Keberhasilan film ini untuk masuk ke berbagai nominasi pada ajang Golden Globe kemarin, membuat saya sedikit melirik film ini. Apalagi ketika musikal menjadi genre yang diusungnya. “Emilia Perez” ternyata jadi salah satu tontonan saya di tahun ini yang amat tidak terduga, yang ternyata memang sebaik itu. Yakin?
Awalnya, film ini sudah dibuka dengan aksi musikal dari sosok Rita, seorang pengacara yang diperankan Zoe Saldana. Ia sedang bersiap untuk memenangkan kliennya dari kasus suatu pembunuhan. Sampai akhirnya, Ia mendapat telepon misterius yang kemudian menculiknya. Ia lalu dipertemukan dengan salah seorang penjahat kartel bernama Manitas, diperankan oleh Karla Sofia Gascon. Pada pertemuan tersebut Rita diminta tolong untuk membantu permintaan Manitas dengan upah yang amat besar. Manitas ingin menjadi seorang perempuan. Pada titik ini, “Emilia Perez” langsung membangun kejutan yang memancing rasa penasaran saya.
Tergoda dengan besarannya, membuat pengacara ini goyah. Ini keliling dunia untuk mencari tahu proses transformasi menjadi perempuan, sampai akhirnya bertemu dengan seorang dokter di Tel Aviv. Manitas pun meminta Rita untuk memindahkan keluarganya dari Meksiko ke Eropa. Manitas sendiri sudah memiliki seorang istri bernama Jessi, diperankan oleh Selena Gomez, beserta dua putra yang masih kecil. Akibat keputusan ini, Manitas mengubur identitasnya dan putus kontak dengan Rita seiring dengan selesainya tugas yang diberikan.
Rita yang sudah menikmati uang tersebut kemudian memilih tinggal di London. Tanpa Ia sadari, Ia kemudian bertemu dengan sosok Emilia Perez, nama baru Manitas. Emilia kemudian meminta Rita untuk membantunya. Ia yang kini sudah menjadi perempuan, amat kangen dengan keluarganya. Rita diminta untuk mengungsikan kembali keluarganya ke Meksiko, dengan embel-embel bertemu saudari Manitas. Emilia pun berniat untuk memulai hidup barunya lewat pencitraan dan aksi sosial di tengah tingginya kehidupan kriminal di Meksiko.
Film ini disutradarai oleh Jacques Audiard, yang menulis ceritanya bersama Thomas Bidegain dan Lea Mysius. Audiard awalnya mengemas “Emilia Perez” sebagai suatu opera, namun malah menjadikannya musikal di layar perak. Film ini telah dirilis lebih dulu pada Cannes Film Festival pada kategori in competition yang memperebutkan Palme D’Or. Pada akhirnya, film ini berhasil mendapat Jury Prize untuk Audiard dan Best Actress yang diberikan pada ensemble film ini, sebuah pemecahan rekor untuk festival ini.
Membahas penyajiannya, saya sebetulnya menikmati “Emilia Perez.” Film ini punya kemasan teatrikal yang khas, namun dengan menghadirkan lagu-lagu yang sebetulnya tidak mudah dicintai. Ini mungkin yang akan membedakan film ini dengan musikal-musikal pada umumnya. Lagu-lagu yang dihadirkan tidak mudah diingat, tetapi tetap punya ciri khas tersendiri. Alhasil, “Emilia Perez” seakan memberi rasa yang berbeda untuk ukuran sebuah musikal.
Kalau dari segi penampilan, “Emilia Perez” juga punya kemasan yang berbeda. Penampilan Zoe Saldana dan Selena Gomez baru terasa benar-benar serius, terutama Saldana yang terlihat amat total dalam membawakan koreografi dan nyanyiannya. Yang bikin berbeda, film ini menghadirkan Karla Sofia Gascon, aktor transgender yang sebelumnya dikenal di dunia telenovela. Gascon hadir dengan menghidupkan sisi feminim dan maskulin dalam film ini, sekaligus memecah rekor sebagai aktor transgender pertama yang bersaing di kategory Best Actress in Leading Role, baik untuk Golden Globes dan Academy Awards tahun ini.
Film yang kemudian didistribusikan oleh Netflix tahun ini ternyata mampu menonjol pada musim penghargaan tahun ini, berkat ciri khasnya yang amat kuat. Film ini berhasil mendapatkan 13 nominasi pada Academy Awards, yang saya rasa kemungkinan besar untuk memenangkan kategori Best Supporting Actress untuk Saldana, dan Best Original Song. Mungkin saja film ini bisa memenangkan lebih dengan memberi beberapa kejutan. Cuma perlu diingat, “Emilia Perez” bukannya film komersil yang mudah disukai semua orang, tidak seperti “The Brutalist” ataupun “Conclave.”
“Emilia Perez” yang berdurasi 132 menit terasa tidak membosankan buat saya. Film ini tergolong jadi salah satu tontonan yang tak terduga buat saya. Film ini bisa diam-diam semakin mencuri perhatian dan membangun simpati kita pada karakter utamanya. Walaupun tidak ada satu pun tracklist yang berbekas, saya cukup merekomendasikan film ini buat Anda yang ingin merasakan musikal dengan cara yang berbeda. Unexpectedly good!