Di featured film ketiganya, Xavier Dolan kembali mengajak penonton dengan tontonan bertema LGBT. Dalam “Laurence Anyways,” Dolan tidak berbicara mengenai topik gay yang sering diangkatnya, melainkan transgender. Menariknya, kisah yang dihadirkan dalam film ini akan lebih mempertanyakan kaitan hubungan kedua manusia, yang tidak hanya sebatas jenis kelamin ataupun gender mereka.
Pusat perhatian kita di film ini adalah karakter Laurence Aria, diperankan oleh Melvil Poupaud, yang merupakan seorang dosen sekaligus sastrawan berprestasi. Ia baru saja meraih penghargaan Michel Berthiaume Award atas karyanya. Baginya, itu hanyalah sebuah penghargaan kecil yang terlihat besar. Ia hidup bersama kekasihnya, Fred Belair, yang diperankan oleh Suzanne Clément. Fred, merupakan seorang sutradara iklan, dan dalam sebuah set Ia bertemu dengan kekasihnya di tahun 1987.
Penonton akan dibawa kembali ke tahun 1989, tahun di mana Canada harus mengalami penembakan di “Polytechnic,” sebuah kasus penembakan masal yang terkait dengan masalah feminism. Walaupun coba dikaitkan, tahun tersebut masih termasuk dalam masa-masa kurang bersahabat bagi para LGBT. Berbeda dengan saat ini, ketika semua sudah bisa dengan mudah menerima coming out seseorang, pada era tersebut para LGBT masih dianggap sebagai penderita keterbelakangan mental versi American Psychological Association.
Kembali ke tokoh sentral kita. Setelah merayakan penghargaan tersebut, tak lama kemudian Laurence berulang tahun. Ke-tiga puluh lima. Awalnya, Laurence mengira kalau Fred telah me-reserved di sebuah restoran untuk edisi makan malam spesial seperti ritual biasanya. Ternyata, Fred malah membawanya ke sebuah tempat, sambil ditutupi blindfold, dan memberikan hadiah. Ia membawa paspor dan memberikan tiket agar keduanya bisa menghabiskan 2 hari waktu kosong mereka di New York City. Akan tetapi, momen indah ini tidak seperti yang Fred bayangkan. Laurence sebetulnya telah menyiapkan sebuah rencana lain, sebuah pengakuan yang perlu diutarakannya. “It’s very important! I have to tell you. I can’t take it anymore! I’m dying!”
Tontonan yang berdurasi lebih dari 2 setengah jam ini memang butuh kesabaran tersendiri buat saya. Awalnya, saya merasa cukup bertanya-tanya dengan kisah yang ditulis oleh Xavier Dolan ini. Apakah Ia akan mengeksplorasi perubahan Laurence dari seorang laki-laki menjadi seorang transgender, atau hal yang lain. Ternyata, semakin masuk ke ceritanya, penonton tidak dibawa ke dalam sebuah kondisi yang mudah ditebak. Malah masuk ke dalam sebuah bahan yang sangat menarik untuk diangkat dalam diskusi: kaitan gender dan jenis kelamin.
Jujur, saya teringat dengan ucapan dari salah seorang teman dekat saya, kalau gender dan jenis kelamin berbeda. Mungkin bagi pandangan awam, ini adalah hal yang sama. Namun, bila ditilik lebih jauh, ini sangat berbeda. Saya juga kembali teringat saat di awal tahun 2017 National Geographic membahas tema “gender” sebagai topik utama mereka. Bahasan ini memang sudah bukanlah menjadi sebuah hal yang tabu. Malahan, kadang sudah menjadi sebuah hal yang biasa biasa ketika kita membahas mengenai LGBT, ataupun istilah-istilah lain seperti aseksual, queer, cisgender hingga pangender.
