Diadaptasi dari novel populer berjudul sama, “Gadis Kretek” berhasil menyita perhatian penonton. Banyak pujian mengenai serial Indonesia yang satu ini dan saya setuju untuk turut serta menuai pujian untuk “Gadis Kretek” meski menurut saya, apa yang diceritakan di novel dan di serial adalah dua versi yang berbeda. Ratih Kumala sendiri mengkonfirmasi lewat sebuah talkshow bahwasannya yang paling dijaga dalam versi serial ini adalah alur cerita “Gadis Kretek” itu sendiri dan saya dapat melihat itu sepanjang durasi berjalan.
Cerita bermula ketika Soeraja tua (Pritt Timothy) yang sedang sakit keras meminta Lebas (Arya Saloka) untuk mencari seseorang bernama “Jeng Yah”. Perjalanan Lebas mencari Jeng Yah membuatnya bertemu dengan Arum Cengkeh (Putri Marino) yang juga ingin mengetahui lebih dalam lagi tentang keluarganya. Sedikit demi sedikit, lintingan cerita dari masa lalu pun terungkap.
Dengan alur yang rapi dan padat, “Gadis Kretek” membawa isu perempuan yang kental dalam penceritaannya, bagaimana perempuan kerap mendapatkan stigma negatif di masyarakat pada era 1960-an. Perempuan hanya dipercayakan untuk mengerjakan pekerjaan ringan di pabrik. Mereka lekat dengan “kasur, dapur, sumur”. Mereka hanya bisa “menerima” nasibnya.
Tokoh Jeng Yah yang diperankan oleh Dian Sastro justru berusaha menentang stigma-stigma negatif itu. Meskipun Jeng Yah bukanlah aktivis feminisme yang kerap menyuarakan hak lewat orasi, Ia cenderung bertindak sesuai keinginannya. Jeng Yah selalu bertekad kuat untuk membuat saus, Ia juga belajar mempelajari kretek–hal yang tidak seharusnya dilakukan perempuan pada saat itu, dan bagaimana Ia tidak ingin dijodohkan karena takut tidak dapat melakukan hal yang tidak disukainya.
Selain itu, Kamila Andini dan Ifa Isfansyah terasa bermain semiotika pada serial ini. Pada adegan intim Jeng Yah bersama Soeraja muda (Ario Bayu). Mereka menempatkan Jeng Yah pada posisi atas. Mungkin ini mengisyaratkan bahwa perempuan juga memiliki kuasa. Hal ini rasanya pernah dilakukan Kamila Andini juga pada film “Yuni”.
Dalam suatu wawancara, Dian Sastro mengaku kesulitan dalam membawakan karakter Jeng Yah (Dasiyah) karena kepribadiannya yang sangat berbeda. Di saat yang bersamaan, saya merasa Dian Sastro membawakan karakter ini dengan sangat baik. Meskipun tidak begitu terdengar dialek Jawa ketika ia berdialog, Dian Sastro berhasil menyampaikan emosi yang beragam dengan wajah yang “lempeng” dan kaku sekaligus. Ario Bayu pun dapat memerankan Soeraja dengan baik. Ia dapat berbicara dengan matanya bahwa tokoh Soeraja sangat jatuh cinta kepada Dasiyah, termasuk tutur bicaranya yang sopan dan gerak-geriknya yang maskulin namun tetap terkesan lembut. Selain Dian Sastro dan Ario Bayu, serial “Gadis Kretek” menggandeng banyak aktor ternama, hampir tidak ada yang saya tidak kenali, dan mereka benar-benar melekat pada karakternya masing-masing.
Tokoh yang paling saya suka pada serial “Gadis Kretek” adalah Arum (Putri Marino). Tokoh Arum adalah salah satu contoh character development yang amat baik. Walaupun berbeda dengan apa yang dideskripsikan di novel, tokoh Arum di serial ini justru lebih mirip dengan Jeng Yah. Arum yang lebih kuat dan independent, tetapi tetap melekat pada title “gadis desa” seperti yang dijelaskan di novelnya. Hal ini dapat dilihat pula dari bagaimana ia menyebut karakter Lebas (Arya Saloka) dengan sebutan “Orang Jakarta”.
Secara keseluruhan, tokoh-tokoh yang ada di serial tidak berbeda jauh dengan apa yang dituliskan di novel. Hanya saja, tokoh Tegar (Winky Wiryawan) kehilangan kepribadiannya yang rasional dan selalu dapat diandalkan di sini. Dalam serialnya, tokoh Tegar hanya digambarkan sebagai tokoh yang emosian. Ini adalah hal yang disayangkan karena saya merasa Tegar tidak memiliki wibawa sebagai pewaris perusahaan kretek Djagad Raya.
