Table of Contents
🇮🇩 Bahasa Indonesia – Original
Amerika Serikat, negeri tujuan utama para emigran, membuatnya tak akan pernah habis akan kisah-kisah para pencari kehidupan baru. Pada musim penghargaan tahun ini, “The Brutalist” menjadi salah satu unggulan yang berhasil mencuri perhatian lewat epic drama yang disajikannya. Berbekal trailer dengan kesan minimalis, film ini sudah menggugah saya dengan architectural shots-nya yang memperlihatkan sedikit keindahan itu. Namun, apa memang sebagus itu?
Film dibuka dengan monolog yang dilakukan oleh seorang perempuan, yang berasal dari sebuah surat yang ditulis oleh Erzsébet Tóth, diperankan oleh Felicity Jones, untuk suaminya, László Tóth, yang diperankan oleh Adrien Brody. Kejadian Perang Dunia Kedua membuatnya keduanya terpisah dalam pengasingan. László berhasil menjadi imigran di Amerika, sedangkan Erzsébet menemani Zsófia, keponakan satu-satunya mereka yang diperankan Raffey Cassidy.
Kedatangan László membawa penonton ke kota Pennsylvania, salah satu kota industri yang menawarkan harapan lewat pertumbuhannya yang pesat. Ia dijemput oleh Attila, sepupu Erzsébet, yang diperankan oleh Alessandro Nivola. Attila hidup bersama sang istri, Audrey, diperankan oleh Emma Laird, di mana mereka memiliki sebuah usaha furnitur. Kehangatan yang diberikan Attila pun berujung penawaran bantuan untuk László dengan memberinya sebuah gudang kecil yang disulap menjadi kamar di toko furnitur miliknya.

Attila mengetahui kemampuan László, dan suatu ketika mereka kedatangan Harry Lee, diperankan oleh Joe Alwyn, yang merupakan seorang pengusaha muda sekaligus anak seorang industrialis bernama Harrison Lee Van Buren, yang diperankan oleh Guy Pearce. Harry bermaksud untuk memberi kejutan pada sang ayah, sehingga ia meminta jasa renovasi perpustakaan milik ayahnya. László dan Attila tentu menerima pekerjaan singkat tersebut, dan tidak menyangka apa yang akan terjadi berikutnya.
Film ini ditulis oleh Brady Corbet bersama pasangannya Mona Fastvold, dan kemudian ia sutradarai. “The Brutalist” sendiri dirilis pada Venice Film Festival, sekaligus membawa pulang piala sutradara terbaik untuk Corbet. Hadiah kemudian berlanjut pada pagelaran Golden Globes dan BAFTA yang menganugerahinya hadiah pada kategori yang sama.
Melihat penceritaannya, “The Brutalist” dibagi ke dalam tiga bagian besar cerita, yang ditambah prolog dan epilog, serta sebuah intermission. Corbet menyajikan batas pada setiap bagian, sekaligus memasukkan periode kisah, mengingat film ini adalah sebuah period drama. Pada bagian awal, Corbet sudah membangun tensi penonton dengan musik overture dari Daniel Blumberg yang dikombinasikan dengan shot patung Liberty dari terbalik, yang menjadi ciri khas film ini.

“The Brutalist” menawarkan sebuah perjalanan karakter László, yang sebagai pendatang serba tidak paham, dan beradaptasi ke dalam kehidupan kapitalis Amerika yang penuh persaingan, perseteruan, dan kepentingan. Ia pun harus masuk dalam jebakan orang-orang yang tidak menyukainya, sehingga ia harus terusir, sekaligus belajar sampai menjadi seseorang yang brutal. Kejamnya dunia membuatnya juga menjadi kejam.
Bicara penyajiannya, faktor sinematografi yang digawangi Lol Crawley amat memainkan kesuksesan ceritanya. Film yang dihadirkan dalam format VistaVision ini terlalu banyak membuat kekaguman. Dari hal yang sederhana, seperti memperlihatkan POV bus yang sedang berjalan secara cepat, maupun saat mengambil shot jauh yang memperlihatkan rombongan yang sedang menaiki bukit. Ini merupakan kolaborasi ketiga Crawley dengan Corbet, yang salah satu sebelumnya adalah “Vox Lux.”
Dikemas dalam tayangan yang berdurasi 194 menit, film ini memang akan membawa penonton ke dalam cerita yang sebetulnya tidak terlalu rumit, namun disajikan dengan begitu megah. Bila melihat film dengan tema dan periode yang sejenis, seperti “Brooklyn,” film ini lebih punya komponen cerita yang lebih kompleks. Mulai dari pandangan akan imigran, kehidupan para tunawisma, politik dalam keluarga, sampai semangat melakukan aliyah.
Rasanya keberhasilan film ini tak lepas dari kehadiran Adrien Brody, yang kembali memerankan tokoh penyintas Holocaust, setelah sebelumnya amat sukses dalam film Roman Polanski di tahun 2002 yang berjudul “The Pianist.” Pada film ini ia kembali hadir dengan totalitas yang membuatnya perlu diperhitungkan. Penyajian karakter László yang apa adanya tak hanya akan membawa penonton pada hal yang baik-baik saja. Penggambaran László juga tak menampik serangkaian kelakuan tak baik, termasuk saat ia kecanduan heroin.

