Cerita mengenai kehidupan sekolah selalu terasa menarik. Apalagi ketika ceritanya cukup relate. Dalam film teranyarnya, Alexander Payne akan membawa penonton tentang kisah dari suatu sekolah laki-laki bernama Barton Academy. Film yang berjudul “The Holdovers” ini jadi tontonan pas saat liburan yang akan membahas situasi liburan dari mereka yang tertinggalkan.
Bersetting di tahun 1970, penonton akan dikenalkan dengan sosok seorang guru sejarah kuno bernama Paul Hunham, yang diperankan oleh Paul Giamatti. Hunham tak hanya dianggap sebagai salah satu yang senior. Ia juga amat dibenci murid-murid, sekaligus rekan sejawatnya. Mereka amat membenci dengan cara Hunham yang terasa tradisional, keras nan berintegritas, namun terasa terlalu. Singkat cerita, Hunham ditugaskan oleh kepala sekolah bernama Dr. Woodrip, diperankan oleh Andrew Garman, yang notabene juga mantan muridnya. Hunham mendapat giliran sekaligus hukuman untuk menjaga para siswa-siswa yang tidak pulang pada masa libur panjang.
Singkat cerita, penonton pun akan berkenalan dengan seorang siswa bernama Angus Tully. Tully, yang diperankan oleh Dominic Sessa, merupakan salah satu murid Hunham. Ia sudah bersiap-siap untuk menikmati liburan bersama keluarganya, yang katanya akan mengunjungi St. Kitts. Malang, di hari H, Ia tidak dijemput orangtuanya. Tully malah menjadi siswa kelima yang akan menghabiskan libur Natal dan Tahun Baru mereka di Barton.
Ini merupakan film kedua Alexander Payne yang tidak ditulisnya setelah “Nebraska.” Sedari awal, “The Holdovers” punya kesan yang mengingatkan saya dengan film-film dari masa keemasan Hollywood, yaitu era 70-an. Opening credit film ini terasa sengaja dikemas lewat sentuhan tone, penambahan bintik-bintik hitam, sama penulisan yang tidak stabil. Kesemuanya ini terasa seperti kita menyaksikan film lama yang belum direstorasi.
Secara penyajian, saya menyukai alur cerita “The Holdovers.” Ceritanya memang terasa tidak terlalu berat, namun upaya eksekusi dalam membongkar karakter-karakter didalamnya terasa amat detil. Mulai dari Hunham dan masa lalunya, Tully dan keluarganya, sampai sosok Mary yang mencuri perhatian sepeninggal putra satu-satunya. Kesemua karakter ini membawa penonton untuk memahami bagaimana cara berpikir mereka masing-masing, yang pada akhirnya membawa ke situasi ini.
Baiknya pula, ensemble cast “The Holdovers” terasa mengagumkan. Saya teringat seperti karya Payne sebelumnya, “Downsizing” yang sebetulnya secara kualitas akting digarap serupa. Dalam sajian ini, saya amat tergugah dengan penampilan Paul Giamatti, yang kerap mencuri perhatian saya lewat sosoknya yang terasa punya beragam cerita, sejarah dan hal tak terduga. Di sisi lain, penampilan debut Dominic Sessa terasa cukup meyakinkan. Sosok Tully yang depresif membangun ketertarikan saya pada karakter seiring ceritanya berjalan. Begitupula dengan Mary, yang diperankan Da’Vine Joy Randolph. Sosoknya hadir sebagai pencair dari kedua karakter utama yang seperti tak akur.
“The Holdovers” sedikit mengingatkan saya dengan masa-masa ketika saya berasrama. Mungkin memang berbeda dengan versi filmnya, tapi tentu akan terasa lebih krik-krik jika yang tertinggal hanya seorang diri seperti Tully. Jika saya menjadi Tully, tentu akan cukup jengkel ketika periode liburan kita diwajibkan untuk belajar, sampai olahraga pagi di musim yang tengah bersalju.
Ngomongin musim penghargaan tahun ini, saya rasa “The Holdovers” yang merupakan salah satu unggulan Focus Features akan dengan mudah merebut beberapa slot nominasi. Bagi saya, film ini sudah mengantongi Best Director, Best Original Screenplay, Best Actor in Leading Role, Best Actor in Supporting Role, Best Actress in Supporting Role, dan juga Best Editing. Yang bikin lebih meyakinkan lagi ketika film ini terpilih sebagai Top 10 Film 2023 versi National Board of Reviews bersama “Barbie,” “The Boy and the Heron,” “Oppenheimer,” dan “Past Lives.”
Alhasil, “The Holdovers” memang bukan yang terbaik, namun ini salah satu film favorit saya di tahun ini. Film ini berdurasi lumayan panjang, sampai dua jam lebih, namun cerita yang dihadirkan lumayan membuat kita berkaca-kaca sok kuat pada akhirnya. Untung bukan sebuah film cengeng. “The Holdovers” memang layak dihadirkan dan disaksikan di masa liburan ini.