Pada tanggal 24 Desember 2013, PM Inggris Gordon Brown mewakili Ratu Elizabeth II membuat permintaan maaf kepada publik dengan memberikan pengampunan untuk Alan Turing, atas tindakan yang dinilai sebagai sebuah perbuatan yang keji. Disinilah kisah “The Imitation Game.” Mengapa demikian? Alan Turing hidup pada awal abad ke-20 di Inggris, yang saat itu masih cukup keras untuk memperlakukan status sosial para homoseksual. Kaum homoseksual dianggap ilegal, kurang lebih sama dengan penjahat dan perlakuan pemerintah adalah memasukkan mereka ke penjara atau melakukan terapi hormornal demi menyembuhkan “perilaku” mereka.
Mengapa Turing menjadi sosok yang spesial? Yah, Turing adalah salah satu sosok penting, terutama sebagai salah satu gamemaker Inggris selama Perang Dunia ke-II. Turing berjasa dalam memecahkan Enigma, yaitu sebuah mesin yang memiliki kemampuan untuk menenkripsi pesan pihak Jerman selama perang dunia. Berkat Turing, Inggris berhasil untuk memenangkan beberapa pertempuran yang dianggap sebagai kehebatan Inggris, padahal Turing ada di belakang layar.
Selama hampir 2 jam, film ini akan berkisah tentang kehidupan Alan Turing. Benedict Cumberbatch berperan sebagai pemeran utama, dan akan mengajak penonton untuk mengetahui 2 pesan penting yang sebetulnya ingin dikirim oleh ceritanya: Keberhasilan Turing membongkar Enigma dan Homoseksualitas.
Film ini akan diramaikan oleh kehadiran Keira Knightley, yang berperan sebagai Joan Clarke, seorang wanita dengan intelektualitas yang cukup tinggi, yang membuatnya menjadi salah satu tim inti Turing. Saya cukup tidak menyangka dengan sosok Clarke yang tergolong tidak biasa. Penampilan Knightley disini cukup meyakinkan dengan kualitas Academy Award nominee performance, and don’t expect what you already see from her in “Atonement” or “Anna Karenina.”
Film ini disutradarai oleh Morten Tyldum, sutradara asal Norwegia. Tyldum menyajikan sebuah adaptasi biografi yang memang tidak 100% akurat, tetapi setidaknya Ia mampu untuk berada dalam pace yang tepat. Saya cukup menikmati kisahnya, tanpa ada rasa bosan sedikitpun.
Graham Moore juga menjadi sosok penting film ini. Sebagai penulis naskahnya, Moore memasukkan cukup banyak dialog-dialog pintar yang menarik. Moore mengadaptasi kisahnya dari sebuah buku yang berjudul “Alan Turing: The Enigma” karya Andrew Hodges, dan hasil adaptasi ini menjadi salah satu unproduced Hollywood Script versi The Black List di tahun 2011, sebelum akhirnya diakuisisi oleh The Weinstein Company.
Tidak ketinggalan, score gubahan Alexandre Desplat akan mengiringi kisah Turing. Seperti biasa, Desplat hadir dengan komposisi musik dengan alunan banyak nada yang cepat tetapi sangat mengalir.
Ada satu kutipan yang cukup menarik dari Turing, “Do you know why people like violence? It is because it feels good. Humans find violence deeply satisfying. But remove the satisfaction, and the act becomes… hollow.” Yup, apa yang terjadi pada setiap tindakan kita pasti berasal dari hasil kejadian-kejadian di masa lampau. Film ini akan cukup sering melakukan flashback dalam menceritakan masa kecilnya yang ternyata cukup berpengaruh pada kehidupan setelahnya.
Setelah film ini dirilis, film ini mendapat sambutan yang cukup hangat sebagai salah satu contender kuat di masa award season 2014. Mulai dari 8 nominasi Academy Awards 2014 hingga menjadi salah satu film terbaik tahun 2014 versi American Film Institute dan National’s Boards of Review. Yang menarik, ternyata masalah perlakuan pemerintah Inggris pada kaum homoseksual di era tersebut menjadi salah satu “tragedi” yang sebetulnya ingin disampaikan secara tersirat, yang nantinya dibeberkan pada bagian ending. Tidak sampai disitu, advokat sipil untuk kaum LGBT dan organisasi Human Rights Campaign memberikan apresiasi yang cukup besar atas usaha untuk menceritakan kisah Turing.
Jadi, kembali lagi, mengapa Turing begitu spesial? Ada lagi salah satu peninggalan Turing yang cukup populer, namun tidak kita sadari. Keberhasilan Turing dalam men-decode Enigma dengan memprogram sebuah mesin yang bernama Christopher, ternyata menjadi cikal bakal dari Turing machines, yang saat ini kita kenal dengan istilah KOMPUTER.
Mungkin tanpa adanya kriminalisasi pada kaum homoseksual di masa tersebut akan membuat Turing dapat hidup lebih lama dan tidak perlu untuk melakukan aksi bunuh diri di usianya yang ke 41. Akan tetapi, bila hal tersebut terjadi, Turing mungkin tidak akan se-fenomenal sekarang ini. Ada sebuah kutipan menarik dari Clarke dalam menggambarkan Turing di film ini, “Sometimes it is the people who no one imagines anything of who do the things that no one can imagine.”
As a closing, “The Imitation Game” reveals WWII the hidden secret why Germans became losers, with a tragic story of a pioneer in computers science named Alan Turing, who behind it all. One of the best British film from this decade...