Selain Brody, Guy Pearce juga amat mencuri perhatian. Aktor yang pernah bermain dalam “Memento” ini hadir sebagai potret kapitalis yang menyebalkan, namun punya banyak peran. Begitu juga dengan kehadiran Felicity Jones sebagai istri László yang menambah keruwetan cerita dari dirinya yang kesepian dan penyakit osteoporosis yang membuatnya lumpuh.
Oh ya, “The Brutalist” tergolong film khusus dewasa. Film ini punya konten dewasa yang cukup kental sedari awal. Penonton akan menyaksikan László sedang dilayani yang sekaligus memperlihatkan alat kelaminnya. Belum ditambah saat ia senang mendatangi bioskop porno, ataupun adegan hubungan suami-istri yang memperlihatkan kemaluan pemeran wanita.
Film ini juga akan membahas aksi pemerkosaan, termasuk ketika Erzsébet “mengocok” suaminya yang menolak diajak bermain, ataupun saat karakter Zsófia yang memegang kancing di perutnya yang secara implisit memberi sinyal jika ia habis diperkosa oleh Harry. Satu lagi, adegan penggunaan heroin juga beberapa kali hadir dalam mempertegas László dan aksi kecanduannya.
Musik yang dihadirkan juga amat menyatu dengan adegan yang dihadirkan. Daniel Blumberg menghadirkan scoring yang dikombinasikan dengan musik klasik yang kadang dikombinasikan dengan nuansa jazz. Yang saya sukai, “The Brutalist” menghadirkan banyak lagu-lagu klasik yang menyertai kisahnya. Mulai dari “Buttons and Bows,” “To Each His Own,” dan ditutup dengan Italo-disco hit dari tahun 70-an, “One for You, One for Me.”
Pada musim penghargaan tahun ini, rasanya memang pantas jika “The Brutalist” termasuk salah satu frontrunner pada beberapa kategori. Saya sendiri akan mengunggulkannya untuk Best Actor in a Leading Role, Best Directing, Best Actor in a Supporting Role, Best Actress in a Supporting Role, Best Cinematography, Best Original Screenplay. Lewat sajian yang kental dengan Amerika, rasa-rasanya film ini bisa mengulang seperti “Green Book“ ataupun “Moonlight“ dalam memenangkan persaingan Best Picture di Academy Awards, walaupun akhirnya kemenangan jatuh pada “Anora.”
Menurut saya, apa yang ditawarkan “The Brutalist” terasa begitu megah. Film ini tergolong tidak biasa. Sejak opening credits saja sudah memberi keunikan dengan cara penyajian yang tak biasa, yang mana menghadirkan nama dengan tipografi tak beraturan, namun artsy. Film ini layak disebut sebagai sebuah masterpiece akan kehidupan Amerika dari dekade ini. “The Brutalist” mampu memberikan pengalaman menonton yang tak hanya memuaskan mata, tetapi juga perjalanan kehidupan yang begitu epic. Yup, “The Brutalist” memang sebagus itu. A masterpiece!
🇬🇧 English Version – Translated
The United States, the primary destination for emigrants, ensures an endless supply of stories about those seeking a new life. In this awards season, “The Brutalist” has become one of the frontrunners that successfully captured attention through the epic drama it presents. Armed with a minimalist trailer, this film already stirred me with its architectural shots that reveal glimpses of that beauty. But is it really that good?
The film opens with a monologue by a woman, derived from a letter written by Erzsébet Tóth, played by Felicity Jones, to her husband, László Tóth, played by Adrien Brody. The events of World War II separated them in exile. László managed to become an immigrant in America, while Erzsébet accompanies Zsófia, their only niece played by Raffey Cassidy.

