Walaupun hanya sepenggal, “The Act of Killing” berusaha menyampaikan catatan sejarah yang terungkapkan dari salah satu pelakunya. Dokumenter yang disutradarai Joshua Oppenheimer ini tidak akan hanya membuka mata rakyat Indonesia, melainkan dunia.

Suatu aksi berani Oppenheimer ini sejalan dengan ide Anwar Congo yang ingin mendokumentasikan peristiwa yang terjadi pada 1966 di Kota Medan, Sumatera Utara. Sebagai salah satu pelaku sejarah sekaligus algojo pada kegiatan tersebut, Congo memberikan kesan yang cukup menyenangkan untuk menceritakan cara bagaimana Ia membunuh para korbannya. Ia hanya perlu sedikit minum alkohol, kemudian melakukan aksinya, lalu dilanjutkan dengan memakai obat-obatan hingga menari cha-cha setelahnya. Cha cha cha!

the act of killing
Courtesy Final Cut for Real, Piraya Film A/S, Novaya Zemlya, Spring Films © 2012

Tidak hanya Congo, film ini juga memperlihatkan bagaimana hubungan Congo dengan banyak tokoh-tokoh penting di Indonesia. Sebut saja, mantan Gubernur Sumatera Utara, Syambul Arifin, yang kala itu masih menjabat dan merupakan salah satu “anak kesayangan” Congo. Film ini juga bercerita tentang salah satu organisasi paramiliter terbesar di Indonesia, Pemuda Pancasila, dan bagaimana peran mereka untuk menjaga kesatuan negeri ini selaku pihak di luar pemerintah.

Luar biasa! Saya sungguh terkagum-kagum dengan keberanian Oppenheimer untuk menghadirkan tontonan yang cukup kontroversial. Dilepas dari segala ke-kontroversialnya, film ini sebetulnya sedikit membuka mata penontonnya, tidak tentang apa terjadi di masa lalu di Indonesia, tetapi juga di masa kini. Kota Medan, salah satu kota termaju di Indonesia ternyata menjadi saksi bisu bagaimana penghabisan akan komunisme dilakukan. Congo bersama rekan-rekannya akan mengajak penonton untuk ke berbagai macam tempat, terutama yang diduga sebagai tempat pembantaian para korban yang biasanya disertai dengan reka adegan ulang.

155-picture1
Courtesy Final Cut for Real, Piraya Film A/S, Novaya Zemlya, Spring Films © 2012

Tetapi bagaimanapun, saya sangat mengapresiasi usaha Oppenheimer beserta rekannya dan terutama Congo untuk menampilkan cerita kejujuran yang menurut saya berguna bagi bangsa ini. Mengapa? Mengutip perkataan teman sejawat algojo Congo, Adi Zulkadry, menyatakan bahwa bila film ini sukses, masyarakat akan tahu bahwa bukanlah PKI yang jahat, tetapi kita yang lebih jahat. Menurutnya, kejahatan yang dilakukannya di masa lalu merupakan bagian dari usaha mempertahankan kesatuan negeri ini, menjaga persatuan bangsa. “Inilah kita… inilah sejarah.. contoh cerita yang pernah kita lakukan di usia muda ini,” papar Congo.

Oppenheimer tidak mengemas film ini untuk memperlihatkan Congo ataupun Zulkadry sebagai “pelaku kriminal”, tetapi lebih dari itu, yaitu sisi yang menggambarkan keduanya sebagai manusia. Oppenheimer mengarahkan penonton untuk melihat dari berbagai sisi. Misalnya, dari sisi Congo, Ia menceritakan bagaimana aksi keras PKI di kota Medan yang sempat mengancam pencarian nafkahnya dengan usaha memboikot film-film keluaran asing. Congo juga digambarkan sebagai sosok Bapak yang mengajari anaknya untuk tidak menyakiti hewan, ataupun memperlihatkan sebuah “pelajaran” bagi mereka. Begitu juga Zulkadry yang merupakan pemimpin keluarga dan masih mendampingi keluarganya berbelanja di mall.

155-picture6
Courtesy Final Cut for Real, Piraya Film A/S, Novaya Zemlya, Spring Films © 2012

 Menariknya, di film ini juga ada seseorang yang merupakan eks keluarga PKI, yang ikut terlibat dalam salah satu reka adegan  dan menjadi korban. Pada adegan reka adegan tersebut, ekspresi yang ditampilkan oleh karakter ini ternyata lebih dari aksi bohongan-bohongan yang dilakukan. Bapak ini menangis dan memperlihatkan ekspresi penderitaan yang mungkin hampir seperti kejadian aslinya.