“Gadis Kretek” selain menyuguhkan cerita tentang sejarah kretek juga kerap menyinggung peristiwa kelam terkait salah satu partai yang pernah terjadi di Indonesia. Meski tidak disebutkan secara eksplisit di serialnya, penonton dapat menangkap jelas apa yang dimaksudkan dari adegan-adegan yang ada. Dari sini pula digambarkan bagaimana sulitnya hidup sebagai eks-tapol pada masa itu, terlebih lagi bagi perempuan. Dasiyah harus bekerja secara diam-diam sebagai peracik saus Kretek Boekit Kelapa agar tidak mencoreng nama baik pabrik. Melalui potongan-potongan adegan yang disuguhkan, “Gadis Kretek” memberitahu kita bagaimana kuasa dapat berbicara banyak tanpa harus banyak berbicara.
Alur cerita “Gadis Kretek” dibalut dengan apik, padat, jelas, dan berhasil membuat banyak penonton ternganga. “Gadis Kretek” menyajikan visual yang hangat dan magis dalam satu waktu. Ada aura tersendiri yang dipancarkan dari tiap scene yang menurut saya jarang sekali ditemukan pada film atau serial lain. Pergantian transisi antara masa kini dan flashback juga halus, tetapi tidak menimbulkan kebingungan untuk penontonnya sebab kita pasti akan tahu dari tokoh, latar, dan suasana yang digambarkan. Ada satu continuity yang miss yang setidaknya saya sadari, yaitu ketika Jeng Yah mendatangi pernikahan Soeraja dan ada seseorang yang lewat, tetapi pada adegan yang sama dengan angle berbeda, orang yang lewat itu tidak ada.
Artistik yang ditata sedemikian rupa juga berperan besar dalam kecantikan visual di “Gadis Kretek”. Penonton seolah dibawa kembali kepada zaman 1960-an. Mulai dari perabotan, tata rumah, make up, dan wardrobe, menjadikan serial ini kian menakjubkan. Hagai Pakan selaku penggarap wardrobe di serial ini memberikan karya terbaiknya, khususnya untuk busana yang dipakai Jeng Yah. Kebaya Janggan menjadi ciri khas yang kental dan tampak penuh wibawa, sangat pas dengan karakter Jeng Yah. Terlebih lagi, kebaya janggan berpotensi menjadi sebuah tren mengingat banyaknya perempuan masa kini yang mulai kembali melestarikan budaya berkain dan berkebaya.
Make up yang diaplikasikan pun berhasil menggambarkan situasi terkini dari para tokoh. Ketika adegan Jeng Yah dalam tahanan dan baru dibebaskan, wajahnya dibuat sekusam mungkin dengan rambut yang tidak terurus, berbeda jauh ketika Ia masih dalam masa jayanya. Saya menyukai fakta bahwa visualisasi yang disajikan sesuai deskripsi versi novelnya.
Pada aspek musik, “Gadis Kretek” banyak menggandeng musisi-musisi muda berbakat Indonesia untuk ikut andil dalam menyajikan karyanya. Nadin Amizah, Reality Club, Feby Putri, Raissa Anggiani, Monita Tahalea, dan masih banyak lagi. Saya sangat suka ketika lagu “Kereta Ini Melaju Terlalu Cepat” dilantunkan. Bukan hanya karena saya menyukai lagunya, tetapi adegan yang ditampilkan seolah meresapi tiap lirik dan lantunan nada dari lagu tersebut. Ada perasaan hanyut, takut, dan segala hal yang dapat disebut dengan disforia.
Tidak sedikit orang di media sosial yang protes mengenai pemilihan lagu, yang dikarenakan terlalu sering diputar dan terlalu modern. Akan tetapi, menurut saya, lagu-lagu yang telah dipilih justru terasa pas dengan adegan yang sedang berlangsung, sehingga menambahkan satu “ruh” lagi. Instrumental-instrumental yang menjadi latar suara juga terasa tepat dan cocok dengan adegannya.
Serial Netflix “Gadis Kretek” sukses membuat dunia perfilman Indonesia kembali bersorak-sorai dengan cerita yang disuguhkan. Meski, seperti yang sudah saya bilang di awal, cerita “Gadis Kretek” seolah terbagi menjadi dua versi; novel dan serial, keduanya tetap menyuguhkan rasa menggugah dan patut dinikmati oleh para penonton dan pembacanya. Seperti tembakau bercita rasa romansa, isu, dan masa lalu.