Periode 60-an di Amerika menjadi salah satu momentum penting pada perlawanan akan segregasi sipil yang masih terjadi. Salah satunya ketika sosok Martin Luther King Jr., membawa orasi terpopulernya ‘I Had a Dream,’ yang dibawakannya dalam aksi damai terbesar yang kini dikenal sebagai ‘March of Washington.’ Tapi, tahukah kalian bila aksi tersebut dapat berjalan salah satunya berkat sosok seorang Bayard Rustin? “Rustin” akan bercerita tentang kehidupan tokoh ini sekaligus keberhasilannya dalam mengatur aksi damai ini.
Cerita dimulai pada tahun 1960, ketika Bayard Rustin, yang diperankan Colman Domingo, sedang mengajak Martin Luther King Jr, yang diperankan oleh Aml Ameen, untuk membuat barisan protes akan gerakan hak sipil seiring dengan berjalannya konvensi partai demokrat tingkat nasional. Singkat cerita, upaya ini gagal berkat adanya gosip yang dikembangkan anggota kongres Adam Clayton Powell Jr., yang diperankan oleh Jeffrey Wright, jika kedua tokoh ini malah memiliki suatu hubungan khusus.
Alhasil, Rustin memilih untuk berpisah dengan King. Tiga tahun kemudian, semangat Rustin kembali hidup. Ia berupaya untuk membuat gerakan barisan aksi damai kembali, demi mendapatkan hak sipil yang setara. Ia pun cukup piawai dalam menggapai anak-anak muda, yang juga merupakan aktivis dari organisasi-organisasi pemuda. Dari hasil kolaborasi tersebut, mereka merencanakan suatu gerakan perlawanan secara damai terbesar yang pernah ada. Terinspirasi dari gerakan sejenis yang dilakukan Mahatma Gandhi di India, Rustin yakin untuk mengorganisirnya sekaligus menjangkau kembali sahabat lamanya, King, yang masih terus berjuang.
“Rustin” merupakan cerita yang ditulis oleh Julian Breece, lalu ia mengajak penulis naskah pemenang Oscar, Dustin Lance Black, untuk menulis naskah film ini. Film ini kemudian disutradarai oleh George C. Wolfe, yang sebelumnya menggarap “Ma Rainey’s Black Bottom.” Film yang diproduksi oleh Higher Ground dan Bold Choices ini kemudian dirilis melalui platform Netflix, sekaligus menjadi salah satu film yang terpilih sebagai For Your Consideration pada musim penghargaan kemarin.
Sejujurnya, saya menyaksikan “Rustin” beberapa kali. Pengalaman menonton menjadi semakin menyenangkan ketika film “Rustin” kembali diputar. Masalah rasisme akan kehidupan masyarakat berkulit warna di Amerika memang selalu jadi tema yang sering diangkat. Ketika menyaksikan “Rustin,” rasa semangat yang ada hampir terasa ketika saya menyaksikan “Hidden Figures,” yang mengangkat cerita akan tiga perempuan African American yang mampu menembus NASA.
Alur cerita “Rustin” sendiri dengan mudah dapat dibagi ke dalam dua lapisan. Lapisan pertama akan banyak membahas tentang upaya Rustin dalam mempengaruhi para pemimpin organisasi dan menginisiasi gerakan akar rumput demi terjadinya rencana damai nan besar ini. Lapisan berikutnya terasa cukup dalam mengupas sosok Rustin yang punya gelar minoritas kombo kala itu, Ia tak hanya berkulit hitam, namun juga seorang openly gay. Alhasil, status inilah yang tetap membuatnya menjadi ‘sasaran empuk’ bagi lawan. Menariknya, di suatu adegan Rustin berujar pada King, jika Ia tidak akan terpengaruh dengan segala upaya yang akan menjatuhkan rencana besar ini dari penyudutan sisi personalnya.
Sosok Banyard Rustin terbilang cukup unik. Colman Domingo, yang memerankan karakter ini, terasa amat piawai untuk menyajikan sosok seseorang yang sekilas tidak menarik, namun akan mampu mempengaruhi orang lain dari mulutnya yang manis, pesonanya, sekaligus gayanya yang flamboyan. Tak mengherankan upaya Domingo dalam menghadirkan Rustin memberikannya nominasi Academy Awards untuk Aktor Terbaik.
Sosok lain yang cukup mencuri perhatian dalam “Rustin” adalah penampilan Chris Rock, sebagai Roy Wilkins, yang merupakan salah satu antagonis yang nantinya juga ikut serta dalam gerakan Rustin. Film ini Anda juga akan menjumpai aksi Da’Vine Joy Randolph, yang tengah naik daun semenjak perannya dalam “The Holdovers,” yang kini memerankan sosok Mahalia Jackson, salah satu legenda gospel pada masanya. Sisanya, ensemble cast “Rustin” terasa cukup lumayan apik, seperti adanya Jeffrey Wright, Gus Halper, CCH Pounder, dan Glynn Turman.
“Rustin” seharusnya terasa cukup serius dengan tema yang dibawakannya. Akan tetapi, film ini justru menghadirkan rasa yang mudah untuk mengikuti kisahnya. Apalagi ketika dipadukan dengan musik aransemen jazz cepat yang menyertai alurnya. Film ini terbilang sebagai tontonan yang masih cukup menarik bila Anda menyaksikannya beberapa kali.
Akhir kata, upaya “Rustin” untuk menghidupkan kembali semangat diversitas, inklusivitas, dan kesetaraan layak ceritanya terbilang tamparan akan situasi dunia yang kini kian memanas. Mengutip Rustin sekali lagi, kita mampu untuk bergerak melawan dengan cara damai layaknya Gandhi. Pada akhirnya, kita pun semakin disadarkan, dibalik kehebatan pidato kuat Martin Luther King Jr. kala itu, Ia tak mampu bergerak sendiri. Perlu sosok seorang Rustin yang mampu membuka mata seisi negeri dengan semangat akar rumputnya. Funny and powerful!