Merupakan karya perdananya, Xavier Dolan menghadirkan sebuah semibiographical lewat “I Killed My Mother.” Film ini dirilis di Cannes Film Festival, dan berhasil membawa nama Dolan menjadi salah satu Cannes Favourite hingga kini.
Cerita ini terfokus pada hubungan anak dan ibu. Hubert Peniel, yang diperankan oleh Xavier Dolan, merupakan seorang remaja laki-laki yang sedang mengalami masa kehampaan dalam hidupnya. Ia hidup bersama Ibunya, Chantale Lemming, seorang single mom yang diperankan oleh Anne Dorval. Setiap hari, Chantale akan mengantar putra tunggalnya pergi ke sekolah, sebelum Ia berangkat ke kantornya. Malangnya, Hubert dan Chantale kerapkali terjebak dengan argumen beda pendapat yang semakin memperkeruh hubungan keduanya.
Ketika Hubert merasa tidak mendapatkan kebahagiaan dari Ibunya, Ia mencari pelampiasan dari tempat lain. Ia memiliki pacar, Antonin Rimbaud, diperankan oleh François Arnaud, yang memiliki orangtuanya yang cukup toleran dengan putra mereka yang gay. Hubert juga memiliki seorang guru bernama Julie Cloutier, diperankan oleh Suzanne Clément, yang selalu mendukungnya, terutama di ranah seni. Yang pasti Peniel merupakan anak yang cukup bermasalah.
Salah satu yang membuat menarik ketika Julie menugaskan murid-muridnya untuk mengisi kuesioner yang menanyakan status orang tua mereka. Hubert kemudian meminta ijin untuk mengisi status tantenya dengan alasan Ia sudah tidak memiliki orang tua. Tidak disangka, Ia meluapkan emosi sang Ibu. Beberapa hari kemudian, Chantale sambil dengan topi dan jaket bulunya menghampiri kelas Hubert sambil berteriak kalau Ia menunggunya di jam pulang sekolah. Kocak. Aksi Tom and Jerry ini kemudian berakhir, dan Jerry pun berhasil kabur.
Menulis ceritanya di usia 17 tahun, seakan menjadi pelampiasan emosional Dolan. Kita akan menilai kalau Ia dan Ibunya memiliki hubungan yang kurang akur. Terlihat jelas, namun keduanya seakan tetap saling melindungi, sebuah similaritas dengan “Mommy.” Dari tiga film Dolan yang telah saya tonton, tiga-tiganya tetap mengartikan: kasih Ibu akan tetap ada sepanjang masa untuk anaknya.
Mungkin sebagian dari Anda akan menilai kalau film ini terlalu childish. Bisa saja ya, dan tidak. Namun, untuk ukuran sutradara film ini yang masih berusia 19 tahun, karya ini terbilang luar biasa untuk kelas pemula. Saya suka bagaimana adegan film ini bekerja dalam dialog penuh emosi. Dialog-dialog kasar, ucapan kasar, sudah jadi hal biasa dari film-film buatannya. Simbol-simbol penjelas pun sering menyela di sebuah adegan, memberikan kesan artistik tersendiri. And I like it…
Saya juga suka cara penceritaan film ini. Dialog-dialog yang ditampilkan dalam film ini kadang diperkuat dengan mengambil karakter yang sedang berbicara pada posisi sudut bawah kanan atau kiri layar. Juga kalau sedang bertiga, tiga-tiga aktornya seperti berada dalam posisi yang seimbang. Ataupun kadang, kamera akan berusaha semakin menjauh dalam rangka meninggalkan sebuah adegan. Hal ini tidak jadi sebuah kejutan, dan anda akan menyadari perkembangan kematangan penyutradaraan Dolan, apalagi ketika Ia lebih berhasil untuk mendramatisasi adegan seperti yang diperlihatkannya dalam “It’s Only the End of the World.”
Momen yang paling menyentuh buat saya adalah ketika sang Ibu mengantar putranya yang sedang kecewa berat ke bus stop tujuan asrama. Ketika putranya telah keluar dari mobil, Ibunya kemudian menyusul. Sosok Hubert yang sedang kecewa berat menanyakan alasan Ibunya, yang sebetulnya ingin mengantarnya dan dadah-dadah. Yang terjadi malah memicu luapan emosi Hubert, dan menanyakan pertanyaan sambil bernada tinggi, “What would you do if I died today?”. Chantale hanya terbisu. Seiring kepergian Hubert, Ia menjawab dengan pelan pada dirinya sendiri, “I’d die tomorrow.” Oww… oww… oww…
Penonton tidak bisa menyalahkan sepenuhnya pada sosok Hubert. Kadang, saya juga mencoba melihat dari sudut pandangnya. Sifat Chantale yang kadang plin-plan, tegaan dan juga mungkin tidak tepat sasaran dengan apa yang dikehendaki putranya. Di sisi lain, semangat pemberontakan Hubert yang berada di puncaknya, membuat Ia seakan kalap dengan keegoisannya. Saya masih merasa pertentangan di masa muda yang dihadirkan terasa cukup mengena, dan bagaimana kebutuhan akan pengakuan sebagai seorang dewasa begitu terlihat.
Tontonan sepanjang 96 menit ini termasuk cukup berkesan buat saya. Film ini memang dikemas seperti sebuah film festival, dan dipadu penampilan akting yang lumayan memainkan emosi dengan penokohan dan dialog yang solid. Ini merupakan debut yang luar biasa! In the end, Hubert still was a boy… a boy…