Table of Contents
🇮🇩 Bahasa Indonesia – Original
Setelah “Preparation for the Next Life” amat kurang memikat saya, ini adalah film berikutnya dari FYC Amazon MGM Studios yang akan saya ulas. Berjudul “Hedda,” film ini akan menawarkan drama dari akhir abad ke-19.
Karakter utama film ini bernama Hedda Gabler, diperankan oleh Tessa Thompson. Ia baru saja melakukan bulan madu dengan suaminya, George Tesman, yang diperankan oleh Tom Bateman. Mereka pindah ke sebuah vila megah di kota Oslo. Kala itu, George sedang ingin mendapatkan posisi profesor, sehingga mereka mengundang Profesor Greenwood untuk berpesta di rumah.
Tak hanya si profesor, Hedda juga mengundang teman-temannya. Sampai suatu ketika, ia dikejutkan dengan kedatangan seorang teman lamanya yang bernama Thea Clifton, diperankan oleh Imogen Poots. Thea mengetahui jika rekan perisetnya, Eileen Lovborg, yang diperankan oleh Nina Hoss, akan datang. Dari Thea juga Hedda tahu kalau Thea dan Eileen merupakan sepasang lover. Hal ini malah membuat Hedda geram.
Singkat cerita, sosok yang ditunggu-tunggu itu datang. Eileen tidak sendiri, namun ia membawa beberapa koleganya. Pertemuan dengan Hedda juga terasa berwarna, yang sekilas memperlihatkan jika Hedda masih punya hati dengan mantan kekasihnya itu. Hedda pun terkejut ketika Eileen sudah tidak lagi minum minuman keras. Saat Hedda mengetahui jika posisi mengajar yang akan dikejar George akan diberikan Profesor Greenwood pada Eileen, ia menyiapkan rencana yang tidak terduga.
Film ini ditulis dan disutradarai oleh Nia DaCosta. Ia mengadaptasi dari sebuah play tahun 1891 yang dikarang Henrik Ibsen. Sebagai sebuah adaptasi, ini bukanlah yang pertama. Kebanyakan versi tersebut berjudul “Hedda Gabler.” Tercatat, hanya film ini dan buatan tahun 1975 yang hanya menggunakan nama depannya.
Sejak awal, saya terpukau dengan penyajian film ini. Terutama ketika Hedda yang tiba-tiba mau menembak ke arah karakter Judge Roland Black. Begitu pula dengan set vila megah yang menjadi saksi bisu tingkah laku para peserta pesta. Film akan membawa penonton untuk menikmati cerita dari persiapan pesta sampai berakhirnya pesta. Mereka akan berdansa, berenang di danau, sampai bercinta di dalam maze.
Sinematografi yang digawangi Sean Bobbitt terasa berhasil mengemas shot–shot-nya untuk dapat menghidupkan aktivitas yang berlangsung. Misalnya saja ketika Eileen sedang bercengkrama dengan para lelaki di ruangan tertutup, ataupun ketika aktivitas ruangan dansa sedang berlangsung. Yang saya sukai, sepertinya Bobbitt menggunakan fish eye lens untuk dapat mengambil seluruh adegan dengan cermat.
Aspek lain yang rasanya juga unggul dari “Hedda” adalah production designer Cara Brower yang bisa menghidupkan kembali glamor pada masa tersebut. Kalau diperhatikan sebetulnya ruangan-ruangan terasa tidak begitu luas, tetapi bisa terlihat luas.
Dari sisi ensemble cast-nya, akting Tessa Thompson sebagai Hedda terasa meyakinkan. Sebagai sosok playmaker di film ini, ia akan membuat penonton campur aduk. Apalagi ketika kita menyadari jika sepertinya ia tidak bahagia dengan suaminya. Apalagi juga ketika kita mengetahui jika Hedda seperti punya banyak lover di luar sana. Aktris yang juga memerankan karakter Bianca dalam “Creed“ ini juga sepertinya patut dipertimbangkan dalam Oscar race mendatang.
Begitu pula dengan Nina Hoss, yang memerankan sosok Eileen Lovborg. Aktris yang sebelumnya bermain dalam “Tár“ ini menghadirkan totalitas karakternya yang dikemas bermasalah. Bila karakter Hedda adalah playmaker, Lovborg-lah yang menjadi executor-nya. Tanpa Lovborg, rasanya pesta di rumah Hedda tidak akan berwarna.
