Table of Contents
🇮🇩 Bahasa Indonesia – Original
Semakin berkembangnya teknologi, semakin pula media sosial menjadi-jadi. Fenomena masyarakat yang kini telah dihujani dengan ragam informasi yang beredar memberi tantangan akan lemahnya pemilahan mana yang benar dan mana yang salah. Di tengah ketidakjelasan tersebut, “Budi Pekerti” menawarkan suguhan kepada penonton akan betapa bahayanya media sosial melalui kisah seorang guru BK.
Namanya Prani, diperankan oleh Sha Ine Febriyanti, adalah seorang guru BK yang tengah berharap mendapatkan posisi sebagai wakasek kesiswaan. Sosoknya yang tegas menjadikannya seorang legenda di sekolah. Ia terkenal tidak memberi hukuman fisik, namun melalui sebuah refleksi. Sejak awal film ini, Prani memperlihatkan kepada penonton cara ia mendidik muridnya melalui hukuman yang cukup unik. Ia menugaskan sang murid untuk memutar rekaman ejekan yang dibuat pada temannya, untuk didengarkan pada tumbuhan. Sungguh unik.
Kehidupan Prani seakan menggambarkan potret malangnya nasib guru di negeri ini. Ia hidup mengontrak dan sedang menunggak. Belum lagi sang suami, Didit, diperankan oleh Dwi Sasono, tengah depresi semenjak hadirnya Covid dan kegagalan yang terus-menerus pada usahanya. Ia juga hidup ditemani putranya Muklas, diperankan oleh Angga Yunanda, yang merupakan seorang influencer terapi animalia; serta putrinya Tita, diperankan oleh Prilly Latuconsina, yang menyulap baju thrift shop menjadi labelnya sendiri.
Masalah berawal ketika Prani yang sedang mengantri untuk membeli salah satu jajanan kue putu yang legendaris. Sosoknya yang sudah kesal dengan antrian yang tak kunjung bergerak, semakin geram ketika mendengar adanya pihak-pihak yang seakan curang dengan menitipkan pesanan. Perempuan yang merasa dicurangi ini lantas meledak dengan ungkapan yang salah dimengerti. Ia pun kemudian viral dalam semalam.
Kisah “Budi Pekerti” ditulis dan disutradarai oleh Wregas Bhanuteja, sutradara muda berprestasi yang sebelumnya telah memikat penonton melalui karya “Photocopier.” Saya sendiri cukup terpukau akan film pendeknya yang berjudul “Prenjak,” yang sampai memenangkan Discovery Awards pada Cannes Film Festival tahun 2016. Di sini, Bhanuteja menawarkan sebuah cerita orisinal yang dikemas apik, terutama dalam menyorot masalah media sosial di tengah situasi pandemi Covid-19.
Membahas kisahnya, begitu banyak aspek yang menyelimuti film ini. Film ini membahas masalah depresi, yang membawa kita menjadi lebih sadar dengan well-being pasca pandemi. Film ini juga menyuguhkan kreativitas para guru dalam membangun lingkungan belajar secara online, misalnya lewat kompetisi virtual background, ataupun perayaan upacara. Film ini juga menyentil perilaku masa pandemi, seperti penggunaan standing picture ketika melakukan konferensi dengan alasan sinyal yang kerap dilakukan para siswa nakal. Yang paling menonjol adalah lautan cerita media sosial.
Mengulas bagaimana Ibu Prani mendadak tenar mengalahkan putranya, tentu jadi sorotan utama film ini. Yang membuatnya semakin rumit adalah bagaimana hadirnya ragam efek dari orang-orang di sekitarnya. Ada yang menambah emosi, ada pula yang mendukung. Kesemuanya ini dikemas cukup apik dalam penceritaan “Budi Pekerti.” Sampai-sampai, saya pun ikut emosi ketika film ini membawa Ibu Prani ke dalam situasi yang amat tidak mengenakkan.
Baiknya, alur yang dikemas pun hampir terasa seperti apa yang kita saksikan dalam realita. Ada video klarifikasi yang ternyata malah tidak berhenti, dan malah menjadi bola liar. Netizen yang malah mencari masa lalu, sampai-sampai keikutsertaan ragam pihak yang ingin memanfaatkan momen tersebut. Serangkaian fenomena inilah yang seakan menampar penontonnya untuk kembali berpikir, ‘apakah saya sudah bijak dalam menggunakan media sosial saya?’
Salah satu keberhasilan “Budi Pekerti” adalah pada sosok Ibu Prani itu sendiri. Penampilan Sha Ine Febriyanti dalam film ini terasa sungguh powerful. Ia menghadirkan kita dengan sosok guru yang tegas, yang namun tenggelam dalam segala kesulitan yang tak henti mengitarinya. Saya pula menyukai beberapa adegan artistik dalam film ini. Misalnya, ketika Prani memainkan ring light dan menyajikan wajahnya dalam ragam warna pada adegan; ataupun ketika ia tiba-tiba ikut menenangkan diri bersama muridnya di kolam kecil sekolah. Sungguh artistik!
Secara penyajian, “Budi Pekerti” hadir sebagai suguhan drama yang tidak kaleng-kaleng. Penyajian yang amat artistik membawa bagaimana tata sinematografi, tata suara, sampai editing menjadi begitu unggul dalam menghidupkan ceritanya. Dan sekali lagi, latar kota Yogyakarta menjadi sasaran utama dalam menghidupkan kisah ini. “Tilik,” “Losmen Bu Broto,” “Ada Apa dengan Cinta 2,” dan kini “Budi Pekerti” yang memberi rasa lewat dialek Jawa yang mewarnai dialognya.
