Umumnya, film dengan tema disabilitas akan menyajikan cerita perjuangan si tokoh meraih hak-haknya. Jarang sekali, kita melihat cerita dari sudut pandang orang-orang di sekitarnya. Agaknya, ide tersebut yang sengaja diolah oleh sutradara sekaligus penulis naskah, Kim Jin-Yu, dalam film “Bori”.
Sesuai judulnya, film ini menceritakan tentang Bori – anak perempuan berumur 11 tahun yang merupakan satu-satunya anggota keluarga yang bisa mendengar orang tua dan adik laki-lakinya yang semuanya tunarungu. Bori sangat membantu keluarganya dalam melakukan aktivitas sehari-hari. Gadis ini menjadi telinga dan mulut bagi keluarganya untuk berbagai kegiatan mulai dari memesan makanan lewat telepon sampai membeli tiket bus.
Namun lambat laun “kenormalan” Bori malah membuatnya merasa tersisih dan terasing dari keluarganya. Anak-anak dengan keluarga difabel (CODA – Children of Deaf Adults) seperti Bori yang mungkin terlihat “normal” saat bersosialisasi dengan lingkungannya, sering merasa “abnormal” saat berada bersama keluarganya sendiri. Kejadian hilangnya Bori di Festival Kembang Api menyulut tekadnya untuk menjadi sama dengan keluarganya untuk menjadi tuli. Demi memenuhi permohonannya ini, ia rutin setiap pagi dalam perjalanan ke sekolah, menaikkan doa setiap melewati wihara di dekat rumahnya.
Bori memutuskan untuk mengambil tindakan sendiri, pertama dengan mendengarkan musik bervolume sangat kencang demi merusak telinganya, namun usaha ini gagal. Berikutnya, ia melemparkan diri ke laut terinspirasi siaran berita televisi. Usaha ini juga gagal. Ayahnya yang kebetulan sedang memancing dan melihatnya melompat berhasil menyelamatkannya. Setelah dirawat di rumah sakit, tampaknya pendengaran Bori masih baik namun dia mencoba menutupinya dan berpura-pura kehilangan pendengarannya. Usaha Bori yang tak kunjung berhasil membuatnya sadar bahwa kemampuannya mendengar sejatinya bukan kutukan.
Film yang diproduksi Pado Company Production ini terasa sangat menyentuh dan penonton bisa merasakan kegundahan perasaan si tokoh utama, mungkin salah satunya karena film ini diadopsi langsung dari pengalaman pribadi Kim Jin-Yu yang dibesarkan oleh seorang ibu tunarungu. Dengan pendekatan personal sang sutradara, kisah ini berhasil menghadirkan optimisme dan kekompakan keluarga tunarungu dalam kehidupan mereka tanpa menggunakan disabilitas sebagai elemen tragis. Adapun satu kekurangan dalam film ini, jika boleh disebut, pengulangan beberapa adegan yang sama secara terus-terusan membuat pace story development-nya terasa sangat lambat.
Di sisi lain, akting Kim Ah-Song (Bori) yang polos dipadukan dengan totalitas Kwak Jin-Seok dan Hur Ji-Na sebagai orang tua serta Lee Lyn-Ha (Jeong Woo) si adik yang tampil begitu menggemaskan, mereka hadir serempak saling melengkapi dan berhasil menampilkan sebuah keluarga ceria di balik “ketidaksempurnaan” mereka. Juga, pesan “family love is unconditional” begitu mulus tersampaikan lewat kehadiran setiap anggota keluarga yang secara aktif mengungkapkan kasih sayang satu sama lain.