“Hedda” pertama kali dirilis di Toronto International Film Festival dan sudah menjelajah ke berbagai festival. Mulai dari Woodstock, Zurich, Rio de Janeiro, sampai BFI London. Film ini sudah dirilis dalam versi VOD, yang bisa disaksikan di Amazon Prime Video.
Kalau melihat potensi “Hedda” untuk awards season tahun ini, rasanya film ini bisa dipertimbangkan untuk beberapa kategori seperti Best Actress in a Leading Role, Best Actress in a Supporting Role, Best Adapted Screenplay, Best Cinematography, dan Best Production Design.
Sebagai penutup, saya menyukai eksekusi yang dihadirkan dalam “Hedda.” Film ini memperlihatkan karakter Hedda yang sekilas terlihat mapan, ditemani orang-orang, ternyata dipenuhi dengan kehampaan. Film yang akan membuat Anda mempertanyakan: apakah kemewahan bisa mengisi kekosongan jiwa? Jawaban Hedda akan mengejutkan Anda.
🇬🇧 English Version – Translated
After “Preparation for the Next Life” greatly failed to captivate me, this is the next film from FYC Amazon MGM Studios that I will review. Titled “Hedda,” this film will offer drama from the late 19th century.
The main character of this film is named Hedda Gabler, played by Tessa Thompson. She just went on a honeymoon with her husband, George Tesman, played by Tom Bateman. They moved to a magnificent villa in Oslo. At that time, George wanted to get a professor position, so they invited Professor Greenwood to party at their house.
Not just the professor, Hedda also invited her friends. Until one time, she was surprised by the arrival of an old friend named Thea Clifton, played by Imogen Poots. Thea knew that her research colleague, Eileen Lovborg, played by Nina Hoss, would come. From Thea, Hedda also learned that Thea and Eileen are a couple of lovers. This instead makes Hedda furious.
Long story short, the awaited figure arrives. Eileen is not alone, but she brings several colleagues. The meeting with Hedda also feels colorful, which briefly shows that Hedda still has feelings for her ex-lover. Hedda is also surprised when Eileen no longer drinks hard liquor. When Hedda learns that the teaching position that George will pursue will be given by Professor Greenwood to Eileen, she prepares an unexpected plan.
This film is written and directed by Nia DaCosta. She adapted it from a 1891 play written by Henrik Ibsen. As an adaptation, this is not the first. Most of those versions are titled “Hedda Gabler.” Noted, only this film and the 1975 version use only the first name.
From the start, I was fascinated by this film’s presentation. Especially when Hedda suddenly wants to shoot toward Judge Roland Black’s character. Likewise with the magnificent villa set that becomes a silent witness to the party participants’ behavior. The film will bring the audience to enjoy the story from party preparation to the end of the party. They will dance, swim in the lake, to making love in the maze.
The cinematography handled by Sean Bobbitt successfully packages its shots to bring activities to life. For example, when Eileen is chatting with men in a closed room, or when dance room activities are taking place. What I like is that Bobbitt seems to use a fish eye lens to capture entire scenes carefully.
Another aspect that also excels from “Hedda” is production designer Cara Brower who can bring back the glamor of that era. If you pay attention, actually the rooms don’t feel that spacious, but can look spacious.
From the ensemble cast side, Tessa Thompson’s acting as Hedda feels convincing. As the playmaker figure in this film, she will make the audience mixed up. Especially when we realize that she seems unhappy with her husband. Moreover, when we know that Hedda seems to have many lovers out there. The actress who also played Bianca’s character in “Creed“ also seems worthy of consideration in the upcoming Oscar race.
Likewise with Nina Hoss, who plays Eileen Lovborg. The actress who previously played in “Tár“ presents the totality of her character packaged with problems. If Hedda’s character is the playmaker, Lovborg is the executor. Without Lovborg, the party at Hedda’s house wouldn’t be colorful.
“Hedda” was first released at Toronto International Film Festival and has traveled to various festivals. From Woodstock, Zurich, Rio de Janeiro, to BFI London. This film has been released in VOD version, which can be watched on Amazon Prime Video.
Looking at “Hedda’s” potential for this year’s awards season, this film can be considered for several categories such as Best Actress in a Leading Role, Best Actress in a Supporting Role, Best Adapted Screenplay, Best Cinematography, and Best Production Design.
In closing, I like the execution presented in “Hedda.” This film shows Hedda’s character who at a glance looks established, accompanied by people, turns out to be filled with emptiness. A film that will make you question: can luxury fill the emptiness of the soul? Hedda’s answer will surprise you.
