Berasal dari sebuah pementasan drama, “Jamilah dan Sang Presiden” adalah sebuah tontonan betapa tragisnya kegiatan trafficking masih melanda negeri ini. Sepanjang 87 menit, Ratna Sarumpaet menghadirkan seluruh ketragisan lewat hidup seorang wanita bernama Jamilah, yang diperankan oleh Atiqah Hasiholan.
Cerita berawal ketika Jamilah mengaku telah melakukan sebuah pembunuhan pada seorang menteri, Nurdin, yang diperankan oleh Adjie Pangestu. Pengakuan ini membuatnya dimasukkan ke dalam penjara yang berada di luar Jakarta. Selain itu ada sosok Ibrahim, yang diperankan oleh Dwi Sasono. Ia adalah seorang pria yang sebetulnya menyukai Jamilah. Mengetahui hal ini, Ia menggunakan seorang pengacara untuk menolong Jamilah.
Jamilah merupakan korban dari human trafficking, atau perdagangan manusia. Semenjak masih muda, Ia dijual Ibunya ke seorang penyalur dan kemudian tinggal di sebuah rumah orang kaya. Disanalah kehormatannya direbut, dan sering dijadikan pemuas Bapak dan anak majikannya. Suatu ketika, Jamilah mencapai titik kemarahannya, Ia membunuh anak majikannya. Di waktu yang sama, Ibu majikannya membunuh sang Bapak, setelah menyadari aksi binal suaminya.
Sayangnya, sifatnya yang begitu keras kepala atas hasil masa lalunya membuat Ia tidak dengan mudah ketika Ia berada di penjara. Kepala Lembaga Pemasyarakatan yang dipimpin oleh Ria, yang diperankan oleh Christine Hakim, dengan kerasnya memperlakukan Jamilah. Akan tetapi, kasus pembunuhan yang dilakukan Jamilah membuat sekelompok orang yang menamakan diri dari sebuah organisasi politik agama menuntut dirinya untuk dihukum mati.
Sarumpaet menghadirkan sebuah karya atas hasil kajiannya tentang perdagangan manusia di lima kota di Indonesia. Ia kemudian membuat penelitiannya ke dalam bentuk sebuah cerita yang dipentaskan oleh Teater Satu Merah Panggung pada 2006. Tiga tahun kemudian, kisahnya diangkat menjadi film layar lebar, sekaligus directorial feature debut-nya.
Karakter utama dalam film ini diperankan oleh Atiqah Hasiholan, yang juga merupakan putri kandung Sarumpaet. Sarumpaet juga menghadirkan jajaran aktor-aktris ternama Indonesia, sebut saja Christine Hakim, Ria Irawan, Jajang C Noer, Fauzi Baadila, Surya Saputra hingga Dwi Sasono. Atiqah sebelumnya sempat memerankan sosok yang sama dalam versi teaternya. Hasilnya, Ia menampilkan sebuah penampilan yang sangat teatrikal. Lain halnya dengan Hakim, Noor ataupun Irawan yang cukup berpengalaman di industri ini, yang memperlihatkan penggambaran yang cukup sejalan. Walaupun bukanlah salah satu yang terbaik dari Christine Hakim, Hakim cukup berhasil untuk tampil mencuri hati penonton di setiap scene-nya.
Yang menarik juga adalah karakter yang diperankan Baadila dalam film ini. Ia berhasil memerankan sosok pelaku demontrasi bayaran dengan apik, dan cukup membuat saya sedikit kesal dengan perilaku karakternya yang sungguh benar-benar busuk. Bagaimana tidak, ceritanya tidak hanya berbicara tentang perdagangan manusia saja, tetapi juga oknum-oknum yang sering ikut campur dengan urusan orang lain dengan mengatanasnamakan organisasi politik dan agama. Oknum-oknum ini dibayar hanya untuk citra imej politik, tanpa memahami apa sebetul-betulnya terjadi.
Sepanjang ceritanya, saya terus berpikir mengapa sosok Presiden dijadikan judul film ini. Sosok Presiden hanya tergambar dalam satu scene saja, tanpa adanya dialog. Ini kemudian akan terjawab jalan ceritanya yang semakin merunyam.
Sayangnya, film ini kurang dalam menggambarkan kondisi dan kehidupan penjara. Penonton hanya akan terfokus pada dialog Jamila dan Ria dengan latar sel Jamila, kantor Kepala Opsir Ria, dapur, dan ruang isolasi. Sarumpaet juga menghadirkan sisi kekumuhan dan kehidupan malam Jakarta, yang saya rasa masih belum terlalu realistis.
Dibalik semua itu, entah kenapa, walaupun sosok Jamila digambarkan sebagai “korban” dengan rentetan tragedi didalamnya, karakternya masih belum mengena secara emosi, sehingga kurang mampu membuat sebagian penonton, terutama saya, untuk bersimpati pada sosok Jamilah.
Dari penggarapannya, mungkin akan ada banyak hal teknis yang dirasa kurang. Tetapi, melihat dari kajian makna isi ceritanya, film ini cukup berbobot dan menyentil beberapa aspek realita di Indonesia, seperti politik, kemiskinan, hingga pelacuran. Ratna Sarumpaet berusaha menyadarkan bangsa Indonesia akan bahaya aksi human trafficking di Indonesia, terutama pada anak-anak dan perempuan, yang disampaikan lewat film ini.