🇮🇩 Bahasa Indonesia – Original

Kali ini, pilihan saya jatuh kepada “Abadi Nan Jaya,” yang juga dikenal dengan judul internasional “The Elixir.” Film garapan Timo Stamboel ini akan menawarkan cerita zombie dengan kemasan Indonesia. Pernahkah membayangkan Train to Busan atau “Resident Evil” dengan cita rasa lokal?

Film ini memulai dengan sebuah tragedi naas. Sebuah mobil tiba-tiba datang menabrak sekelompok orang yang sedang berpesta selamatan sunatan, di Desa Wanirejo, Sleman, Yogyakarta. Awalnya, satu di antara mereka menghampiri mobil yang kemudian terhenti karena menabrakkan diri ke sebuah truk. Yang tadinya berniat menginterogasi, malah berujung dengan gigitan dan mengancam masyarakat kampung yang hadir.

Tak jauh dari sana, cerita berlanjut dengan menghadirkan sebuah keluarga disfungsional, yang juga merupakan pemilik jamu “Wani Waras.” Polemik perusahaan jamu yang sedang ingin dijual, disambung dengan inovasi jamu awet muda, yang berujung pada Sadimin, pemilik yang diperankan oleh Donny Damara, untuk menjadikan dirinya sebagai kelinci percobaan.

the elixir [abadi nan jaya]
Courtesy of Mowin Pictures, Netflix © 2025

Para anggota keluarga Sadimin juga menjadi penambah ramai cerita. Ada Karina, istri muda Sadimin yang diperankan oleh Eva Celia Latjuba, yang ternyata merupakan sahabat putrinya. Kenes, putri Sadimin yang diperankan oleh Mikha Tambayong, yang membawa putra semata wayangnya yang bernama Raihan, diperankan oleh Varren Arianda Calief. Ia juga beserta sang suami, Rudi, diperankan Dimas Anggara, yang sedang menuju proses perceraian. Tidak ketinggalan ada sosok Bambang, putra Sadimin yang diperankan oleh Marthino Lio, yang kelihatan hanya menikmati hidup dengan bermain saja.

Berkumpulnya keluarga Sadimin yang tiba-tiba jadi bermasalah urusan merger perusahaan keluarga mereka, tiba-tiba lenyap seiring dengan Sadimin yang menjadi zombie pertama. Ia kemudian menyerang Pardi, asisten rumah tangga, yang berimbas dengan mulainya ancaman zombie di rumah mereka. Akankah mereka selamat dengan ancaman ini?

Film ini disutradarai oleh Timo Stamboel, yang mencengangkan saya dengan karyanya “Macabre” atau yang juga dikenal dengan “Rumah Dara.” Ekspektasi untuk menyaksikan survival horror ini pun menjadi tinggi. Rasanya untuk kehadiran unsur sadis dalam ceritanya, seharusnya bisa dieksekusi baik. Benar saja, sepanjang 116 menit, Stamboel menghadirkan tontonan yang gore, kadang tak masuk akal, dalam menampilkan bagian-bagian tubuh yang terurai dengan tembakan senapan.

the elixir [abadi nan jaya]
Courtesy of Mowin Pictures, Netflix © 2025

Dari segi cerita, yang dikemas Stamboel bersama Agasyah Karim dan Khalid Kashogi, rasanya biasa saja. “The Elixir” terasa terlalu lama untuk scene-scene yang membuang waktu di saat kejaran para zombie. Bayangkan saja, ketika Anda perlu menyelamatkan diri dari kepungan zombie, masih saja ada adegan dramatisasi pelukan antara ibu yang bertemu kembali dengan sang anak. Itu baru satu contoh. Ada serangkaian adegan yang rasanya berniat untuk membangun dramanya, namun balik lagi, ini sebuah film untuk bertahan hidup. I’m sick with the drama.