Film yang meraih 17 nominasi pada Piala Citra ini memang menjadi bukti bahwa “Budi Pekerti” merupakan produksi serius yang mengesankan. Walaupun hanya berakhir dengan 2 kemenangan bagi Sha Ine Febriyanti dan Prilly Latuconsina, saya rasa kemenangan bagi keduanya cukup telak.
Pengalaman menonton yang dihadirkan “Budi Pekerti” terbilang luar biasa. Tak hanya menawarkan situasi yang tidak mengenakkan, segala rentetan peristiwa kerap membuat saya terus berefleksi layaknya murid yang terkena hukuman Bu Prani. Alhasil, film ini sendiri juga yang membuat penonton berpikir siapa yang sebetulnya bersalah.
Saya rasa, “Budi Pekerti” adalah sebuah tontonan cerdas! Pesan yang dihadirkan terasa amat reflektif. Penonton dapat menyimpulkan sendiri dan memahami betapa ganasnya dunia yang ada dalam genggaman kita. Mengutip ungkapan yang sering disebut: ‘kadang yang terlihat baik belum tentu baik dan yang terlihat buruk belum tentu buruk.’ Two thumbs up!
🇬🇧 English – Translated
As technology continues to develop, social media becomes increasingly pervasive. The phenomenon of society now being flooded with various circulating information presents challenges regarding the weak ability to distinguish between what is true and what is false. Amid this uncertainty, “Budi Pekerti” offers viewers a glimpse of how dangerous social media can be through the story of a guidance counselor.
Her name is Prani, played by Sha Ine Febriyanti, a guidance counselor who is hoping to get a position as vice principal for student affairs. Her firm character makes her a legend at school. She is known for not giving physical punishment, but rather through reflection. From the beginning of this film, Prani shows viewers how she educates her students through quite unique punishments. She assigns the student to play a recording of mockery made about their friend, to be listened to by plants. Truly unique.
Prani’s life seems to depict the unfortunate portrait of teachers’ fate in this country. She lives in a rented house and is behind on payments. Not to mention her husband, Didit, played by Dwi Sasono, has been depressed since the arrival of Covid and continuous failures in his business. She also lives with her son Muklas, played by Angga Yunanda, who is an animal therapy influencer; and her daughter Tita, played by Prilly Latuconsina, who transforms thrift shop clothes into her own label.
The problem begins when Prani is queuing to buy one of the legendary putu cake snacks. Already annoyed with the queue that wouldn’t move, she becomes increasingly frustrated when hearing about parties who seem to cheat by having orders placed for them. This woman who felt cheated then exploded with an expression that was misunderstood. She then went viral overnight.
The story of “Budi Pekerti” is written and directed by Wregas Bhanuteja, an accomplished young director who previously captivated audiences through his work “Photocopier.” I myself was quite amazed by his short film titled “Prenjak,” which won the Discovery Awards at the Cannes Film Festival in 2016. Here, Bhanuteja offers an original story that is neatly packaged, especially in highlighting social media problems amid the Covid-19 pandemic situation.
Discussing its story, so many aspects envelop this film. This film addresses depression issues, which makes us more aware of post-pandemic well-being. This film also presents teachers’ creativity in building online learning environments, for example through virtual background competitions, or ceremony celebrations. This film also touches on pandemic behavior, such as using standing pictures during conferences with signal excuses that naughty students often do. What stands out most is the ocean of social media stories.
Reviewing how Mrs. Prani suddenly became more famous than her son is certainly the main spotlight of this film. What makes it more complicated is how various effects from people around her emerge. Some add emotion, others support. All of this is packaged quite nicely in the storytelling of “Budi Pekerti.” To the point that I too became emotional when this film brought Mrs. Prani into a very unpleasant situation.
Fortunately, the plot that is packaged almost feels like what we witness in reality. There are clarification videos that actually don’t stop, and instead become wild balls. Netizens who actually search for the past, to the point of involving various parties who want to take advantage of that moment. This series of phenomena seems to slap viewers to think again, ‘have I been wise in using my social media?’
One of the successes of “Budi Pekerti” is in the character of Mrs. Prani herself. Sha Ine Febriyanti’s performance in this film feels truly powerful. She presents us with a firm teacher figure, who is nevertheless drowning in all the difficulties that continuously surround her. I also like several artistic scenes in this film. For example, when Prani plays with the ring light and presents her face in various colors in the scene; or when she suddenly joins in calming herself with her students at the school’s small pond. Truly artistic!
In terms of presentation, “Budi Pekerti” comes as a serious drama offering. The highly artistic presentation brings cinematography, sound design, and editing to excel in bringing the story to life. And once again, the setting of Yogyakarta city becomes the main target in bringing this story to life. “Tilik,” “Losmen Bu Broto,” “Ada Apa dengan Cinta 2,” and now “Budi Pekerti” which gives flavor through Javanese dialect that colors its dialogue.
The film that received 17 nominations at the Citra Cup is indeed proof that “Budi Pekerti” is an impressive serious production. Although it only ended with 2 wins for Sha Ine Febriyanti and Prilly Latuconsina, I think the victory for both of them was quite decisive.
The viewing experience presented by “Budi Pekerti” is extraordinary. Not only offering unpleasant situations, the entire series of events often made me continue to reflect like a student who got punished by Mrs. Prani. As a result, this film itself also makes viewers think about who is actually at fault.
I think “Budi Pekerti” is smart entertainment! The message presented feels very reflective. Viewers can conclude for themselves and understand how fierce the world in our grasp is. Quoting an often-mentioned expression: ‘sometimes what looks good is not necessarily good and what looks bad is not necessarily bad.’ Two thumbs up!