Sebagai installment keempatnya, “Insidious: The Last Key” lebih mengulas masa lalu sosok paranormal dalam franchise film ini. Sebagai salah satu film 2018 pertama yang saya tonton, saya sama sekali tidak memiliki ekspektasi apapun.
Di awal film, kita akan kembali ke era 50-an. Elise kecil, yang diperankan oleh Ava Kolker, saat itu masih hidup dengan kedua orangtua dan seorang saudara laki-lakinya. Mereka berempat tinggal di salah satu kota kecil di New Mexico, dan dekat dengan tempat sebuah penjara. Kebetulan, ayah Elise, Gerald Rainier, merupakan seorang eksekutor yang bekerja disana. Sudah bertalenta sejak masih dini, Elise mampu melihat arwah-arwah penunggu di dalam rumahnya.
Kembali ke tahun 2010. Elise dewasa, yang diperankan oleh Lin Shaye, sudah terbilang seorang paranormal profesional. Ia juga sudah memiliki dua orang asisten kocaknya, Tucker dan Specs, yang diperankan oleh Angus Sampson dan Leigh Whannell. Di sebuah kesempatan, Elise menerima sebuah telepon dari seorang pria bernama Ted Garza, yang diperankan oleh Kirk Acevedo. Ted meminta tolong Elise untuk dapat menolongnya, sebab Ia merasa tak nyaman dengan rumah yang baru dibelinya. Usut punya usut, ternyata rumah Ted merupakan rumah masa kecil Elise. Elise kemudian teringat dengan masa kecilnya, dan ingin menyelesaikan suatu hal yang selama ini belum pernah Ia teruskan.
Di film keempatnya, Leigh Whannell, penulis cerita franchise Insidious yang turut serta dalam ensemble cast, menawarkan alur cerita yang sebetulnya bisa sedikit menarik, namun berakhir dengan eksekusi Adam Robitel berantakan. Premis yang dikemas Whannell bergenre horror, nanti malah akan terasa sedikit melenceng saat menontonnya. Saya malah merasa nanti kadang menjadi komedi, ataupun action, dan kesan horrori itu pun hilang. Apalagi ketika penonton akan menyadari kalau Elise nantinya tidak melihat makhluk astral, namun memang orang betulan. Lha, jadi sebetulnya film ini… (silakan lengkapi sendiri).
Mungkin jika Anda sempat menyaksikan poster film ini yang menampilkan wanita yang sedang diserang makhluk astral dan berharap banyak dari petualangan seram, pasti Anda akan sedikit kecewa menyaksikan film ini. Sebetulnya, dengan memusatkan pada karakter Elise dan masa lalunya, efek promosi film ini dengan tampilan posternya sedikit agar tidak terlalu terkait dengan ceritanya. Memang sih, jika karakter Elise yang menjadi bagian dari posternya, ataupun dilengkapi dengan tim pemburu hantunya, tentu bukan jadi media promosi yang menarik.
Bila melihat ceritanya, film seperti juga seperti berkaitan dengan karakter Dalton. Sebab, di akhir film ini, karakter Dalton, yang menjadi anak di film pertama diceritakan. Ini berarti kisah dalam sekuel keempat ini merupakan bagian sebelum dari film pertama. Kalau bicara horornya, sama merasa kesan yang ditampilkan disini kurang nendang. Cuma ‘geli-geli’ saja. Penonton akan dikejutkan dengan kejutan-kejutan dengan permainan musik yang mengancam. Sayang, tapi film ini tidak berhasil untuk membuat saya begitu berkesannya seperti di film “It.”
Walaupun pada paragraf sebelumnya terasa cukup negatif, saya cukup memuji kelihaian Lin Shaye yang berhasil menampilkan kemisteriusan Elise. Begitupun selipan komedi Whannell dan Sampson yang kadang terasa garing, tapi masih bisa membuat penonton sedikit tertawa. Ataupun kehadiran Spencer Locke dan Caitlin Gerard yang cuma jadi pemanis di akhir pertengahan film hingga selesai.
Apakah akan ada kelanjutan “Insidious”? Hanya Box Office yang bisa menjawabnya. Yang pasti kisah yang ditawarkan punya kualitas cerita yang semakin menurun. Apalagi semenjak James Wan sudah tidak turut campur sebagai sutradara. Lalu, apakah saya akan berniat menonton lagi. Hmmm. Mungkin tidak, satu kali sudah cukup. Enough.. enough..