Apa jadinya ketika seorang sosok pembunuh berantai dengan beraninya mengikuti acara matchmaking di televisi. Peristiwa ini sempat terjadi di Amerika Serikat pada akhir dekade 70-an silam. Lewat premis menarik ini, “Woman of the Hour” sekilas menawarkan potensi cerita kejahatan yang selalu memikat Hollywood.
Awal film ini dimulai dengan memperlihatkan seorang perempuan yang tengah bersedih, dan sedang bersama dengan seorang pria yang kemudian akan dikenal sebagai Rodney, diperankan oleh Daniel Zovatto. Yang bikin heran, keduanya berada di suatu tebing gurun yang tandus, yang tak kelihatan ada orang lain selain mereka. Sesuai ekspektasi, Rodney, si antagonis utama tak segan untuk menyiksa dulu perempuan tersebut, sebelum akhirnya menghabisinya.
“Woman of the Hour” kemudian memperkenalkan Sheryl, diperankan oleh Anna Kendrick, seorang perempuan yang sedang berniat menggapai mimpi di Hollywood. Kegagalan akan casting yang dialaminya membuat Ia untuk menyerah dan memulai jenjang karir yang lain. Akan tetapi, berkat dari sebuah telepon dengan agent-nya, Ia malah didaftarkan untuk mengikuti salah satu acara matchmaking di televisi yang bernama ‘The Dating Game.’
Bila melihat “The Dating Game,” konsep yang ditawarkan acara ini amat berbeda dengan program “Take Me Out” yang kita kenal. Disini, sosok perempuan yang dihadirkan akan melakukan serangkaian pertanyaan kepada tiga kandidat pria. Yang jadi masalah, pertanyaan atau kondisi sudah dikemas dulu oleh tim produksi, sehingga sang perempuan cukup perlu terlihat tidak terlalu pintar dan mengikuti arahan saja.
Pada titik ini, Sheryl terasa kurang setuju. Ia memilih untuk keluar dari arahan tersebut. Ketika acara sedang berlangsung, salah seorang penonton bernama Laura, yang diperankan oleh Nicolette Robinson, tiba-tiba meninggalkan studio dan berniat mencari polisi. Laura berniat melaporkan Rodney, yang sebelumnya dipercaya telah memperkosa dan merenggut nyawa sahabatnya setahun yang lalu.
“Woman of the Hour” adalah film produksi Netflix yang sekaligus menjadi directorial debut dari Aktris peraih nominasi Oscar, Anna Kendrick. Kendrick pun juga ikut bermain sebagai pemeran utamanya. Pola yang sama seperti Ben Affleck ketika berhasil dengan film terbaik Oscar “Argo”, Kevin Costner dengan “Dances with Wolves,” ataupun Clint Eastwood dengan “Million Dollar Baby.” Tapi rasanya, Kendrick mungkin tidak akan se-prestatif nama-nama tersebut untuk karya ini.
Dari segi cerita, ekspektasi yang dibangun pada saya rasanya sudah cukup besar. Sebab, biasanya film-film yang menawarkan kisah nyata para serial killer dikemas dengan cukup menegangkan. Misalnya saja, film “Zodiac” yang hingga kini kasusnya masih belum terbongkar. “Woman of the Hour” malah tidak sebaik itu. Secara penyajian, film ini masih terbilang tidak terlalu menawarkan kengerian yang terlalu, yang jadinya membuat kesan thrilling film ini amat tidak terasa.
Saya rasa salah satu penyebabnya karena pengemasan cerita yang kurang. Padahal, durasi 95 menit untuk film ini sudah terasa pas. Cuma saja, alur cerita mudah tertebak, walaupun bisa jadi kita tidak mengetahui cerita aslinya. Alhasil, ketika adegan-adegan mengalir, menjadi tidak ada sesuatu yang spesial.
Akan tetapi, dari segi cerita ada poin yang menarik. Saya menyukai aksi Sheryl saat Ia menunjukkan perlawanannya akan arahan, yang seakan-akan mematahkan persepsi bahwa wanita tidak boleh lebih pintar dari pria; melawan skema patriarki yang terus berjalan dalam ‘The Dating Game,’ sesuai ucapan Marilyn, hairstylist sekian tahun acara ini.
Kalau bicara penampilan, juga terasa tidak ada yang begitu special. Seperti biasa, Anna Kendrick ya akan hadir seperti Anna Kendrick. Saya cukup heran, tidak mendapati adanya perbedaan yang signifikan. Ini seperti kita menyaksikan Kendrick sebagai Beca dalam “Pitch Perfect“, Jessica dalam “Twilight”, hanya kecuali ketika Ia menjadi Natalie dalam “Up in the Air.”
Sebagai salah satu contender dari Netflix untuk musing penghargaan di tahun ini, saya rasa “Woman of the Hour” belum punya satu kategori yang paling menonjol. Bisa saja bila Kendrick akan menyutradarai film yang lebih baik, tapi untuk yang satu ini sepertinya belum. Eksekusi film dan ceritanya ternyata masih belum semenarik premisnya yang masih punya banyak potensi.