Yang bikin saya cukup gemas adalah karakter Kenes, yang dihadirkan sebagai ibu, yang berniat membangun drama time dengan segala ketololannya. Perlu diakui, mungkin akting Mikha Tambayong terlalu meyakinkan atau penggarapan karakternya yang terasa kurang, yang membuat saya amat gemas dengan karakter ini. Menurut saya, Kenes terasa hanya jadi duri dalam kelompok yang malah membangun bencana.

the elixir [abadi nan jaya]
Courtesy of Mowin Pictures, Netflix © 2025

Justru yang paling mengejutkan adalah sosok Karina. Ketika “The Elixir” semakin menggali kisah persahabatan Kenes dan Karina, sosok ini semakin terasa sebagai female lead ceritanya. Karina dengan berani melawan zombie, walaupun rasanya dikemas pada bagian awal seperti seorang antagonis.

Kembali membahas ceritanya, tebakan saya ternyata benar dengan tokoh yang akan selamat. “The Elixir” terlalu tertebak dari segi cerita, sehingga ketika menyaksikannya, ekspektasi awal yang sudah dibangun cuma berhasil dari segi eksekusi dramatisasi serangan zombie, dan ceritanya jelek. Karakter-karakter yang tiba-tiba masuk ke adegan juga tentu mudah tertebak nasib mereka: sama-sama mati. Hal ini yang membuat “The Elixir” hanya membangun sebuah rasa penasaran, yaitu dengan cara apa zombie-zombie ini dapat dimusnahkan. Sisanya, tentu kehadiran Kenes menghasilkan saya untuk terus bad mouthing sepanjang menyaksikannya.

Sebetulnya film ini hanya jelek di cerita. Saya merasa pengaturan extras yang banyak, dengan koreografi zombie dihadirkan dengan cukup menawan, dan tidak main-main. Film ini juga berani menghancurkan beberapa kendaraan dan membangun setting Polres Wanirejo yang menjadi salah satu lokasi utama ceritanya. Saya juga mengamati detail makeup dan penggunaan prostetik pada jumlah aktor yang masif, rasanya perlu patut dipuji untuk ukuran karya anak bangsa. Detail-detail yang dihadirkan, termasuk penggunaan efek visual pada Rudi saat adegan di dapur, ataupun juga saat menghadirkan zombie buntung yang jadi penuh teror.

Sayangnya, “The Elixir” kurang memicu adrenalin penonton dengan serangan zombie. Teror zombie yang meyakinkan malah dipatahkan dengan karakter-karakter yang justru panik dan bertingkah bodoh. Justru “Zombieverse,” sebuah reality show tentang zombie di Korea jauh lebih menghibur dan menegangkan. Apalagi dengan judul-judul yang sudah saya sebutkan sebelumnya. Pada bagian akhir film sedikit menceritakan masalah baru dengan setting Kota Jakarta, yang mungkin hadir sebagai materi baru selanjutnya. Rasanya dengan penggarapan ceritanya yang seperti ini, kurang bagi saya untuk menyaksikan sekuelnya, jika ada.


🇬🇧 English Version – Translated

This time, my choice fell on “Abadi Nan Jaya,” also known by its international title “The Elixir.” This film by Timo Stamboel will offer a zombie story with Indonesian packaging. Have you ever imagined Train to Busan or “Resident Evil” with a local flavor?

The film begins with a tragic disaster. A car suddenly comes crashing into a group of people celebrating a circumcision ceremony in Wanirejo Village, Sleman, Yogyakarta. Initially, one of them approaches the car which then stops after crashing into a truck. What was intended as an interrogation ends with a bite and threatens the village community present.

the elixir [abadi nan jaya]
Courtesy of Mowin Pictures, Netflix © 2025

Not far from there, the story continues by presenting a dysfunctional family, who are also the owners of the “Wani Waras” herbal medicine. The polemics of the herbal medicine company that wants to be sold, combined with an anti-aging herbal innovation, culminates in Sadimin, the owner played by Donny Damara, making himself a guinea pig.

Sadimin’s family members also add to the story’s complexity. There’s Karina, Sadimin’s young wife played by Eva Celia Latjuba, who turns out to be her daughter’s best friend. Kenes, Sadimin’s daughter played by Mikha Tambayong, who brings her only son named Raihan, played by Varren Arianda Calief. She also comes with her husband, Rudi, played by Dimas Anggara, who is going through a divorce. Not to be missed is Bambang, Sadimin’s son played by Marthino Lio, who seems to only enjoy life by playing around.