Kembali dengan cerita film ini, relasi antara Laurence dan Fred menjadi sebuah hal yang menarik. Mulai dari sudut pandang Laurence yang membuat dirinya harus tampil sesuai yang Ia inginkan selama ini: menjadi seorang perempuan. Ataupun sudut pandang Fred: yang masih ingin bersama Laurence dan merasa tidak mau dianggap sebagai seorang lesbian. Tetapi dari semuanya itu, Laurence tidak bisa untuk mengubah apa yang dianggap sebagai jati dirinya. Hal ini membuat saya teringat dengan peristiwa Bruce Jenner yang berubah menjadi Caitlyn Jenner, yang merasa setelah 66 tahun baru menyadari kalau Ia tidak hidup sesuai jati dirinya.
Dalam film ini, saya baru menyaksikan penampilan Suzanne Clement yang benar-benar kuat. Bila membandingkan dalam kolaborasi dengan Dolan di film lainnya, Clement lebih banyak hanya menjadi main supporting cast yang mudah mencuri perhatian. Tetapi disini, Ia bisa menunjukkan permainan aktingnya. Sedangkan, Poupaud yang berperan sebagai Laurence, terbilang lumayan untuk menghidupkan karakternya, apalagi lewat transformasi yang menjadi semakin “cantik.” Sayang, Ia terdominasi oleh Clement, yang lebih ekspresif dalam menghidupkan suasana ceritanya.
Tidak berbeda dengan film-film Dolan yang lain, sutradara berbakat ini menampilkan film yang rapi. Ia tetap bermain dengan shot-shot menarik, tajam, dan berseni. Kombinasi kostum para pemain juga sering dikaitkan dengan latar belakang adegan, seperti yang bisa kita lihat pada adegan makan malam Laurence dan Fred. Juga, dalam film ini Ia mencoba teknik zoom in zoom out dengan cepat, serta banyak berani untuk mengambil adegan dari kejauhan. Yang saya sukai, penyajian film ini lebih baik di dua film terdahulunya, dengan editing dan sinkronisasi yang lebih rapi.
Suasana slow motion juga jadi salah satu dramatisasi yang digunakan di film ini. Apalagi ketika ini ditambah dengan sorotan lampu satu warna yang dominan. This is awesome! Yang saya maksud ini adalah saat adegan Laurence memasuki sebuah pertokoan yang gelap. Dengan pencahayaan merah yang tajam, dan permainan ekspresi tokoh-tokoh figuran di toko tersebut, seakan memberikan nuansa artistik tersendiri. Begitupun saat penonton dihadirkan pada sorotan kamera beberapa orang yang tiba-tiba terpana dengan Laurence yang sedang berjalan dan tidak tertangkap kamera. Permainan mata dan variasi ekspresi seakan menggambarkan ragamnya reaksi orang-orang ketika melihat seorang transgender.
Satu hal yang juga tidak boleh tertinggal adalah bagaimana penerimaan akan coming out seseorang itu tidak mudah. Kita akan melihat kalau aksi berani Laurence cukup akan memancing banyak hal yang membuat dirinya harus mengorbankan yang telah dinikmatinya. Mulai dari relasi dengan keluarganya, terutama Ibunya, lalu kekasihnya, juga pekerjaan dan murid-muridnya.
Buat saya, mungkin menyaksikan film ini tidak membuat saya seantusias saat menyaksikan karya Dolan yang lain. Juga, durasinya yang panjang. Ketertarikan saya dengan ceritanya baru meningkat di menit 45. Akan tetapi, saya masih mengapresiasi film ini. Walaupun mungkin tidak akan mudah untuk menjadi favorit orang banyak, penggarapan film ini terbilang baik. Sayang saja karena jalan ceritanya yang terbilang lama akan membuat penonton mudah bosan.
Namun yang hal paling menarik dari film ini adalah pandangan Laurence akan kehidupannya. Menurutnya, Ia adalah seorang wanita yang terperangkap dalam tubuh pria. Ia mencintai Fred, seorang wanita, dan Ia bukan seorang penyuka pria. Ia juga merasa tidak masalah karena Ia masih bisa ‘membuahi’ Fred, dan masih membangun keluarga. Walaupun berpakaian wanita, Ia ternyata masih mau berperan secara seksual sesuai dengan jenis kelaminnya. Hmm… sound too complicated.