahan’ tidak perlu dipandang sebagai hal yang negatif. Anjali memandang kekalahan tidak membuatnya berhenti, dan Ia menyadari jika Ia tetap hanyalah seorang anak biasa dan berarti ada yang masih lebih baik darinya. Begitupun ketika Ia mengkritisi jika banyak anak-anak dengan proyek penelitian yang lebih fantastis dari miliknya, namun kurang berhasil dalam menjelaskan dengan baik apa yang ingin mereka sampaikan.

455 picture3
Courtesy of Muck Media © 2018

Saya lumayan terhanyut dengan sentruman-sentruman berspirit positif di sepanjang film ini. Rasanya seperti dapat merasakan bagaimana rasanya ketika berhasil memenang sesuatu, setelah melewati banyak babak sekaligus pressure stress sepanjang kompetisi. Film ini patut ditonton para siswa di Indonesia. Saya berharap jika para siswa yang menyaksikan film ini semakin diasah semangatnya untuk mau mengembangkan kapasitas mereka. Seperti kata Anjali yang menjelaskan bahwa terlalu banyak yang diberikan dunia untuknya, sehingga Ia perlu membalasnya lewat penelitian-penelitian. So emotional and inspiring!

Science Fair (2018)
PG, 90 menit
Documentary
Director: Cristina Constantini, Darren Foster
Writer: Cristina Constantini, Darren Foster, Jeff Plunket
Full Cast: Jack Andraka, Anjali Chadha, Ryan Folz, Harsha Paladugu, Abraham Riedel-Mishaan, Kashfia Rahman, Ivo Zell, Robbie Barrat, Myllena Braz da Silva, Gabriel de Moura Martins, Dr. Serena McCalla

#455 – Science Fair (2018) was last modified: September 25th, 2022 by Bavner Donaldo