Bukan perkara mudah untuk bisa menggarap sebuah film berbau religi tanpa menuai keresahan satu dua pihak. Keresahan muncul bisa jadi karena penggambaran tokoh agama yang tidak sesuai atau karena adanya ajaran yang disalah tafsirkan. Keresahan yang sama juga muncul saat menonton karya tebaru sutradara Robby Ertanto, “Ave Maryam.”
Film anyar ini hadir tidak lebih dari karya yang sekadar memanjakan mata. Ditinjau dari segi alur, beberapa bagian di film berdurasi 85 menit tersebut terasa sekali ‘maksa’-nya. Contohnya, keharmonisan umat beragama di film ini seperti hanya terbatas antara biarawati dan umat muslim saja. Atau saat penjual susu kecil (yang harusnya masih polos) dengan frontal bertanya, “Kok nggak sekalian nitip buat romo ganteng (Romo Yosef)?” Akibatnya, premis konflik batin Suster Maryam yang harusnya menggigit, malah jadi tidak menarik lagi. Untungnya, film ini diselamatkan oleh gambar-gambar indah garapan sinematografer Ical Tanjung. Paling tidak, menonton “Ave Maryam” jadi menyenangkan seperti sedang menonton kolase video instagramable.
Sejatinya, “Ave Maryam” mengangkat tema yang unik. Masih seputar cinta dan romantismenya. Suster Marya, yang diperankan oleh Maudy Koesnaedy, adalah seorang biarawati yang teguh janji sucinya kepada Tuhan. Tentang mengapa Ia dipanggil Maryam, tidak pernah dijelaskan. Di sini, Maryam digambarkan sebagai sosok yang sabar dan penuh kasih. Ia juga dikenal ramah pada semua orang walaupun berbeda keyakinan, misalnya pada penjual susu kecil, yang diperankan oleh Nathania Angela, yang sejak awal kemunculannya nampak mengantar susu sambil mengenakan kerudung mukena. Maryam juga selalu meperlakukan baik suster-suster senior yang sudah mulai pikun, termasuk kepada Suster Monic, diperankan oleh Tutie Kirana, yang selalu bersikap dingin tanpa alasan.
Awalnya Suster Maryam merasa mantap dengan pengabdiannya kepada Tuhan. Sampai akhirnya ia bertemu dengan Romo Yosef, yang diperankan oleh Chicco Jericho. Romo Yosef adalah sosok romo yang unik. Selain suka main musik dan menari diiringi lagu rock and roll, ia punya banyak sisi yang membuat Suster Maryam yang gemar membaca jadi tertarik. Sebaliknya, Romo Yosef pun juga jatuh hati pada Suster Maryam. Sayangnya, janji pada Tuhan menghalangi perasaan keduanya. Pergumulan ini pun akhirnya disadari oleh seluruh penghuni biara, terutama Suster Monic yang meminta mereka membuang rasa cinta yang ada. Lantas, Maryam pun harus memilih, apakah Ia akan tetap setiap mengabdi atau memilih cinta.
Bisa jadi karena menyasar berbagai festival film, sebagai sutradara dan penulis naskah, Robby Ertanto merasa perlu menampilkan shot-shot lambat dan dialog-dialog tak langsung penuh peri bahasa. Sayangnya karena tidak dieksekusi dengan baik, minimnya dialog dan penjelasan malah membuat alur cerita jadi sulit dipahami. Misalnya, sampai film berakhir, penonton tidak tahu mengapa Suster Monic bersikap cuek pada Suster Maryam. Apa benar karena ia telah mengasuh Romo Yosef sejak kecil, atau karena ia juga pernah jatuh cinta seperti Maryam? Contoh penggunaan bahasa yang njelimet adalah saat Romo Yosef mengajak Maryam berkencan. Bukannya langsung menyatakan maksud, sang Romo malah berkata, “Aku ingin mengajak kamu keluar mencari hujan di tengah kemarau.” Ya elah.
Kalau dialognya hanya seputar ajakan kencan, tentu penonton tidak terlalu kesulitan menerka apa mau si tokoh. Masalahnya, tik-tok ala-ala filosofi begini terus menerus digunakan sampai saat Romo Yosef sedang mempertanyakan kesetiaan dan imannya. Sebagai penonton awam, membahas ajaran agama saja sudah bikin kepala pusing, eh, Ave Maryam malah memborbardir penonton dengan protes-protes dengan analogi analogi sulit. Duh.
Efek lain minimnya dialog adalah penonton jadi kesulitan menebak alur cerita. Seperti yang sudah disebutkan di awal, sama sekali tidak ada penjelasan mengapa Suster Monic mengacuhkan Suster Maryam. Kesannya, tidak ada angin, tidak ada hujan pokoknya Suster Monic nggak suka saja. Titik balik konflik Suster Monic dan Suster Maryam pun juga tidak di bahas, tiba-tiba saja Suster Monic berubah 180 derajat dan memeluk Suster Maryam di hari ulang tahunnya. Mungkin hanya Tuhan dan Suster Monic yang tahu alasannya.
Selanjutnya, tentang pemilihan pemeran bisa jadi semata-mata urusan selera. Walau begitu, tetap tidak bisa dipungkiri rasa janggal saat melihat Joko Anwar memerankan tokoh Romo Martin yang bijaksana dan pengertian. Eratnya nama Joko Anwar dengan film-film bernuansa thriller atau horror, atau kemunculannya sebagai cameo yang biasanya bertingkah konyol, membuat penampilannya di “Ave Maryam” terasa seperti sekadar menjalankan peran. Entah mengapa, melihat Romo Martin dan Romo Yosef bercakap-cakap malah mengingatkan adegan saat Chicco pinjam uang 2,5 M pada Joko Anwar sambil ngopi di film Filosofi Kopi 2.
Berita baiknya, penampilan Maudy Koesnaedy sebagai Suster Maryam pantas diacungi jempol. Meskipun ia tampil minim dialog, pengalaman Maudy sebagai aktris teater membuatnya tak kesulitan mengekspresikan pergolakan batin Suster Maryam hanya dari gerak-gerik atau raut wajahnya yang gelisah. Dengan luwes, Maudy berhasil menampilkan dua sisi Maryam, sebagai seorang biarawati welas asih dan wanita yang anggun.
Seandainya di akhir cerita penonton dibiarkan menebak kepada siapa Suster Maryam mengaku dosa maka ending film ini akan terasa lebih greget. Sayangnya, Roby lebih memilih untuk mengakhiri cerita dengan cara memperlihatkan Suster Maryam menyatakan perasaannya di hadapan Romo Yosef secara gamblang dan senyata-nyatanya. Alih-alih menuai empati penonton, keputusan tersebut justru malah menimbulkan pertanyaan, “Masa iya, Suster Maryam tidak mengenali suara Romo Yosef di balik bilik?”
Satu-satunya hal yang bisa dikenang indah saat pulang adalah gambar-gambar yang sangat cantik dipandang mata. Dengan mahir, Ical Tanjung berhasil memadukan unsur hutan pegunungan dan laut sehingga terkesan tidak berseberangan. Selain itu, ia juga berhasil memberikan sentuhan romantis tidak hanya di scene-scene kencan, tapi juga di scene-scene sederhana seperti saat Maryam sedang berjalan, atau membeli buku second. Mungkin memang itu tujuannya, “Ave Maryam” tidak hadir untuk mengajak penonton berpikir. “Ave Maryam” hadir sebagai film yang indah; film yang memanjakan mata.