Film yang digaung-gaungkan sebagai karya yang terinspirasi dari klasik Usmar Ismail ini ternyata tidak seindah yang dibayangkan. “Ini Kisah Tiga Dara” punya warna yang berbeda, tidak dapat dipandang sebagai sebuah film keluarga untuk segala usia. Nia Dinata menghadirkan sebuah musikal untuk dewasa yang terkesan terlalu dipaksakan.
Kisahnya berawal dari tiga saudari: Gendhis, Ella, dan Bebe. Ketiganya sedang ke Jakarta untuk menjemput Oma, diperankan oleh Titiek Puspa, untuk tinggal bersama mereka di Maumere. Di sana mereka punya sebuah boutique hotel yang dikelola oleh keluarga.
Gendhis, anak yang tertua, diperankan oleh Shanty Paredes, bertugas sebagai part-owner property sekaligus main chef. Setiap hari Ia habiskan di dapur hanya untuk mengolah makanan. Anak kedua, Ella, diperankan oleh Tara Basro, bertugas sebagai public relation hotel. Kesibukan Ella membuatnya Ia banyak berhubungan dengan para guest. Sedangkan si bungsu, Bebe, diperankan oleh Tatyana Akman, tidak punya tugas khusus. Bebe masih jadi penggembira yang bisa ngebantu disana-sini.
Kisah film ini ditulis oleh Nia Dinata dan Lucky Kuswandi. Keduanya menggarap naskah film ini dengan masih mempertahankan relationship chart yang dialami oleh kisah aslinya, dengan sedikit improvisasi lewat penambahan beberapa karakter. Dialog film ini juga dikemas cukup lugas, namun terkesan cukup berlebihan pada beberapa hal. Esensi cerita masih sama: kisah seorang nenek yang berusaha menjodohkan cucu tertuanya, namun dengan pendekatan jaman ‘makidul’ (masa kinidul).
Akan tetapi, sebagai penggemar film-film musikal, yang paling saya sayangkan adalah bagian musikalisasi film ini. Lagunya punya aransemen yang menarik, tapi lirik yang tidak sebanding dan tidak catchy. Ini belum termasuk dengan koreografi dalam nomor-nomor musikal di film ini yang berusaha terlihat keren lewat kerumitan dalam setting, yang sayangnya terlihat tidak cocok dan ‘agak-agak’ buat saya.
Adegan musikal di film ini malah membuat saya frustrasi. Salah satunya, adalah ketika salah satu lagu yang dinyanyikan Bebe saat Ia sedang mengajar sebuah kelas Bahasa Inggris. Kalau tidak salah, lirik tersebut seperti ini: “A is for Apple, I is for Ironic…” Mendengar kata ‘ironic,’ Saya menjadi semakin bertanya-tanya. Sejak kapan anak SD sudah diajarkan menggunakan kata ‘Ironic’? Apakah tidak ada kata Inggris bersuku kata tiga lain yang bisa digunakan? Ini belum termasuk dengan salah satu track film ini yang lirik-nya “matriarch, matriarch, matriarch.”
Lagu dalam film musikal jadi elemen penting, terutama dari paduan lagu, lirik yang sesuai, suara penyanyi, dan juga musical act-nya. Tidak heran kalau “The Sound of Music” masih layak dipandang sebagai One of the all-time best family musical. Saya semakin speechles dan kecewa dengan film ini. Untung saja masih ada 2 musik dari film terdahulu yang dikemas lebih modern yaitu “Tiga Dara” dan “Senandung Lagu Lama.”
Bicara Maumere, Dinata benar-benar berhasil menghadirkan wilayah Flores Timur ini sebagai latar belakang yang indah dan elegan. Cuma, Maumere hanya sebatas jadi pajangan indah. Banyak nilai kebudayaan dan situs yang diperlihatkan, termasuk sebuah gereja tua Portugis dan laut Maumere yang diperkaya keindahan langit. Sebuah usaha lain yang berhasil untuk mendukung gerakan pariwisata nasional. Ini sedikit mengingatkan saya kembali dengan “Ada Apa Dengan Cinta 2” dengan wisata Yogyakarta-nya. Bedanya, film ini tidak berada dengan arah yang jelas, lain dengan AADC 2 yang kadang mengkaitkan unsur nilai-nilai tempat-tempat dalam ceritanya.
Bicara penampilan dan penokohan para pemainnya, juga jadi minus factor film ini. Mungkin cuma Titiek Puspa dan Tatyana Akman yang keliatan mendingan. Sisanya suram. Walaupun agak dibuat-buat dan tidak sementereng Fifi Young, Oma Titiek Puspa masih menghibur, lewat istilah-istilah Belanda dan tingkah lakunya jenakanya. Proses seleksi pencarian sosok Bebe yang kemudian diperankan Akman juga boleh dibilang lumayan berhasil. Tatyana sebagai Bebe sebetulnya punya daya tarik, namun saya tidak terlalu menyukai penokohan karakternya.
Sebagian besar adegan film ini terkesan tidak natural buat saya. Semuanya mengalir secara scripted, termasuk koreografi, yang kadang juga masih bisa membuat saya tertawa sambil merasa sedikit miris. Shanty juga terlihat kaku dalam beberapa kesempatan, termasuk satu adegan lip sync musikal yang terlihat ‘gagal’.
Saya juga tidak menyukai penokohan dengan alur baru film ini, terutama pada karakter Bebe. Bebe, yang merupakan versi barunya Neni, hadir sebagai perempuan zaman modern yang lebih liar, cerdik, namun lebih bitchy. Saya masih lebih memilih versi Indriati Iskak yang membuat saya fokus di sepanjang film versi lawas-nya. Maklum saja, karakter Neni sungguh mencuri pandangan saya dari kegaulan ala 50-an dan sosok penokohan yang pas. Karakter tiga dara dalam film ini juga tidak serupa. Gendhis masih lebih berani walaupun Ia pemalu, dan Ella yang jago flirting juga tidak seantagonis versi Mieke Wijaya.
Intinya, saya masih suka dengan versi yang lama. Mungkin jika saya Usmar Ismail, saya akan sangat kecewa bila ada film seperti ini yang mengusung-usung terinspirasi dari karyanya, namun ternyata malah tidak karuan, walaupun ‘Tiga Dara’ sebetulnya bukanlah sebuah kebanggaan buat Ismail. Nonton satu kali film ini sudah sangat cukup. Saya tentu akan lebih bersedia menyaksikan empat kali ‘Petualangan Sherina’ di bioskop dibanding menghabiskan 120 menit untuk menonton film ini yang seperti tidak punya arah yang jelas dan chemistry pas-pasan. It was unfortunate.