Menutup Jakarta Film Week 2024, “Don’t Cry Butterfly” dihadirkan dalam menutup tema resonance yang diusung. Film produksi asal Vietnam bersama Singapura, Filipina dan Indonesia ini menawarkan suatu cerita yang ternyata disajikan tidak biasa.
Film ini akan membawa penonton di era 2000-an, di kota Hanoi, dan berkenalan dengan Tam, diperankan oleh Le Tu Oanh, yang sehari-hari berprofesi sebagai ibu rumah tangga, sekaligus bekerja di sebuah wedding organizer. Ia tinggal di sebuah pemukiman rumah susun, bersama suami dan putri semata wayangnya.
Awalnya semula berjalan baik-baik saja. Sampai suatu ketika, saat Tam sedang mengendarai motor menuju ke rumah, Ia malah bertemu sang putri dari arah lawan. Sang putri pun memberi tahu untuk tidak melihat pesan yang ada di dalam handphone-nya. Pesan tersebut merupakan informasi jika suami Tam diduga berselingkuh.
Hal ini justru membuat hidup Tam berbalik arah. Ia berniat untuk menceraikan suaminya, namun masih berupaya menyelamatkan rumah tangganya. Di sisi lain, sang putri tengah berupaya untuk melanjutkan pendidikan di luar negeri, dan berencana untuk berangkat bersama sang sahabat. Dalam kondisi tersebut, sebuah fenomena membawa Tam dan putrinya untuk menghadapi kebocoran langit-langit di rumahnya yang akan membawa mereka ke dalam dunia fantasi.
Film ini ditulis dan disutradarai Duong Dieu Linh, dan terhitung sebagai debut featured film-nya. Sebelumnya, film ini pertama kali dirilis pada Venice Film Festival, sebelum akhirnya melanglang buana ke Toronto, Busan, BFI London, dan Jakarta. Cerita pergolakan seorang Ibu rumah tangga ini ternyata berhasil membawa Linh untuk meraih tiga penghargaan sekaligus di Venice, termasuk penghargaan Grand Prize dari kritikus, Critic’s Week Award, dan Most Innovative Film.
“Don’t Cry Butterfly” awalnya amat mencuri perhatian saya. Film ini membuka filmnya dengan kemasan komedi yang akan membuat kita tertawa dengan keanehan yang diperlihatkan. Mulai dari sosok laki-laki di lantai atas yang menari dengan menggerakan pinggul ke depan berulang kali, sambil menikmati serangkaian Ibu-ibu di lantai bawah yang sedang berseragam dan senam tidak teratur. Potret kerandoman inilah yang justru membangun keseruan penyajian “Don’t Cry Butterfly.”
Contoh lainnya juga berasal dari pesta pernikahan yang digelar oleh Tam. Ada banyak keseruan, mulai dari percekcokan antar besan, bintang tamu yang terpana pada Tam, sampai Tam yang hampir saja lupa untuk menurunkan cincin dari atas panggung. Semua rangkaian kejenakaan ternyata akan menutupi kisah sedih yang dialami Tam.
Karakter Tam yang menjadi pusat cerita akan cenderung membangun kesan drama di film ini. Penonton akan terbawa dengan situasi jiwa yang tidak tenang, sekaligus membuatnya untuk melakukan hal yang irrasional dalam menyelamatkan pernikahannya. Mulai dari percaya dengan dukun, memasang tato, sampai mau berusaha terlihat lebih cantik demi membuat suaminya kembali terpikat. Sayang, sosok suami Tam yang cenderung tak punya dialog, sekaligus gerak-geriknya bisa dibaca oleh Tam, malah membangun rasa pertanyaan akan titik masalah pada keduanya.
Putri Tam juga mengisi cerita dengan kegalauannya, sekaligus penambah cerita. Sayang saja, penampilan putrinya terasa agak kurang ‘nyangkut’ berkesan buat saya. Saya hanya merasa sub-plot ini hanya untuk meramaikan cerita dari versi yang lebih muda, guna mendukung potret feminisme yang diusung film ini.
Sebetulnya, dari segi cerita, “Don’t Cry Butterfly” membangun ekspektasi yang cukup tinggi di awal. Malang, mood meter semakin menurun apalagi ketika masuk ke seperempat bagian akhir. Saat momen fantasi mulai mengisi ceritanya, disinilah yang membawa saya akan kesimpulan jika film ini akan bertema surrealis, yang memicu absurditas dalam menutup ceritanya.
Padahal, “Don’t Cry Butterfly” punya arahan yang menawan. Penonton akan menikmati tontonan arthouse yang terbilang kreatif. Sutradara Duone Dieu Linh menawarkan adegan-adegan yang kadang terasa cukup kompleks, unik, dan juga kontradiktif. Misalnya saja saat Tam dan putrinya yang tiba-tiba sedih, padahal latar adegan sedang memperlihatkan serangkaian penonton bola yang sedang bersorak ketika Tim Nasional Vietnam berhasil mencetak gol.
Contoh lainnya juga saat film ini mencoba menghadirkan adegan melalui pantulan gambar yang ditangkap dari bahal metal penutup mesin cuci. Ataupun ketika memperlihatkan para pemain dari sudut pandang ‘makhluk cair’ penghuni atap. Yang juga perlu disimak saat putri Tam dan sahabatnya yang berlarian di tangga dari lantai paling bawah ke paling atas, cukup dengan shot yang diambil secara meningkat ke atas. Penggunaan tracking shot juga dimanfaat dengan baik saat keduanya yang tiba-tiba turun kemudian berbalik arah.
Sebagai suatu sajian, saya merasa jika “Don’t Cry Butterfly” dikemas dengan begitu menarik. Salah satunya ketika putri Tam yang mempertanyakan alasan mengapa kadang kelamin disimbolisasi dengan hewan, yang padahal cukup dijelaskan sebagai organ diantara kedua kaki. Aksi dukun yang melakukan pembersihan juga terasa tidak menyeramkan, dan justru lucu, sekaligus menertawakan irrasionalitas karakter utamanya. Sayang saja, fantasi yang dihadirkan justru merusak pengalaman saya dari yang awalnya merasa tontonan ini terasa begitu berkualitas, lalu berubah menjadi absurd dengan simpulan tak jelas dalam menutup kisahnya.