Festival Film Indonesia 2015 kemarin memenangkan sebuah film low budget berjudul “Siti.” Film dengan nama yang cukup khas ke Indonesia-an ini berhasil menyabet 3 dari 5 nominasi yang dimilikinya, termasuk Film Terbaik dan Penulis Skenario Asli Terbaik.
Seperti judulnya, cerita dalam film yang dikemas monokrom ini terfokus pada satu karakter, Siti, yang diperankan oleh Sekar Sari. Siti adalah seorang Ibu yang banting tulang setiap hari dengan bekerja sebagai penjual peyek jinjing di pantai Parangtritis di pagi hari, dan malam harinya Ia lanjutkan sebagai perempuan penghibur di sebuah paguyuban karaoke.
Siti adalah tulang punggung keluarga. Ia berjualan bersama mertuanya, Darmi, yang diperankan oleh Titi Dibyo. Ia pun harus mengurus putra tunggalnya yang masih kecil, Bagas, yang diperankan oleh Bintang Timur Widodo. Sang suami, Bagus, yang diperankan Ibnu Widodo, hanya bisa terbaring di tempat tidurnya, tak berdaya.
Bagus tengah sakit akibat dari kecelakaan perahu barunya setahun yang lalu. Alhasil, Siti setiap hari harus merawat suaminya, sekaligus menjadi pusat penenakan penagih hutang suaminya, yang meminjam 5 juta untuk membuat perahu. Disaat yang sama, karaoke tempat Ia bekerja di gerebek polisi dan mengurangi salah satu sumber nafkahnya.
Hanya perlu 2 bulan saja bagi Eddie Cahyono, sutradara film ini, untuk mengemas kisahnya. Dengan memakan biaya produksi sebesar 150 juta rupiah, Ia berhasil menciptakan sebuah kreasi baru anak bangsa yang patut diapresiasi, karena memberi nafas baru dalam perfilman Indonesia. Film ini juga tidak “menjual” pemain-nya sebagai daya tarik, namun lebih ke bagaimana pengemasannya yang jadi andalan.
Cahyono mengundang emosi penonton dengan memfokuskan pada sosok Siti dengan perlahan-lahan namun dalam rasa. Salah satunya adalah bagaimana kisah ini mencuri perhatian sejak dari pembukanya. Titik ketertarikan saya muncul persis ketika sebelum munculnya titel film ini, lewat ekspresi dalam Siti yang begitu kuat. Tak perlu sebuah kalimat, hanya perlu mimik yang tepat agar itu bekerja. Selain itu, penggunaan tone black-and-white dalam film ini sangat mendukung bagaimana penyampaian emosi tersebut tersampaikan. Sedikit mengingatkan saya dengan film Polandia yang berjudul “Ida” karya Pawel Pawlikowski.
Bicara ceritanya, Cahyono berusaha mengungkapkan kesan wanita perkasa dalam karakter Siti. Saya bisa merasakan betapa kuatnya seorang Siti hanya cukup melihat postur wajahnya saja, belum ditambah kesehariannya. Stereotype wanita Jawa yang dianggap selalu menerima, sabar, ataupun penurut; hanyalah segelintir watak seorang Siti. Akan tetapi, Cahyono menggali lebih dalam dan menampilkan bahwa Siti bukanlah sosok “malaikat yang dikesankan sempurna dari keterbatasannya.” Karakternya dihadirkan cukup manusiawi: Ia juga lelah dengan keadaannya. Secara perlahan, penonton akan sadar bahwa Siti lebih dari itu: Ia punya luapan perasaan dan gejolak emosi yang tidak punya ruang, yang seraya ingin meledak namun tidak tahu diarahkan ke mana.
Jajaran cast dalam film ini juga memegang peranan yang luar biasa. Sosok kesemuanya yang cukup ndeso, benar-benar menghadirkan potret masyarakat kelas bawah di daerah pedesaan. Alhasil, sebuah penampilan yang cukup natural dan casting yang tepat, menjadi sebuah kekuatan untuk film ini. Dialog-dialog luwes dalam bahasa Jawa, serta sentuhan komedi dari kepolosan mereka menjadi hal yang menarik, termasuk gaya pengambilan adegan yang cukup didominasi long-take.
Ditutup dengan sebuah ending yang terbuka, film ini memberikan sedikit pertanyaan besar buat penonton akan bagaimana kelanjutan dari Siti, walaupun saya sebagai penonton sangat tidak mengharapkan kelanjutan kisahnya. “Siti” adalah sebuah cerminan realita, yang mengungkapkan sisi lain yang mampu merebut empati para penontonnya.