Ada yang pernah bilang, ‘kalau pacaran itu jangan lama-lama. Terlalu lama itu tidak sehat.’ Ada juga yang pernah berkomentar, jika pacaran terlalu lama dan tidak berlanjut ke babak selanjutnya, maka itu akan jadi sesuatu yang sia-sia, sebab kamu udah ngabisin banyak waktu. Ngomongin tentang ‘pacaran yang lama,’ kali ini ada sebuah film dari Filipina yang ngebahas tentang hal ini. Judulnya, “Can We Still Be Friends?”
Di film ini, penonton akan berkenalan dengan kedua pemeran utamanya sedari awal. Si Pria bernama Diego, diperankan oleh Gerald Anderson, dan sang wanita, bernama Sam, diperankan oleh Arci Muñoz. Keduanya sudah menjalin hubungan mereka lebih dari 8 tahun. Mereka pun sudah hidup bersama di sebuah apartemen, hasil dari patungan keduanya.
Malangnya, belum memiliki pekerjaan yang tetap menjadi masalah buat Diego. Pria yang kadang jenaka ini tampak mengalihkan kekuatirannya dan menghabiskan banyak waktu untuk bermain game di apartemen. Lain halnya dengan Sam. Sam malah cukup berambisi untuk mendapatkan promosi di kantor advertising agency tempat Ia bekerja. Sayang, client yang Ia harapkan malah jatuh ke tangan Emmanuel, kompetitornya di kantor. Saking stressnya, Ia pun mulai semakin down ketika menyadari kalau Diego tidak menjaga kebersihan apartemen mereka. Apalagi saat Diego masih belum bisa ikut patungan biaya hidup mereka. Buat Sam, Ia seperti harus menanggung semuanya.
Drama komedi yang disutradarai Prime Cruz ini menghadirkan suatu tontonan yang cukup menghibur. Film ini bisa menghadirkan suatu krisis dari sebuah hubungan panjang dengan cara yang terlihat menyakitkan, namun menyenangkan. Cerita asli yang kemudian digarap naskahnya oleh Jenilee Chuaunsu ini berhasil hidup lewat sentuhan humor situasi yang hadir menyelingi momen-momen serius nan galau di ceritanya.
Penggambaran kedua karakter utamanya terasa cukup menarik. Diego yang jenaka ternyata juga punya sifat yang begitu sensitif, hanya saat ketika Sam mulai berbicara lantang dan mengaitkannya dengan masalah pekerjaannya. Lain dengan Sam, yang terlihat lebih teratur dan serius, Ia selalu membandingkan kisah cintanya dengan situasi ‘rumput tetangga selalu lebih hijau’ yang ada dihadapannya. Alhasil, ketika tiba pada puncaknya, ya perpisahan pun terjadi.
Yang tampak menarik, perbandingan yang digunakan terasa cukup membuat saya banyak tertawa kecil di sepanjang film. Misalnya, ketika Sam yang ingin dijemput Diego, Ia harus melihat Emmanuelle dijemput dengan romantis oleh sang kekasih. Realitanya, Diego yang tiba dari seberang jalan, bukannya memutar arah, malah membuatnya menyebrang jalan. Atau juga ketika Sam harus terasa ‘cukup kalah’ dengan sahabatnya yang gay. Sahabatnya sudah dilamar oleh sang kekasih, sedangkan Ia masih dalam kondisi ‘menunggu dan menunggu.’
Yup, kadang ekspektasi satu sama lain tidak sesuai, dan ini yang menjadi cerita bagaimana film ini menjadi semakin menarik untuk diikuti. Simple-nya, mungkin dengan saling berbicara semuanya bisa saling paham. Tapi, tentu tidak akan seru jika semuanya selesai begitu saja. Penonton harus menikmati ke-awkward-an Diego dan Sam, sekaligus cara mereka masing-masing untuk menahan gengsi dan perasaan.
Saya tidak menyangka ketika karater Diego bisa dengan mudahnya untuk menangis disini, sesuatu yang tidak saya expect seperti di film-film Korea. Namun yang menarik, saya suka saat karakter Diego memperlihatkan kalau Ia juga punya pride yang tidak bisa dengan mudah dihancurkan dan dibentuk lagi dengan semudah menjentikkan jari. Di saat jenaka, kadang candaan imaginatif Diego yang garing ataupun nada awkward-nya saat memanggil Sam dengan kata ‘love…’, mungkin terlihat membosankan. Tapi disini yang menarik. Kita bisa melihat apa yang sebetulnya Sam sukai dari seorang Diego.
Begitupun Sam, yang merasa kehidupannya semakin rumit. Ia terus menanti dan berharap dapat seperti yang Ia lihat selama ini. Salah satu adegan menarik yang saya masih ingat adalah ketika keduanya sedang dinner, dan Sam penuh ekspektasi ketika Diego berlutut sambil di saat yang sama sekelompok orkes mendekati meja mereka. Sayang, ekspetasi ‘will you marry me?’ malah berujung ‘sepertinya ini anting kamu yang jatuh.’ Zzz…
Untung saja, Anderson dan Muñoz bisa beradu akting dengan cukup baik. Keduanya bisa membuat penonton tertawa dengan kegaringan, dan kelucuan mereka, sekaligus ikut jengkel melihat ‘perang gengsi’ keduanya.
“Can We Still Be Friends?” merupakan sebuah tontonan yang tidak hanya menghibur, tetapi juga mengajak penontonnya untuk berkaca lewat dua pertanyaan dalam dari kedua karakter utama. Apakah perlu mencari kesempurnaan dalam cinta? Atau merasa ‘Saya tidak pantas untuknya. Dia pantas yang lebih baik.’ Pada akhirnya, film ini menjawab semuanya dengan sepotong ucapan panjang dari pernikahan sesama jenis sahabatnya Sam, “I realized that it’s stupid to demand perfection from love. Or from myself. I’ve come to accept that there will always be something lacking in those who love. The question is, whose shortcomings are you willing to accept?”
Saya menyadari jika Diego dan Sam terasa cukup bodoh dengan permainan mereka. Cuma, saya agak sedikit setuju dengan Sam. Ya, pada dasarnya memang tidak ada seseorang yang sempurna. Tetapi jika kita ingin menggapai kesempurnaan sebetulnya juga tidak ada salahnya kok, asalkan mau dicoba. Gimana menurut anda?