Berangkat dari pengalamannya sebagai seorang guru, “The Class” menjadi sebuah semi-autobiografi yang menarik untuk disimak. Peraih Palme D’Or tahun 2008 ini menghadirkan suasana realis dari sebuah kelas sekolah menengah di Perancis.
Film diawali dengan kegiatan perkenalan para guru di awal semester. Salah satunya adalah François Marin, seorang guru Bahasa Perancis yang diperankan oleh François Bégaudeau. Penonton kemudian diperkenalkan dengan suasana kelas Marin yang luar biasa. Ia memulai kelas pertamanya dengan menegur muridnya yang seringkali menghabiskan 15 menit pertama untuk menenangkan mereka.
Debat pun dimulai, dan jadi kekuatan film ini. Sepanjang film anda akan menyaksikan adu argumentasi antara Marin dan murid-muridnya. Dalam segala hal. Misalnya, menyuruh mereka membuat menulis nama mereka sendiri saja bisa berujung dengan perdebatan kecil.
Sepanjang 120 menit, anda akan dihadapkan dengan situasi demikian. Buat saya, memang terkesan film ini membawa ke suasana yang agak frustating. Tetapi disinilah poin ceritanya. Penonton seakan dibuat menyaksikan bagaimana rentetan pemicu yang mengundang emosi pada sosok Marin. Saya menyukai argumen anak-anak, walaupun merasa mereka menyebalkan. Akan tetapi, this is children of France. Kita perlu mengingat dengan bagaimana Masyarakat Perancis yang terbentuk akan semangat kebebasan, dan di film ini semangat kebebasan itu terasa begitu berlebihan.
Kondisi kelas yang multikultural juga jadi salah satu komponen yang bikin cerita menarik. Ada yang dari Mali, Maroko, hingga China. Yang juga agak membuat seru, Marin seakan menghadapi anak-anak yang punya keturunan beragam ini dengan mengkondisikan banyak hal yang menurut mereka terlalu white-ish, dimana Budaya Barat seakan terlalu didominankan. Ini menjadi sebuah tantangan baru lagi. Anak-anak ini menuntut hal yang lebih familiar, meminta untuk tidak dipaksa, tetapi cukup keras kepala.
Tidak hanya para murid, namun peran para orangtua juga masuk ke dalam ceritanya. Salah satunya seperti seorang Ibu yang memberi komplain pada Marin kalau cara pendidikan yang diberikan oleh pihak sekolah masih terasa kurang. Padahal di sisi lain, penonton juga diperlihatkan bahwa tidak hanya Marin yang merasa bermasalah dengan murid-murid mereka, tapi juga guru-guru lain.
Saya menyaksikan film ini dalma versi dubbing Bahasa Inggris, dan agak cukup menyesal karena tidak menyaksikan dalam versi suara aslinya. Menyaksikan film ini seperti membuat beragam refleksi akan yang biasa terjadi pada kelas-kelas di Indonesia. Saat seorang murid menjadi pembangkang, ataupun tidak mau menuruti permintaan sang guru, tentu sudah jadi hal yang biasa. Dan ini yang akan menentukan seberapa besar guru tersebut mampu ‘menguasai’ kelasnya, tentu dengan seberapa besar wibawanya yang bisa membuat murid-muridnya respect.
Secara keseluruhan, drama yang disutradarai Laurent Cantet ini lumayan menarik untuk disimak. Salah satu adegan yang memorable adalah saat Marin telah dicobai di batas kesabarannya. Ia pun seraya berkata jika anak-anak bisa semaunya pada dirinya, namun dia tidak bisa melawan mereka dengan semaunya. Malang. Tapi balik lagi, itu seharusnya yang menjadi pemicu baginya untuk tetap bertahan di ambang batasnya, sebelum akhirnya Ia terperosok ke jebakan argumen-argumen murid-muridnya.