Cerita yang diamini banyak orang adalah cerita yang mampu memotret realitas pada masanya. “After Love” mungkin salah satunya. Merangkap isu-isu yang tengah naik daun pada kisaran tahun 2020, film ini sukses menggaet sederet nominasi dan dua belas kemenangan, di antaranya “Best Leading Actress” di BAFTA Awards dan “Best British Independent Film” di British Independent Film.
Mary Hussain (Joana Scanlan) dipaksa menerima kenyataan pascakematian suaminya, Ahmed Hussain (Nasser Memarzia). Berjarak sekali menyeberang kanal dari Dover ke Calais, ia bertemu Geneviève (Nathalie Richard) dan sisi lain suaminya pun terungkap.
Film “After Love” mengajak audiens untuk mempelajari kelemahan manusia. Bermodal pengalaman pribadi, Aleem Khan memaparkan drama bernapaskan perkara-perkara sentimentil yang menyentuh titik terlemah manusia, hati. Rahasia rumah tangga, konflik keluarga, liarnya remaja, sampai perempuan dan lemahnya ia dalam mengendalikan perasaan, semua digambarkan dengan mulusnya sampai kita dibuat tak sadar bahwa semua yang disampaikannya berbahan bakar ego yang menghanguskan logika.
Sederhananya, “After Love” adalah potongan kecil tentang realitas yang pahit dan seseorang hanya bisa menjadi manusiawi untuk menerimanya. Mirisnya, realitas dalam film ini banyak terjadi di kehidupan nyata berikut bagaimana seseorang menyikapinya. Bisa jadi banyak orang akan mengamini film ini, berterima kasih, lalu menyemarakkan nilai yang terkandung sebab merasa terwakilkan. Namun, bagi saya film ini adalah karya seni tentang mengasihani diri. Menggugat aturan kebaikan demi gairah pribadi.
Aleem Khan memaparkan isi kepala dan identitasnya secara gamblang melalui tokoh-tokoh fiktif yang diibaratkan sebagai pecahan kepribadiannya yang bertolak belakang, seorang muslim—Mary—dan gay—Solomon (Talid Ariss). Dengan cara yang “sopan” ia berusaha menyampaikan suatu yang edgy dengan membuat seolah-olah agama tidak terlibat langsung dalam kesukaran hidup si tokoh—pajangan.
Hal tersebut terwujud dalam beberapa adegan dengan nilai yang bertabrakan sehingga terkesan tidak menghormati prinsip Islam. Di antaranya memperlihatkan ibadah salat tidak sebagaimana mestinya, menampilkan Mary yang berhijab di satu frame, lantas Mary tanpa busana di frame berikutnya. Sebetulnya, tak jadi salah-salah amat bila drama-romansa mengekor standar lazim industri film Barat dengan menampilkan sesosok figur setengah telanjang demi mutu realis dan estetika. Keberadaan elemen agamalah yang membuat saya gatal.
Ada sisi puitis dalam “After Love” yang mengingatkan saya kepada Charlie Kaufman dan permainan tanda dalam film-filmnya. Tidak seperti Kaufman yang detail, rumit, dan menaruh tanda pada tiap menit filmnya, Aleem Khan membuat keberadaan tanda lebih sederhana dengan satu penanda besar yang mewakili batang cerita. Kalau dalam film pendek “Three Brothers” ia menjadikan telur ayam sebagai representasi kedewasaan tiga saudara, pada “After Love” ia menaruh visual retak atau runtuh di atas permukaan putih sebagai representasi … sejujurnya saya belum terlalu yakin. Saya hanya bisa menangkapnya sebagai gambaran luruhnya “kesucian” dalam arti hal-hal yang murni: ekspektasi, pikiran naif, prasangka baik, dsb.
Film dengan alur lambat dan rentang waktu yang sempit ini terasa pas dengan musik Chris Roe yang sunyi dan emosional, mengingatkan sepercik warna musik Hildur Guđnadóttir yang mengiris dan psikologikal—unsur terunggul dalam film ini, menurut saya—tak terkecuali kerja totalitas Joana Scanlan yang menuai pujian massa atas penghargaan yang ia raih. Belum lagi pilihan ciamik untuk palet warna salem dan pengambilan gambar panoramis yang cocok pol. Aspek-aspek teknis dalam film ini terasa crafted by masters dan tepat dalam menjiwai sudut pandang feminin yang berusaha disampaikan.
Bila “After Love” diibaratkan sebagai lukisan, maka film ini adalah lukisan katastrofe dalam bingkai berukiran simetris. Aleem Khan mengerti bagaimana menyajikan kekacauan dengan cara yang rapi.