Semenjak kehadiran “Spotlight” yang menggertak dunia, kisah-kisah tentang kekerasan seksual dalam Gereja tak lagi menjadi hal yang tabu untuk dibicarakan. Peran Gereja yang punya tugas untuk menjangkau domba-domba ternyata tak lepas dari oknum-oknum yang mengotorinya. Masih bertema sama, saya akan mengajak Anda mengenali sebuah film yang berasal dari Perancis yang berjudul “By the Grace of God.”
“By the Grace of God” mengawali ceritanya dengan memperkenalkan penonton pada sosok Alexandre Guerin, yang diperankan oleh Melvil Poupaud. Alexandre, merupakan seorang ayah dari 5 anak dan tinggal di Lyon. Ia dan keluarga merupakan penganut Katolik yang setia. Suatu ketika, Ia teringat akan kekerasan seksual yang pernah diterimanya kala masih berusia dini. Hal ini membuatnya melakukan kontak dengan keuskupan agung setempat. Ia kemudian berbalas surat secara daring dengan Regine Marie, yang diperankan oleh Martine Erhel.
Setelah memberikan testimoni akan kenangan suram tersebut, Guerin malah dihubungkan oleh Marie untuk dapat bertemu dengan sang pelaku utama. Ia adalah Bernard Preynat, diperankan oleh Bernard Verley, yang merupakan seorang pastor yang kini kembali ditugaskan di wilayah Lyon. Yang membuat Guerin geram, Preynat malah cukup eksis untuk memperlihatkan bagaimana Ia aktif membina anak-anak kecil. Dalam pandangannya, Ia mengingat masa lalunya yang menjadi target utama Preynat.
Sekilas, itu merupakan bagaimana babak pertama yang dibangun dalam “By the Grace of God.” Film ini ditulis dan disutradarai François Ozon, sutradara yang karyanya di ajang festival film internasional. Sebut saja karyanya yang berjudul “Peter von Kant,” “Summer of 85,” ataupun “Young & Beautiful.” Dari bagian paling awal di film ini, Ozon sudah memberikan dsiclaimer jikalau cerita dalam film ini merupakan sebuah fiksi, namun terinspirasi dari kisah nyata.
Bila anda sadari, nama Bernard Preynat memang bukan sebuah fiksi. Ia memang terbukti melakukan kejahatan semasa penugasannya sampai akhir 90-an. Menariknya, di film ini Preynat pun mengakui kesalahannya. Ia mengungkapkan bagaimana Ia sebetulnya sakit, dan berjuang untuk melawan penyakitnya. Pada akhirnya, Preynat seakan sadar dengan dosa kekejian yang telah dilakukannya.
Jika membahas penceritaannya, saya dapat membagi “By the Grace of God” ke dalam 3 babak. Babak pertama akan terfokus dengan Guerin. Pada bagian ini, saya menikmati saya Ozon dalam mengemas ceritanya yang diwarnai dengan monolog berbalas-balasan dari isi surat daring yang dikirimkan antara Guerin, Marie, dan Uskup Barbarin. Pada babak kedua, film ini akan mengangkat tokoh lain, sampai pada akhirnya babak terakhir menjadi pusat bertemunya para korban dan menuntut bersama.
Bicara durasinya, film ini hadir sepanjang 137 menit. Terasa lumayan, namun adegan setiap adegan yang dihadirkan dalam ceritanya begitu worth. Saya kurang menjumpai adegan-adegan yang terasa seperti bumbu-bumbu pelengkap yang tidak penting dalam ceritanya. Saya menyukai bagaimana Ozon mengemas setiap karakternya, yang secara perlahan mengurai bagaimana masa lalu dan segala pergulatan dari masing-masing.
Detil kekerasan dalam “By the Grace of God” menjadi hal menyakitkan yang tidak boleh dilewatkan. Kita menyaksikan bagaimana kekerasan yang terjadi, tak hanya sekedar mengganggu psikis para korbannya, tetapi juga mental dan fisiologis mereka. Bahkan, pada kondisi yang ekstrim, ada salah satu korban di film ini yang didugas melakukan bunuh diri. Sesakit itu.
Di sisi lain, saya menikmati cara film ini untuk memperjelas penontonnya, bahwa yang perlu dilawan bukanlah Gereja, namun oknum-oknum yang melindungi kejahatan ini. Saya juga merasa menarik ketika karakter utama di babak kedua film ini, Francois, yang diperankan oleh Denis Menochet, yang memutuskan menjadi seorang ateis, namun kembali percaya. Di sisi lain, keimanan Guerin juga diuji, Ia pun mulai membangun ketidakpercayaan akan Gereja.
Cara bagaimana Gereja berinteraksi juga menarik dibahas pada film ini. Walaupun ini balik lagi sebagai sebuah fiksi, kita dapat melihat cara santun ala Marie dalam menyadarkan Guerin untuk mau memaafkan Preynat. Atau, bagaimana respon Uskup Barbarin yang seakan setengah-setengah untuk mengungkap masalah ini, dengan bertindak tidak tegas akan Preynat. Pada akhirnya, ketika kejahatan itu terbukti, oknum-oknum yang melindungi memang pantas terhukum.
Secara keseluruhan, “By the Grace of God” merupakan tontonan serius yang benar-benar membuka mata. Upaya para korban untuk mencari keadilan memang tidak dapat dipandang sebelah mata, atau kita sekadar dengan remeh berujar jika hal tersebut sudah lama. Akan tetapi, efek samping yang dihadirkan film ini memang benar-benar serius.
Begitupula dengan Gereja. Apakah dengan menyaksikan film ini, kepercayaan kita yang Nasrani ataupun Katolik diuji? Menurut saya sebaliknya, film ini menegaskan kembali bahwa siapapun itu, manusia memang tetap dapat berbuat salah. Dalam arti eksplisit, para pastor, pendeta, ataupun pengerja di Gereja juga tetap berpotensi berbuat dosa. Sehingga, yang menjadi solusi adalah kewaspadaan dan Gereja harus tetap berbenah. Bukan melawan Gereja, namun menghukum oknum-oknum sesuai dengan hukum yang berlaku. Sebagai penutup, saya ingin menutup dengan menggunakan kutipan putra Guerin di adegan paling akhir film ini: “Papa, do you still believe in God?”