Tidak sampai disitu saja, salah satu adegan yang menjadi bagian film “Arsan dan Aminah” ketika sekelompok orang menyerbu desa yang dianggap PKI juga sangat menarik. Sekelompok ibu-ibu dan anak-anak yang melakukan aksi shooting tersebut ternyata tidak hanya menangis betulan, ada juga seorang yang shock. Penggambaran ini mengartikan bahwa ketika sebuah reka adegan telah memiliki kekuatan seperti ini, bagaimana kabarnya bila ini kejadian nyata? Tragis!

155-picture5
Courtesy Final Cut for Real, Piraya Film A/S, Novaya Zemlya, Spring Films © 2012

Sepertinya, film ini dibuat ketika memasuki pemilihan umum legislatif 2009. Oppenheimer juga menampilkan sedikit kekontrasan antara caleg yang berkampanye dengan uang sebagai senjata mereka, dengan caleg yang hanya bermodalnya “ludah dan mulut” menurut Congo. Selain itu beberapa narasumber mengartikan bahwa pihak legislatif ini adalah kumpulan “perampok berdasi.”

Tontonan ini menurut saya kaya dan edukatif. Penonton akan mendapatkan banyak point of view dari setiap elemen mengenai freeman atau preman di Indonesia. Penonton juga menyaksikan bagaimana pedagang etnis Cina masih menjadi target empuk kelompok ini. Penonton juga dapat membandingkan hasil akhir yang terjadi pada dua sosok algojo di film ini. Walaupun keduanya mengaku sama sekali tidak menyesali perbuatan mereka, akan tetapi salah satu dari mereka menyadari, mencapai titik bahwa hal Ia lakukan memang tidak manusiawi. “Mereka hanya sebagian. Ada puluhan orang yang melakukan hal yang sama,” mengutip ucapan mendiang tokoh PERS Indonesia, Ibrahim Sinik. Menurut mereka, Maaf seharusnya dari pemerintah dan tidak boleh ada sumpah berbisik. Setuju atau tidak ini adalah PENDAPAT MEREKA.

155-picture7
Courtesy Final Cut for Real, Piraya Film A/S, Novaya Zemlya, Spring Films © 2012

Sisi artistik terlihat pada pembukaan film ini, ketika beberapa penari menari bersama Congo dan Herman Koto dengan latar air terjun. Mereka juga nantinya menari di sebuah bangunan berbentuk ikan dengan latar Danau Toba. Panorama yang sungguh indah!

Diluar dari itu semua, film ini mendapat sambutan yang cukup hangat. Sebut saja sebuah piala BAFTA untuk best documentary, dan sebuah nominasi Oscar untuk Best featured documentary. Film ini juga menjadi dokumenter terbaik di Berlin international Film Festival. Setidaknya ada sekitar 56 penghargaan dan 30 nominasi yang didapatkan film ini.

155-picture3
Courtesy Final Cut for Real, Piraya Film A/S, Novaya Zemlya, Spring Films © 2012

Apa yang sebetulnya membuat “The Act of Killing” begitu patut untuk ditonton? Film ini adalah dokumenter terbaik yang berkisah tentang sepotong tragedi bangsa kita yang sayangnya, bukan disutradarai oleh anak bangsa (salah satu kekesalan saya akan kebaikan film ini). Film ini semakin membuka mata penonton tentang fakta sejarah (pra orde baru) dan juga membuat anda tertawa, menangis, merinding, tersentuh dan berpikir akan langkah apa yang patut dilakukan demi kebaikan negeri ini.

The Act of Killing [Jagal] (2012)
Not Rated, 115 menit
Documentary, History
Director: Joshua Oppenheimer, Anonymous, Christine Cynn
Full Cast: Anwar Congo, Herman Koto, Syamsul Arifin, Ibrahim Sinik, Yapto Soerjosoemarno, Safit Pardede, Jusuf Kalla, Adi Zulkadry, Soaduon Siregar, Suryono, Haji Marzuki, Haji Anif, Rahmat Shah, Sakhyan Asmara

#155 – The Act of Killing [Jagal] (2012) was last modified: September 25th, 2022 by Bavner Donaldo