Setelah 11 tahun, salah satu film perwakilan Maroko berhasil kembali masuk ke dalam daftar pendek nominasi Best International Feature di ajang Academy Award 2023. Film itu berjudul “The Blue Caftan,” yang sebelumnya sudah memenangkan FIPRESCI Prize pada Cannes Film Festival tahun itu. Film ini akan mengisahkan kisah dari seorang perajin di kota Marrakesh.
“The Blue Caftan” memulai ceritanya dengan menghadirkan keindahan kaftan, yaitu sebuah jubah megah yang cukup populer di Asia Timur. Cerita yang bersetting di Maroko ini, akan membawa penonton untuk berkenalan dengan sepasang suami istri yang bekerja sehari-hari mengurus usaha bisnis kaftan mereka. Mereka adalah Halim dan Mina, yang diperankan Saleh Bakri dan Lubna Azabal. Halim merupakan seorang Ma’alem yang ada dibalik layar, dan Mina yang mengurus bagian depan.
Suatu hari, toko kecil mereka kedatangan seorang pekerja baru. Ia bernama Youssef, diperankan oleh Ayoub Missioui. Kehadiran Youssef malah kemudian membuat Mina menjadi risih, ketika Ia tak sengaja menatap suaminya yang terfokus memandang Youssef yang kala itu sedang mengganti pakaian bekerjanya. Entah apa di pikiran Mina, keberadaan Youssef malah memancingnya untuk semakin tidak karuan pada sang suami.
Menariknya, Halim tidak menunjukkan perilaku yang menyimpang pada sang istri. Tapi tentu, Ia tetap punya rahasia yang tidak disadari istrinya. Semakin hari, perilaku Mina semakin menjadi-jadi. Perempuan kuat nan tegas ini tiba-tiba mulai memaksa untuk ikut serta kegiatan suaminya, sampai-sampai memasak masakan spesial untuknya.
Film ini menjadi film kedua Maryam Touzani yang lolos di Cannes Film Festival. Seperti pendahulunya, “Adam,” dua-duanya lolos dalam Uncertain regard section. Dua-duanya pun juga menjadi wakil Maroko untuk film internasional terbaik di Academy Awards. Pada edisi ini, Ia menggarap ceritanya bersama Nabil Ayouch, suami Touzani yang juga sebelumnya sudah lebih sering menjadi perwakilan Maroko di kancah internasional.
Melihat tema ceritanya, rasanya “The Blue Caftan” ingin membangun nuasana queer dalam ceritanya, namun dengan penyajian yang terbilang implisit. Karakter Halim dan seksualitasnya membangun beragam tanda tanya seiring dengan berjalannya cerita. Hal ini terbukti dengan kehadiran Youssef yang tidak diceritakan jelas sebagai love interest utama. Perlakuan ini justru malah memancing apakah Halim memang sebetulnya hanya punya ketertarikan sebatas nafsu, atau memang kebiasannya di Hammam adalah jalan keluar untuk memenuhi statusnya yang masih closeted atau keterbatasan yang dimiliki Mina.
Begitupula dengan Youssef, karakter yang dicurigai Mina punya rasa dengan suaminya, tidak secara jelas memperlihatkan aksi selingkuh keduanya. Keduanya hanya sebatas saling menatap ataupun berpelukan. Itupun tidak dilihat Mina. Justru yang paling terlihat memainkan cerita dalam “The Blue Caftan” adalah Mina sendiri. Penonton akan diawali mempelajari sifat asli Mina, sampai akhirnya mencoba memahami pemikirannya yang seraya penuh dengan kecurigaan, sekaligus terpana dengan perilaku religiusnya.
Determinasi Halim menjadi salah satu bagian menarik dari cerita ini. Determinasi yang dilakukan Halim akan membuat penonton berpikir bagaimana Ia mencoba menahan keinginannya ketika Ia berada di depan istrinya. Termasuk ketika Ia mulai mencoba menjaga perasaan Mina, mengingat kesehatannya yang semakin menurun, semakin rapuh. Halim seakan berupaya menjaga keutuhan rumah tangganya yang terasa sebentar lagi akan selesai.
Untungnya, film ini berhasil diperankan dengan amat baik oleh Lubna Azabal dan Saleh Bakri. Saya amat menyukai bagaimana Azabal selalu menghadirkan suasana dramatis pada adegannya. Termasuk dengan perawakannya yang semakin tidak baik-baik saja. Begitupula dengan Bakri, Ia bisa menghidupkan situasi-situasinya dalam senyap. Kombinasi ini menjadi semakin hidup dengan plot cerita cinta yang cukup intens, dan kadang, menyayat hati.
Secara penyajian, “The Blue Caftan” juga mengunggulkan cerita melalui ragam konsumen yang punya segala macam request dan tabiat. Yang saya sukai adalah cara film ini memasukkan unsur kaftan, yang memperlihatkan kita bagaimana para perajin seperti Halim, dituntut akan detil dalam membentuk kesempurnaan. Film ini juga membangun urgensi bagaimana tak banyak lagi perajin yang mampu mengerjakan pakaian klasik ini. Mulai dari beragam jenis renda dan benang-benang emas yang semuanya dibuat dengan tangan.
Sulit memang jikalau film ini tidak berhasil masuk dalam daftar akhir nominasi Academy Awards kala itu yang diisi oleh “Close” dari Belgia, “The Quiet Girl” dari Irlandia, “EO” dari Polandia, “Argentina, 1985” dari Argentina, yang kemudian dimenangkan oleh “All Quiet on the Western Front” dari Jerman. Melihat kandidat pesaing tahun tersebut, cukup banyak judul menarik termasuk “Corsage,” “Holy Spider,” “Saint Omer,” “Last Film Show” sampai “Klondike.”
Film yang berdurasi 122 menit ini terbilang jadi sajian drama yang cukup menawan. Lambat laun penonton akan semakin menyadari jika Mina adalah pusat cerita. Ia adalah sosok yang mengejar Halim, dan merasa bangga dengan suaminya. Begitupula Halim, Ia mencoba hidup sekaligus menutupi identitasnya.
Momen yang paling membuat saya menyukai ceritanya adalah bagaimana “The Blue Caftan” menutup ceritanya, yang akhirnya membuat penonton paham dengan makna dari judul film ini. Kaftan biru yang dibuat Halim ternyata adalah keagungan terakhir bagi istrinya, yang sengaja disiapkannya. Yang bikin pangling, Ia pun berani melawan tradisi agama dan memakaikan pakaian itu, sambil dibantu Youssef untuk mengaraknya menuju tempat pemakamannya. Sungguh mengharukan.