The gathering of Sadimin’s family, which suddenly becomes problematic regarding their family company merger, suddenly disappears along with Sadimin becoming the first zombie. He then attacks Pardi, the household assistant, which results in the start of the zombie threat in their home. Will they survive this threat?

This film is directed by Timo Stamboel, who amazed me with his work “Macabre” or also known as “Rumah Dara.” Expectations for watching this survival horror became high. It feels like the presence of sadistic elements in the story should be well executed. Sure enough, throughout 116 minutes, Stamboel presents gore viewing, sometimes illogical, in displaying body parts scattered by shotgun blasts.

the elixir [abadi nan jaya]
Courtesy of Mowin Pictures, Netflix © 2025

In terms of story, packaged by Stamboel with Agasyah Karim and Khalid Kashogi, it feels ordinary. “The Elixir” feels too long for scenes that waste time during zombie chases. Just imagine, when you need to save yourself from a zombie siege, there’s still a dramatic embrace scene between a mother reuniting with her child. That’s just one example. There are a series of scenes that seem intended to build the drama, but again, this is a survival film. I’m sick with the drama.

What makes me quite frustrated is the character Kenes, presented as a mother, who intends to build drama time with all her foolishness. It must be admitted, perhaps Mikha Tambayong’s acting is too convincing or the character development feels lacking, which makes me very frustrated with this character. In my opinion, Kenes feels like just a thorn in the group that instead builds disaster.

What’s most surprising is Karina’s figure. When “The Elixir” increasingly explores the friendship story of Kenes and Karina, this figure increasingly feels like the female lead of the story. Karina bravely fights zombies, although it feels packaged at the beginning like an antagonist.

the elixir [abadi nan jaya]
Courtesy of Mowin Pictures, Netflix © 2025

Going back to discussing the story, my guess turned out to be correct about which characters would survive. “The Elixir” is too predictable in terms of story, so when watching it, the initial expectations that were built only succeeded in terms of executing zombie attack dramatization, and the story is bad. Characters who suddenly enter the scene are also certainly easily predictable in their fate: all die. This is what makes “The Elixir” only build a sense of curiosity, namely how these zombies can be destroyed. The rest, of course, Kenes’s presence results in me continuously bad mouthing throughout watching it.

Actually, this film is only bad in terms of story. I feel the arrangement of many extras, with zombie choreography presented quite charmingly and seriously. This film also dares to destroy several vehicles and build the Wanirejo Police Station setting which becomes one of the main story locations. I also observed the details of makeup and the use of prosthetics on a massive number of actors, which deserves praise for a work by the nation’s children. The details presented, including the use of visual effects on Rudi during the kitchen scene, or when presenting a limbless zombie that becomes full of terror.

Unfortunately, “The Elixir” lacks triggering audience adrenaline with zombie attacks. Convincing zombie terror is instead broken by characters who panic and behave stupidly. Instead, “Zombieverse,” a reality show about zombies in Korea is far more entertaining and thrilling. Especially with the titles I mentioned earlier. At the end of the film, it slightly tells a new problem with the Jakarta City setting, which may be present as new material next. It feels like with this kind of story development, it’s not enough for me to watch the sequel, if any.


The Elixir [Abadi Nan Jaya] (2025)
TV-MA, 116 menit
Horror, Thriller
Director: Kimo Stamboel
Writers: Kimo Stamboel, Agasyah Karim, Khalid Kashogi
Full Cast: Mikha Tambajong, Eva Celia Latjuba, Donny Damara, Marthino Lio, Dimas Anggara, Varren Arianda Calief, Ardit Erwandha, Claresta Taufan Kusumarina, Kiki Narendra, Vonny Anggraini, Karina Suwandi, Willem Bevers, M. Iqbal Sulaiman, Hingka Moedra, Putri Permata, Stephanus Tjiproet, Gendhis Maharany, Keizio, Gatot Rahmadi
#863 – The Elixir [Abadi Nan Jaya] (2025) was last modified: November 2nd, 2025 by Bavner Donaldo