Nama Jessica Kumala Wongso mendadak menjadi tenar se-Indonesia, berkat kasus pembunuhan yang menimpa Wayan Mirna Salihin. Mirna, yang tengah itu sedang bertemu dengan sahabatnya, Jessica, tiba-tiba menjadi kejang-kejang seusai meminum vietnamese coffee di café Olivier. Peristiwa yang sempat meresahkan ini diangkat ke dalam dokumenter Netflix pertama dari Indonesia, lewat judul “Ice Cold: Murder, Coffee, and Jessica Wongso.”
Film ini membuka ceritanya dengan memperkenalkan penonton dengan Edi Darmawan Salihin, ayah dari Mirna Salihin. Edi, yang hampir memasuki usia ke-70, dengan ceplas-ceplosnya mengungkapkan perasaannya seiring mengingat kembali tragedi yang menimpa salah satu putri kembarnya. Terasa begitu jelas bagaimana masih ada kepahitan Edi, terutama ketika Ia menyebut Jessica, yang amat betul Ia duga sebagai pembunuh Mirna.
Setelah itu, “Ice Cold: Murder, Coffee, and Jessica Wongso” masuk ke dalam bagian chapter demi chapter yang akan membawa penonton kembali ke peristiwa naas tersebut. Yang saya sukai, dalam penyajian dokumenter ini terasa cukup berbobot ketika sutradara Rob Sixsmith melakukan upaya penggabungan dari rekaman-rekaman CCTV, cuplikan-cuplikan dari media nasional, sampai menghadirkan elemen-elemen yang turut serta terlibat disana, tanpa aspek kepolisian.
Ketika penonton diajak bersimpati dengan apa yang menimpa dengan keluarga korban, terutama rasa kehilangan ataupun ketika mereka mengenang sosok Mirna, film ini terasa untuk hadir secara objektif. Film ini pun dengan berani menghadirkan sosok Otto Hasibuan, pengacara Jessica Wongso, yang merupakan salah satu pengacara top di Indonesia. Menariknya, Otto akan membeberkan serangkaian pertanyaan yang mengkritisi akan kejanggalan-kejanggalan peristiwa Mirna.
Jika kita mengingat kembali, semua orang memang terfokus pada sosok Jessica, yang dirasa dingin, sampai-sampai menjadikannya sebagai seorang sosok yang mengenaskan. Hubungan Jessica dan Mirna pun yang sempat diduga sepasang kekasih lesbi, yang kini menginspirasi cerita sebuah serial berjudul “Sianida,” pun terbantahkan. Menurut Otto, tidak ada bukti kuat yang memperlihatkan jikalau Jessica benar-benar menuangkan sianida ke dalam gelas Mirna.
Menariknya, film ini juga berupaya untuk menghadirkan Jessica, yang sayangnya dalam perbincangan diputus oleh pihak rutan. Memang menjadi suatu tanda tanya besar, ketika teroris bak Imam Samudra saja masih diberi kesempatan wawancara sebelum Ia dihukum mati. Sosok ini, Jessica, yang sebetulnya bukan siapa-siapa malah dilarang.
Dokumenter yang berdurasi 86 menit memang amat menarik. Walaupun, jujur, saya cukup terbawa dengan bagaimana film ini berupaya mengkritisi hal-hal yang terjadi. Pada akhirnya, penonton memang akan menyadari jikalau Mirna memang sudah tiada. Namun yang jadi pertanyaan menjadi beragam, apakah benar sianida yang membunuh Mirna, ketika jumlah dosis sianida yang ditemukan tidak dalam jumlah yang sifatnya mematikan? Hal ini belum termasuk bagaimana upaya tim penasehat hukum Mirna yang mencari cara untuk membungkan saksi ahli dari Jessica yang datang jauh-jauh dari Australia. Film ini juga membawa penonton untuk menyadari bagaimana upaya teori usang psikologi dalam memahami karakter seseorang melalui bentuk wajah, masih digunakan dalam proses peradilan.
Pada akhirnya, “Ice Cold: Murder, Coffee, and Jessica Wongso” akan mengajak penonton kembali berpikir. Apakah benar, jikalau Jessica yang kini sudah menjalani setengah dari durasi hukumannya, memang tidak bersalah? Apakah benar Ia memang hanya sebatas kambing hitam saja? Atau, jikalau benar, apakah ini karena dugaan kelainan kepribadian yang dideritanya?
Banyak pertanyaan-pertanyaan yang bergulir dalam benak saya, seiring dengan testimoni-testimoni pada ahli yang juga meramaikan dalam film ini. Akan tetapi, yang saya sadari adalah ucapan Edi ketika mengunjungi makan Mirna di film ini, jikalau Ia juga menggunakan uang dalam kegiatan ini, walaupun Ia mengaku tidak sebesar yang dikeluarkan Otto.
Kesimpulan saya pun mengerucut, siapapun pembunuh Mirna tetap membuktikan bagaimana sistem peradilan di Indonesia dapat menunjuk seseorang dapat dikatakan bersalah lewat keragu-raguan yang masih tersisa. Mengutip mendiang Yudi Wibowo, sepupu yang juga bagian dari kuasa hukum Jessica, “In Indonesia, no money, no justice.”
Akhir kata, “Ice Cold: Murder, Coffee, and Jessica Wongso” yang cukup saya tunggu sebetulnya, hadir dengan cukup memuaskan keingintahuan saya. Walaupun memang terasa seperti dokumenter-dokumenter Netflix lainnya, yang tidak terlalu menonjolkan cinematic experience-nya, film ini patut jadi sebuah rekomendasi.