Setiap hari, seiring bertambah tuanya bumi, semakin padat penduduknya. Pertanyaan yang kerap muncul adalah bagaimana merawat bumi bagi generasi penerus. Menjaga ekosistem adalah salah satunya. Kali ini, sebuah suguhan berjudul “All That Breathes” akan membawa penonton menyaksikan sebuah dedikasi dua pria dalam menjaga eksistensi burung dari Kota Delhi yang rumit.
Lho, kok burung? Kalian memang tidak salah membacanya. Kita akan berkenalan dengan dua pria kakak beradik, bernama Mohammad Saud dan Nadeem Shehzad. Di rumah mereka yang cukup padat, sehari-hari mereka akan mendapatkan kiriman burung-burung kites yang terluka. Burung-burung ini jatuh dan perlu mendapatkan perawatan. Kondisi klinik jadi-jadian yang terbilang banyak keterbatasan tidak menghalangi semangat keduanya.
Di dalam kepercayaan India, merawat kites adalah bagian dari pahala. Burung ini merupakan predator karnivora yang memakan daging. Di tengah hirup pikuk kota Delhi yang padat, burung-burung ini juga meramaikan kota ini. Lalu, apa kontribusinya? Perubahan alam yang begitu dinamis, membuat kawanan burung ini harus beradaptasi. Mereka pun menjadi salah satu pengurai sampah di tempat pembuangan akhir. Dalam sebuah dialog, burung-burung ini setidaknya berkontribusi untuk mengurangi 15 ton sampah.
Akan tetapi, semuanya itu tidak seindah yang didengar. Walaupun Saud dan Nadeem sudah mendapatkan liputan dari The New York Times, mereka juga mendapatkan banyak halangan. Misalnya saja, perlunya dukungan dari para donatur, termasuk tukang daging, baik secara domestik ataupun internasional dalam mendukung kegiatan mereka. Salah satu yang diperlihatkan dalam “All That Breathes” keduanya mendapati aplikasi FCRA, yaitu pengajuan untuk mendapatkan pendanaan dari luar ditolak. Ini artinya, mereka harus menunggu 1 tahun untuk melakukan pengajuan lagi.
Yang menarik, “All That Breathes” benar-benar akan membawa penonton menyoroti Kota Delhi. Salah satunya seperti bagaimana kekerasan terkait agama yang masih terjadi di sekitar pemukiman tokoh sentral kita, ataupun juga fenomena banjir yang terjadi di tengah periode Monsoon. Alhasil, Saud dan Nadeem harus menggunakan batu bata di setiap tempat pijakan mereka di rumah. Terlihat ribet, tapi ini yang dilakukan masyarakat sekitar, yang tak heran rumah-rumah mereka merupakan bangunan-bangunan tinggi.
Tak hanya itu, masalah kualitas air sampai kualitas udara juga tak lepas dari sorotan film ini. Yang membuat saya menarik adalah dialog natural dari kedua karakter utama, yang memperlihatkan akan kekhawatiran mereka terhadap ancaman yang sering terjadi. Seperti saat pembuka cerita, ketika keduanya membahas potensi ancaman nuklir dari Pakistan. Atau, ketika membahas apakah kawanan kites akan beradaptasi untuk “menyantap” manusia ke depannya bisa kehabisan makanan, dan hal-hal lainnya.
Secara penyajian, “All That Breathes” terasa unggul dari penyajian shot-shotnya, yang dikemas indah dalam memperlihatkan hal yang tak indah. Detil-detil ini didukung dengan tata suara yang menggelegar, yang membuat penonton akan dipenuhi dengan suara cicitan burung, tikus, dan hewan-hewan lainnya. Faktor inilah yang membuat film ini semakin terasa intense.
“All That Breathes” sendiri disutradari oleh Shaunak Sen, dan merilis pemutarannya di Sundance Film Festival, dan telah diputar di berbagai festival kenamaan lainnya, seperti Cannes, Sydney, Melbourne, Hong Kong, Zurich, sampai akhirnya masuk ke dalam nominasi Best Documentary Feature dalam ajang Academy Awards.
Simpulan saya, “All That Breathes” terbilang sebagai tontonan yang membuka mata kita bahwa hewan-hewan di udara juga perlu diperhatikan. Yang jauh lebih penting, adalah bagaimana menciptakan keseimbangan itu terjadi, dan peran manusia yang paling penting dalam menentukan masa depan bumi ini.