László’s arrival brings viewers to Pennsylvania, an industrial city offering hope through its rapid growth. He is picked up by Attila, Erzsébet’s cousin, played by Alessandro Nivola. Attila lives with his wife, Audrey, played by Emma Laird, where they run a furniture business. Attila’s warmth leads to an offer of help for László by giving him a small warehouse converted into a room at his furniture store.
Attila knows László’s capabilities, and one day they receive Harry Lee, played by Joe Alwyn, who is a young businessman and the son of an industrialist named Harrison Lee Van Buren, played by Guy Pearce. Harry intends to surprise his father, so he requests renovation services for his father’s library. László and Attila naturally accept this brief job, not expecting what would happen next.
This film was written by Brady Corbet with his partner Mona Fastvold, and then directed by him. “The Brutalist” itself was released at the Venice Film Festival, while bringing home the best director award for Corbet. Awards continued at the Golden Globes and BAFTA ceremonies, which awarded him prizes in the same category.
Looking at its storytelling, “The Brutalist” is divided into three major story parts, plus a prologue and epilogue, as well as an intermission. Corbet presents boundaries for each section, while incorporating the story’s time period, considering this is a period drama. In the opening section, Corbet already builds audience tension with Daniel Blumberg’s overture music combined with an upside-down shot of the Statue of Liberty, which becomes this film’s signature.
“The Brutalist” offers a character journey of László, who as a newcomer is completely clueless, adapting to American capitalist life full of competition, conflict, and interests. He must also fall into the trap of people who dislike him, so he must be expelled, while learning until becoming someone brutal. The cruelty of the world makes him cruel as well.
Speaking of its presentation, the cinematography factor handled by Lol Crawley greatly plays into the story’s success. The film presented in VistaVision format creates too much admiration. From simple things, like showing the POV of a fast-moving bus, or when taking distant shots showing a group climbing a hill. This is Crawley’s third collaboration with Corbet, one of which was previously “Vox Lux.”
Packaged in a 194-minute viewing, this film will indeed take the audience into a story that’s actually not too complicated, but presented so magnificently. When looking at films with similar themes and periods, such as “Brooklyn,” this film has more complex story components. From perspectives on immigrants, homeless life, family politics, to the spirit of performing aliyah.

It feels like this film’s success cannot be separated from Adrien Brody’s presence, who returns to play a Holocaust survivor character, after previously being very successful in Roman Polanski’s 2002 film titled “The Pianist.” In this film, he returns with totality that makes him worth considering. The presentation of László’s character as it is won’t only bring the audience to good things. The portrayal of László also doesn’t deny a series of bad behaviors, including when he’s addicted to heroin.
Besides Brody, Guy Pearce also steals attention. The actor who once played in “Memento” appears as a portrait of an annoying capitalist, but has many roles. So too with Felicity Jones’s presence as László’s wife who adds to the story’s complexity from her loneliness and osteoporosis disease that leaves her paralyzed.
Oh yes, “The Brutalist” is categorized as an adults-only film. This film has quite strong adult content from the beginning. Viewers will witness László being serviced while showing his genitals. Not to mention when he enjoys visiting porn theaters, or marital relations scenes that show the female performer’s genitals.
This film will also discuss rape acts, including when Erzsébet “jerks off” her husband who refuses to play, or when Zsófia’s character holds a button on her stomach which implicitly signals that she was just raped by Harry. One more thing, heroin use scenes also appear several times to emphasize László and his addiction.

The music presented is also very integrated with the scenes presented. Daniel Blumberg presents scoring combined with classical music sometimes combined with jazz nuances. What I love is that “The Brutalist” presents many classic songs accompanying its story. From “Buttons and Bows,” “To Each His Own,” and closing with an Italo-disco hit from the 70s, “One for You, One for Me.”
In this awards season, it truly feels fitting if “The Brutalist” is among the frontrunners in several categories. I myself would favor it for Best Actor in a Leading Role, Best Directing, Best Actor in a Supporting Role, Best Actress in a Supporting Role, Best Cinematography, Best Original Screenplay. Through presentations thick with Americana, it feels like this film could repeat like “Green Book“ or “Moonlight“ in winning the Best Picture competition at the Academy Awards, although the victory ultimately fell to “Anora.”
In my opinion, what “The Brutalist” offers feels so magnificent. This film is quite unusual. From the opening credits alone, it already provides uniqueness with an unusual presentation method, presenting names with irregular but artsy typography. This film deserves to be called a masterpiece of American life from this decade. “The Brutalist” is able to provide a viewing experience that not only satisfies the eyes, but also a life journey that is so epic. Yup, “The Brutalist” is indeed that good. A masterpiece!








![#337 – Tom at The Farm [Tom à la ferme] (2013) 337-Picture6](https://cinejour.b-cdn.net/wp-content/uploads/2017/08/337-Picture6-218x150.webp)

![#335 – Heartbeats [Les amours imaginaires] (2010) 335-Picture3](https://cinejour.b-cdn.net/wp-content/uploads/2017/07/335-Picture3-218x150.webp)
![#333 – I Killed My Mother [J’ai tué ma mère] (2009) 333-Picture2](https://cinejour.b-cdn.net/wp-content/uploads/2017/07/333-Picture2-218x150.webp)










![#421 – Love Songs [Les Chansons d’amour] (2007)](https://cinejour.b-cdn.net/wp-content/uploads/2018/07/421-Picture1-324x160.webp)

