Kembali ke 1996, dua tahun sebelum turunnya rezim orde baru yang dipimpin Soeharto. Situasi politik di Indonesia mulai memanas dengan munculnya gerakan perlawanan yang mengusung asas sosial demokrasi oleh para aktivis. Salah satunya saat Partai Rakyat Demokratik (PRD) didirikan. Partai yang sejak awal pendiriannya menyatakan sebagai oposisi orde baru. Melalui latar tersebut, “Istirahatlah Kata-Kata” menghadirkan pelarian Wiji Thukul, seorang penyair dan aktivis yang melawan pemerintah lewat rangkaian puisi dan karya seni. Ia masih dinyatakan hilang bersama belasan aktivis lainnya hingga kini.
Solo, Solitude. Dua kata pembuka film ini. Wiji Thukul, diperankan oleh Gunawan Maryanto, melewati masa-masa beratnya dengan berpindah-pindah tempat. Ia harus menginap dari satu rumah ke rumah yang lain. Yah, inilah resiko yang harus ditanggung para influencer yang dianggap mengancam bagi pemerintahan waktu itu. Kasarnya, jadi buronan. Film ini menceritakan perjalanan Thukul ketika Ia menjalani pelariannya di Pontianak pada tahun 1996. Thukul dianggap sebagai aktivis yang memprakarsai kerusuhan 27 Juli di Jakarta.
Di saat yang sama di Kota Solo, Siti Dyah Sujirah, yang dikenal dengan Sipon, harus menghadapi interogasi polisi yang mencari suaminya. Sipon, yang diperankan Marissa Anita, bersama kedua anaknya, Fitri dan Fajar, mengalami berbagai macam tekanan. Koleksi buku Thukul disita dan mereka hidup dalam pengawasan polisi.
Di Pontianak, Thukul dibantu oleh beberapa rekan-rekannya. Ada Thomas, diperankan oleh Dhafi Yunan, yang berusaha memecah emosi ketakutan Thukul. Ada juga Martin, diperankan Eduwart Boang Manalu, seorang Batak yang membantunya dalam menyamarkan identitas. Tidak hanya itu, Ia pun mengubah penampilan dan cara bicaranya. Adegan-adegan ketika Wiji berpapasan dengan militer ataupun polisi yang mencurigainya selalu jadi momen yang cukup membuat saya deg-degan.
Film berdurasi 97 menit ini ditulis dan disutradarai Yosep Anggi Noen, dan terfokus pada karakter Thukul. Penonton akan cukup sering melihat banyaknya adegan-adegan sunyi, namun terkesan sarat ekspresi yang diperlihatkan Gunawan Maryanto. Melalui cara ini, pesan yang ingin disampaikan begitu terasa. Pesan seperti ketakutan-ketakutan Wiji yang hanya berdiam di dalam rumah, mengukur panjang tali rafia yang digabungkan agar bisa kabur, ataupun tidak tidur karena merasa gelisah.
Yang menarik, penggarapan cerita ini berasal dari kumpulan cerita yang dikumpulkan Noen dari berbagai pihak yang sempat membantu Thukul dalam pelariannya. Juga termasuk beberapa informasi literatur dan catatan tulisan Wiji Thukul dari perpustakaan Ohio State University dan Koninklijk Instituut voor Tall (KITLV). Beberapa syairnya juga hadir dalam bentuk narasi. Tidak banyak, namun berhasil melengkapi upaya untuk menghidupkan emosi yang ingin disampaikan.
Saya menyukai penggambaran Thukul yang dihadirkan. Walaupun ceritanya terbilang agak sedikit fiksi, Gunawan Maryanto, yang juga aktor Teater Garasi, berhasil menghidupkan karakter Wiji Thukul. Saya suka gerak-gerik, pelampiasan kegelisahan, ketidaktenangan, tranformasi tampilan hingga semangatnya yang tidak pernah pudar.
Begitupun dengan Marissa Anita, yang memerankan Sipon. Film ketiganya yang baru kali pertama saya tonton cukup membuat saya kehabisan kata-kata. Sebagai salah seorang news anchor dan presenter yang saya ketahui, Anita benar-benar keluar dari ‘zona nyaman’-nya. Ia menampilkan sesuatu yang tidak pernah saya lihat selama ini. Mulai dari logat Jawa, cara berjalannya, serta tampilan wajah yang berbeda sama sekali.
Film ini menjadi peserta di beberapa festival film sepanjang 2016. Seperti masuk ke dalam Cineasti del Presente Competition di Locarno, Veto! Competition di FilmFest Hamburg, Competition di Vladivostok Pacific Meridian, A Window of Asian Cinema di Busan, dan lainnya. Film ini juga meraih Golden Hanoman Award di Jogja Asian Film Festival serta meraih 2 nominasi untuk Sutradara Terbaik dan Penulis Skenario Asli Terbaik di Piala Citra. Tidak ketinggalan, baru-baru ini film ini menyabet gelar Film Terbaik versi Majalah Berita Mingguan TEMPO termasuk Sutradara, Aktor dan Aktris. Prestasi yang mengagumkan.
Pemadaman listrik jadi salah satu adegan menarik yang berulang di film ini. Peristiwa yang hingga kini masih dirasakan masyarakat Indonesia ini, digambarkan untuk diinterpretasikan dalam bentuk yang lain. Wiji yang sedang memindahkan karyanya ke komputer, anak bayi yang selalu menangis bila lampu padam, ataupun Sipon yang sedang menemani Fitri mengerjakan tugas. Walaupun padam, namun tidak jadi sebuah alasan untuk berhenti.
Buat saya, film ini lebih terbilang sebagai sebuah arthouse biopic. Jangan berekspektasi berlebihan kalau tontonan ini tidak seperti film-film drama kekinian. “Istirahatlah Kata-Kata” merupakan sebuah tontonan cerdas, menampilkan bagaimana seorang Wiji Thukul kembali bersemangat untuk memperjuangkan demokrasi dan menguburkan segala ketakutan selama masa pelariannya.
Peristiwa hilangnya Wiji Thukul dan aktivis lainnya adalah sebuah hutang yang harus dilunasi. “Aku memang masih utuh, dan kata-kata belum binasa,” sepenggal syair ini membuktikan walaupun kini Wiji telah hilang sejak 19 tahun yang lalu, kata-katanya masih belum akan binasa.
Special thanks to Yulia Evina Bhara dan Amerta Kusuma dari KawanKawan Films yang telah mengundang Gala Premiere Istirahatlah Kata-Kata dan memprovide stills di postingan ini. Juga untuk Christina Dwi Susanti yang sudah menambahkan serta memperbaiki tulisan ini.