Perancis kayaknya gak akan pernah berhenti untuk mengurai masalah sosial penduduknya. Salah satunya, tentang kehidupan anak-anak yang “bermasalah.” Diangkat dengan bertemakan setting sebuah produksi film, “The Worst Ones” hadir melalui sebuah suguhan akan realita dari anak-anak ini.
Menariknya, film ini dibuka dengan kemasan ala-ala kesan behind the scene, yang menghadirkan situasi seorang sutradara yang sedang melakukan wawancara terhadap beberapa anak di wilayah Picasso. Tujuan dari sutradara ini yang ternyata bernama Gabriel, diperankan oleh Johan Heldenbergh, ingin mencari anak-anak yang tergolong ‘the worst ones,’ yakni anak-anak yang menjalani hidup tidak mudah sebagaimana cerita karakter utama di dalam film yang akan dibuatnya.
Dari casting tersebut, ada beberapa anak yang menjadi sorotan utama film ini. Pertama, ada si cantik Lily, diperankan oleh Mallory Wanecque. Sepeninggal sang adik yang mengidap kanker, hidupnya menjadi tidak karuan dengan sang Ibu. Ia berpacaran sana sini, yang kemudian memberinya image sebagai ‘perempuan tidak baik-baik.’ Padahal, yang tahu hanya Tuhan dan Lily.
Anak bermasalah berikutnya adalah Ryan, diperankan oleh Timeo Mahaut. Ryan merupakan seorang anak laki-laki yang tengah tinggal bersama saudari perempuannya. Ia sedang menjalani pengawasan meningat sang Ibu sedang dalam peninjauan kembali untuk tinggal bersamanya. Ryan, yang sebetulnya tidak punya dorongan untuk menjadi aktor, mencoba kesempatan ini karena diminta oleh saudarinya.
Selain keduanya, kita juga akan berkenalan dengan Jessy, remaja laki-laki badung yang diperankan oleh Loic Pech. Juga, tak ketinggalan ada Maylis, diperankan oleh Melina Vanderplancke, yang merupakan seorang tomboy. Keragaman dari kisah masing-masing inilah menjadi dinamika yang aman mengesankan dari perjalanan shooting sang sutradara.
Dari segi penceritaan, “The Worst Ones” sedikit mengingatkan saya dengan film seperti “The Class.” Cerita tentang anak, terasa menjadi subjek yang begitu menarik. Apalagi ketika Ia memasuki masa transisi, yang melibatkan rasa coming-of-age akan hadir seiring cerita berjalan. Apa yang akan Anda expect? Masalah self-esteem, broken home, dysfunctional family, abuse, sampai urusan cinta sepihak.
Film yang berdurasi sepanjang 99 menit memang amat terasa sebagai sebuah drama yang mengalir begitu saja. Penyajiannya, sungguh begitu tidak terasa jika ini adalah sebuah film. Penonton terasa benar-benar menjadi observer, untuk menyaksikan para pemain utamanya memainkan dua karakter dengan satu kesamaan: problematik.
Yang membuat film ini menarik, karena Ia menyatukan embel-embel produksi film di dalam ceritanya. Ini sedikit mengingatkan saya dengan film Perancis lain seperti “Day for Night.” Akan tetapi, yang paling membuat saya menyukai film ini akan momen sinematik yang benar-benar dimanfaatkan Timeo Mahaut. Setiap adegan yang menghadirkannya, Ia begitu mencuri perhatian. Kesan ini yang sama saya rasakan ketika menyaksikan Eden Dambrine dalam “Close.”
Hal keren yang saya sukai disini adalah setiap pemain terasa begitu natural. Di satu sisi, para pemain harus berakting seakan mereka harus memerankan karakter lain. Alhasil, mereka seperti menghidupkan karakter mereka secara nyata. Jika diingat kembali, ini seperti yang dihadirkan Cate Blanchett dalam memerankan Lydia Tar dalam film “Tar.”
Dari sepanjang penyajiannya, adegan yang paling saya sukai adalah ketika absurditas bermain di dalam ceritanya. Ryan tiba-tiba memerankan sosok bocah yang tengah hamil, kemudian ditangisi oleh sang nenek yang problematik, dan kemudian ditutup dengan terbangnya segerombolan merpati. Walaupun saya hingga kini tidak paham artinya, namun, mengingat ini adalah cerita di dalam cerita, jadi ya sudahlah…
Tak hanya akan membahas keempat anak ini saja, penonton juga akan menikmati bagaimana proses pembuatan sebuah film. Kita akan melihat bagaimana sibuknya pemain selepas berakting, mulai dari melepas mic dan kostum mereka. Juga, bagaimana upaya sutradara untuk mengesankan kedua aktornya untuk sebuah love scene. Hal ini belum lagi ditambah dengan bagaimana noise-noise yang muncul dengan beragam pandangan warga lokal akan pembuatan film ini.
Simpulan saya, “The Worst Ones” terbilang sebagai a rare film. Jarang-jarang ada film yang membuat kita tidak terasa menyaksikan suatu film. Sebuah upaya jenius yang kadang tidak disadari. Begitupula dengan dramanya yang tidak berlebihan, tetapi setidaknya sajian ini akan memberikan sebuah citarasa baru dalam viewing experience Anda.