Sebagai pecinta musik klasik, sosok Maurice Ravel sudah tidak terlalu asing bagi saya. Pianis yang juga komposer legendaris Perancis pada masanya, terkenal dengan karya-karyanya yang beraliran impresionistik. Melalui “Bolero,” penonton akan dibawa ke dalam kisah di balik penciptaan salah satu karya terbaiknya.
Maurice Ravel, diperankan oleh Raphael Personnaz, sedang dalam suatu kondisi yang menuntut. Rekannya, Ida Rubinstein, seorang penari ballet yang diperankan Jeanne Balibar, memintanya untuk dibuatkan sebuah karya aransemen ballet baginya. Dalam menyiapkan karya tersebut, Ravel ternyata melalui proses kreatif yang begitu panjang. Sampai sang maestro tidak menyadari, jikalau karya ini merupakan karya terakhirnya.
“Bolero” disutradarai oleh Anne Fontaine, yang dulu sempat menulis untuk “Coco Before Chanel.” Disini Fontaine menulis ceritanya bersama Claire Barre, yang mengadaptasi ceritanya dari monograf Maurice Ravel yang ditulis Marcel Marnat di tahun 1986. Sebagai suatu sajian biografi, film ini tidak akan terlalu membahas Ravel pada masa sepanjang hidupnya. Kisahnya akan cukup terfokus pada proses pembuatan ‘Bolero’ sampai Ia tutup usia. Kesan ini akan sangat berbeda dengan karya Bradley Cooper dalam “Maestro,” yang lebih tengah terfokus pada kehidupan Leonard Bernstein.
Entah mengapa, penyajian yang dihadirkan “Bolero” terasa begitu mengesankan. Saya cukup mengasosiasikannya dengan film “La vie en Rose” yang bercerita mengenai Edith Piaf, dan memenangkan Marion Cotillard untuk meraih Best Actress di Oscar pada masa itu. Film ini dikemas cukup artistik, terutama untuk set produksi yang detil dan menawan.
Bicara plotnya, saya cukup membutuhkan waktu lama untuk bisa menikmati film yang berdurasi 120 menit. Butuh sekitar satu jam di awal, hingga akhirnya bisa benar-benar menikmati ceritanya. Yang paling saya sukai dalam “Bolero,” ya adalah proses kreatifnya. Penonton akan terpukau dengan bagaimana Ravel terjebak dalam serangan musik yang mengelilinginya, sampai Ia pun harus kesulitan untuk menangkapnya. Salah satu yang cukup unik adalah ketika Ia harus menggunakan jasa prostitusi hanya untuk memintanya mengenakan sebuah sarung tangan.
Dari segi penampilan, Raphael Personnaz terasa cukup mendalami karakter yang Ia perankan. Akan tetapi, sepanjang film, karakter Ida Rubinstein, yang diperankan oleh Jeanne Balibar lebih jauh memikat. Mungkin karena aksi dari karakter perempuan yang kadang akan memecah tawa kecil dari dialognya bersama Ravel.
Ceritanya juga cukup mengingatkan saya dengan “Nine,” yang mengasosiasikan sang maestro dengan para muse yang ada disekelilingnya. Disini, Maurice Ravel memang akan banyak diceritakan hubungan pekerjaannya dengan Ida Rubinstein, tetapi juga perempuan-perempuan lain yang ada disekitarnya. Ini termasuk Misia, yang merupakan teman dekat yang dicintainya; Marguerite, asisten pianisnya; sang Ibu, dan juga perempuan prostitusinya.
Film yang awalnya dirilis di International Film Festival Rotterdam ini sebetulnya sudah masuk ke bioskop-bioskop Eropa sejak bulan Maret lalu. Film ini kemudian dipilih sebagai opening film dalam HIFF (Ho Chi Minh City International Film Festival), yang mana sutradara Anne Fontaine dan aktor Raphael Personnaz membukanya dengan pengantar singkat.
Sebagai seseorang yang selalu penasaran dengan proses kreatif para pelaku di industri kreatif, “Bolero” menjadi salah satu penambah sudut pandang, bagaimana sesuatu yang kreatif tentunya juga terbentuk dari hal-hal yang tak terduga, yang kadang sulit dijelaskan melalui kata-katanya.