Sebagai salah satu film di penghujung “Golden Age of Hollywood”, “Spartacus” dihadirkan Stanley Kubrick sebagai salah satu adaptasi terbaik yang dikemas rapi lewat penyutradaraan yang cukup rumit dengan melibatkan banyak pemain, set-set megah, hingga usaha untuk menampilkan sedetil mungkin dari masa romawi kuno.
Spartacus, yang diperankan oleh Kirk Douglas, awalnya hanya seorang budak di sebuah gunung batu. Suatu ketika, Ia dipilih oleh Batiatus, seorang pemilik sekolah pelatihan Gladiator. Batiatus, yang diperankan oleh Peter Ustinov, mengambil budak-budak potensial yang akan memberikan keuntungan.
Kubrick menggambarkan dengan cukup jelas apa yang terjadi dengan sekolah gladiator. Setiap trainee harus melakukan latihan sekeras mungkin, tetapi mereka juga telah dipersiapkan dengan sebuah ruangan khusus dan tentunya, seorang wanita sebagai pemuas mereka. Investasi ala Bantiatus ini menjadikan dirinya sebagai salah satu supplier Gladiator di Italia. Baginya, selama dilatih, para calon Gladiator tidak diperkenankan untuk saling membunuh.
Di sekolah ini, Spartacus mengalami love at the first sight dengan seorang wanita cantik bernama Varinia. Varinia, yang diperankan Jean Simmons, ditugaskan untuk memuaskan Spartacus. Spartacus menolak dan kisah percintaan mereka menjadi salah satu bumbu di kisah film ini.
Beberapa saat kemudian, sekolah Gladiator milik Batiatus dikunjungi oleh senator dari Roma bernama Crassus. Crassus, yang diperankan oleh Laurence Olivier, menyuap Batiatus untuk mempertunjukkan 2 pertarungan gladiator. Dari kedua pertandingan tersebut, Spartacus terpilih untuk bertanding dengan Draba, seorang budak Ethiopia. Hasil pertandingan ini kemudian mengkibatkan pertentangan para budak yang dipimpin Spartacus dalam melawan kekuatan Romawi.
Film ini diadaptasi dari sebuah novel berjudul sama karangan Howard Fast. Naskahnya dikarang oleh Dalton Trumbo, salah seorang penulis naskah yang sempat di blacklisted pada zamannya dan cukup dikenal lewat “Roman Holiday” dan “Exodus.” Berbeda dengan “Roman Holiday”, kisah “Spartacus” dikembangkan Trumbo sebagai sebuah epik, yang melibatkan banyak karakter, apalagi jajaran cast film ini dibintangi para bintang di masanya.
Sejujurnya, saya merasa cukup membosankan dalam menyaksikan film ini. Film ini dikemas sedetil mungkin oleh Kubrick dengan total 184 menit. Andai saja film ini dibuat saat ini mungkin akan dijadikan ke dalam dua bagian, seperti kisah penutup “The Twilight Saga” maupun “Harry Potter.” 184 menit telah mencakup sebuah overture sekaligus intermission yang terdiri dari score Alex North yang bila digabung sekitar 10 menit.
Tetapi, ada beberapa hal yang menghilangkan kebosanan saya dari film ini. Pertama, sinematografi film ini. Russell Metty, sinematografer film ini, yang dibawah kendali langsung Kubrick, menampilkan banyak adegan kolosal seperti perang, pertikaian, hingga kemegahan Roma pada jamannya. Kedua, art direction. Penyajian setting yang melibatkan banyak pemain, membutuhkan cukup banyak effort. Film ini menghadirkan set sekolah gladiator, tempat pemandian ala Yunani, hingga kota Roma kala itu. Ketiga, kostum dan make up. Ini perlu diapresiasi ketika harus menyulap ribuan pemain dengan setiap detil-detil pakaian dan aksesoris mereka.
Sebetulnya saya cukup tidak terfokus dengan cerita film ini. Mungkin karena dilatari dengan banyaknya pemain, yang sekaligus dibintangi oleh bintang-bintang ternama, sehingga mereka terkesan memiliki slot tersendiri untuk bersinar. Hal ini kemudian memperlihatkan bagaimana penonton tidak akan mengikuti gaya penceritaan dari satu ataupun dua tokoh, melainkan lebih.
Kembali ke masanya, film ber-budget 12 juta US$ ini merupakan salah satu penghasil terbesar bagi Universal Studios di masanya dengan meraup pendapatan 60 juta US$. Film ini juga meraih 4 piala Oscar dari 6 nominasi yang diterimanya, antara lain Best Supporting Actor, Best Art Direction (Color), Best Cinematography, dan Best Costume Design (Color).
Ada salah satu kutipan menarik yang dilontarkan pejuang kebebasan dalam film ini, “And maybe there’s no peace in this world, for us or for anyone else. I don’t know. But I do know that, as long as we live, we must remain trus to ourselves.” Saat ini, “Spartacus” telah menjadi sebuah klasik, dan juga mungkin yang terbaik dalam mengadaptasi kisah pejuang hak para budak dari zaman Romawi.