Disebut sebagai film pertama yang berhasil membuat Woody Allen hijrah menggunakan kamera digital, “Café Society” menawarkan visualisasi istimewa dan kisah seorang Bobby Dorfman tentang cinta, keluarga, hingga para regular di club miliknya. Kali ini, Allen mengusung Jesse Eisenberg, Kristen Stewart, dan Steve Carell dengan bumbu komedi dan dialog-dialog panjang khas-nya.
Film ini terpusat pada seorang pria bernama Robert Jacob ‘Bobby’ Dorfman, diperankan oleh Jesse Eisenberg. Bobby memutuskan untuk merantau ke Hollywood untuk bertemu pamannya, Phil Stern, diperankan oleh Steve Carell. Phil merupakan seorang agen yang sukses. Ia kerap menggelar pesta dan punya banyak koneksi dengan para artis. Sayang, walaupun Ia dikelilingi banyak orang populer, buat Bobby ini hanya setengah menarik.
Salah satu fokus romance di film ini adalah ketika Bobby berhasil bertemu dengan Phil, setelah menunggu 3 minggu. Ia bukan jatuh cinta pada Phil, namun Bobby langsung terpikat saat Phil menugaskan Vonnie, diperankan oleh Kristen Stewart, untuk mengajaknya berkeliling Hollywood. Keduanya kemudian menghabiskan waktu bersama. Mengunjungi perumahan elit Beverly Hills, hingga mengunjungi café Coconut Grove. Sebagai seseorang yang terlalu pushy, Bobby mengungkapkan perasaannya pada Vonnie. Disaat yang sama, Vonnie mengaku bila Ia sedang menjalani hubungan dengan seorang jurnalis bernama Doug.
Allen kini telah berusia 80 tahun, dan tetap produktif untuk menghadirkan karya-karya yang original. Menyaksikan “Café Society” sedikit mengingatkan saya dengan “Hannah and Her Sisters”, “Vicky Cristina Barcelona,” “Midnight in Paris,” hingga “Blue Moon.” Sebetulnya, tidak ada sesuatu yang spesial dengan film ini. Saya cukup merasa bosan dengan ceritanya. Baiknya, Allen masih menampilkan gaya khasnya, misalnya seperti cara Ia memulai film-filmnya, ataupun narasi-narasinya.
Film ini mengusung perwatakan karakter-karakter yang naif, galau, dan plin-plan. Seperti ke-‘plin-plan’-an karakter Phil saat memutuskan untuk melanjutkan bahtera rumah tangganya. Ataupun kegalauan Vonnie akan memilih pria yang dicintainya. Film ini juga menyentil unsur-unsur Yahudi, mengingat tokoh utama film ini merupakan seorang Yahudi. Ini tampak saat orangtua Bobby yang kerap mempertanyakan ke-Yahudi-an Phil, ataupun kekecewaan mereka saat Ben ingin meninggal secara Kristiani.
Film ini bersetting di tahun 1930-an, era kebangkitan perfilman di Hollywood, dengan memasukkan banyak nama famous people didalamnya. Mulai dari Ginger Roger, William Wyler, Louis B. Mayer, Greta Garbo hingga Errol Flynn. Semuanya menjadi pemanis yang kelihatan meyakinkan dalam permainan imajinasi Allen. Saya pun cukup menikmati ketika Allen sering memasukkan iringan piano “Lady and the Tramp” yang memenuhi adegan-adegan manis film ini.
Bicara teknis film ini, penggambaran visualisasi yang ditawarkan “Café Society” terbilang diatas rata-rata. Allen membawa penonton untuk melihat kembali Central Park, Chinese Grauman Theater, hingga jembatan Manhattan yang sempat dibuatnya fenomenal dalam “Manhattan.” Cinematography yang dilakukan Vittorio Storaro cukup membawa penonton untuk masuk ke dalam adegan-adegan mengalir yang kadang sering dipenuhi interupsi. Salah satu scene yang berkesan buat saya ketika Phil dan Vonnie sedang beragumen di tempat penitipan barang, dan Phil kerap diganggu oleh tamu-tamu yang mengunjungi tempat itu.
Hebatnya, Allen selalu berhasil menangkap kualitas akting para pemainnya. Dialognya yang dikemas cerdas, dengan pemikiran mereka masing-masing, berhasil menggambarkan karakter mereka dengan baik. Di film ini, Eisenberg dan Stewart menampilkan sesuatu yang tidak pernah saya saksikan tentang mereka, terutama Stewart. Sayangnya saya belum sempat menyaksikan “Clouds of Sills Maria” yang juga disebut-sebut salah satu penampilan terbaiknya. Namun, lain dengan Carrell. Saya merasa cara Carell di film ini kurang lebih sama dengan apa yang Ia tampilkan dalam “The Big Short.” Seperti sosok yang sama dengan setting era yang berbeda saja.
Malang, formula “Café Society” kurang bekerja buat saya. Film yang hanya berdurasi 96 menit ini terkesan cukup membosankan, didukung pace yang pelan dan hubungan karakter ‘tak terduga’ yang mudah terduga. Sayang, Allen kurang menampilkan sesuatu yang benar-benar berbeda. Ia bermain terlalu aman dalam dunia imajinasinya untuk sebuah “Café Society.”