Sebuah sore di bilangan Jakarta Selatan, saya mengundang sutradara muda berprestasi, Kamila Andini untuk bertemu. Sutradara perempuan ini akan bercerita banyak hal, terutama ketika kami menanyakan film teranyarnya, “Sekala Niskala.” Film ini, yang juga dikenal dengan judul “The Seen and Unseen” berhasil meraih Grand Prix pada Kplus Generation Section di Berlinale tahun ini merupakan sebuah kemenangan Indonesia yang pertama di festival tersebut. Di kesempatan ini saya menanyakan banyak hal, terutama dengan beragam pertanyaan yang terlintas saat menyaksikannya di gala premiere seminggu sebelumnya.
Q: Hi, Kamila. Apa kabar? Sekarang lagi sibuk apa?
A: Kabar baik. Sekarang lagi sibuk banget karena “Sekala Niskala” sudah mau rilis, which is lusa. Sibuk ngurusin teknisnya, distribusi, layar, dan segala macem. Sama juga sibuk urusan anak dan mulai menulis juga.
Q: Pertanyaan pertama nih. Kenapa judulnya “SEKALA NISKALA”?
A: Awalnya saya ingin bikin film lagi setelah menyelesaikan featured film pertama saya, “The Mirror Never Lies.” Saya ingin mempertanyakan lebih dalam sebagai manusia Indonesia, orang timur, sekaligus Asia. Saya ingin mencari diri saya lebih jauh lagi sebagai seorang creator. Pertanyaan inilah yang pertama kali muncul. Bagaimana sih kita berelasi, inner relasi kita yang mungkin berbeda dengan orang Barat. Saya pun mendengar filosofi “Sekala Niskala” di Bali, yang dalam bahasa Inggrisnya disebut “The Seen and Unseen” yang berarti “Yang terlihat dan yang tak terlihat.”
Filosofi ini berbicara bagaimana Orang Bali percaya akan kehidupan yang holistik. Kita semua hidup bersama dengan yang kasat mata dan yang tidak kasat mata. Tidak hanya makhluk hidup, tetapi juga pikiran, kebudayaan, belief (kepercayaan), agama, dan mitos. Sebagai orang Indonesia, kita mempercayai semua hal itu sebagai satu kesatuan dalam hidup. Menurut saya, ini merepresentasikan sekali siapa saya. Hidup kita memang berkoneksi seperti itu. Kita percaya semesta punya rencananya sendiri. Kita juga percaya sesuatu yang lebih besar, Tuhan. Kita percaya bahwa hidup tidak hanya di dunia saja. Darisanalah ketertarikan saya dan berangkat dengan “Sekala Niskala.”
Walaupun sebetulnya saya tidak kepikiran dengan judulnya. Filosofi ini sangat dalam dijunjung oleh Orang Bali. Saya ngerasa bisa tidak ya untuk memotret filosofi ini. Benar ga cerita saya bisa menjelaskan itu. Kalau tidak, saya akan mengecewakan orang-orang Bali dan kulturnya. Makanya, saya agak khawatir pada awalnya. Saya tidak terpikir ini sebagai judul. Tetapi pada akhirnya, dalam perjalanannya, saya berusaha menemukan judul lain, dan belum ada judul yang merepresentasikan film ini sebagai “The Seen and Unseen.” Jadi, saya belum menemukan judul lain yang lebih tepat.
Q: Okay, dari penjelasan tadi ada menarik. Kenapa Bali? Padahal kan masih ada banyak daerah-daerah lain di Indonesia?
A: Ada beberapa alasan. Yang pertama, simple sih, karena Sekala Niskala hadir di Bali. Kedua, menurut saya, keseharian orang-orang Bali sudah menunjukkan hal tersebut. Bagaimana mereka bikin canang setiap hari, berdoa, serta upacara dengan tradisi yang sangat kental. “Sekala Niskala” mencoba memperlihatkannya dengan jelas, yang tentunya sangat berbeda dengan kita yang di Jakarta, yang mungkin bisa saja mempercayai hal tersebut, tetapi tidak sejelas saat kita disana. Terakhir, Bali memiliki dua sisi, two sides of the coin. Satunya yang dinamis, colourful, touristic, dan indah. Sejujurnya, two times at there, I feel boring. Dulu itu, aku gak suka Bali. Akan tetapi, di sisi koin yang lain, Bali sangat subtle, meditatif serta spirituil yang sangat berbeda. Orang-orangnya lembut, pacing-nya pelan dan ini sebetulnya yang membuat saya jatuh cinta sama Bali. Sisi ini yang lebih kena ke saya dan pengen saya munculkan di film ini.
Q: Kenapa mengangkat anak-anak sebagai karakter utama di film ini?
A: Dari sebelum saya nikah, saya senang banget untuk menggunakan perspektif anak-anak yang mencari tahu tentang sesuatu. Merea selalu punya perspektif yang curious, penuh pertanyaan, dan pengen tahu. Saya suka untuk menggunakan perspektif tersebut untuk hal-hal yang mungkin tidak biasa disuguhkan pada mereka. Misalnya kematian dan malam. Itu hal-hal yang selalu dijauhkan dari anak-anak. Saya pengen menaruh subjek pada tempat yang sebenarnya bukan playground mereka. Saya ingin tahu aja, how it does work. Begitu saya menikah dan punya anak, tentu saja saya menilai film anak itu jadi beda banget. Tiba-tiba kenapa sih bikin film tentang kematian dan anak-anak. Tapi, ketika kita ngomongin subjeknya begitu dalam, begitu berat sebetulnya. Sedangkan perspektif anak-anak itu menjadi sangat ringan, lebih simple dansederhana. Bayangkan jika film ini memiliki karakter utama dewasa. Pasti ceritanya akan semakin berat dan verbal, karena mereka sudah berada dalam tahap yang bisa mengerti itu lebih dalam. Sedangkan anak-anak melihatnya masih secara polos dan terbuka.
Q: Sebenarnya karakter Tantra itu dibuat hidup atau yang penonton lihat hanyalah bagian dari imajinasi Tantri?
A: Sebenarnya, it’s up to the audience. Memang Tantra seharusnya tidak ada di dunia yang nyata. Tetapi bentuknya seperti apa itu, saya lepaskan ke penonton. Apakah itu mimpi, ada di pikiran, feeling, itu terserah. Tapi ini yang coba diambil. Kadang ketika merasa dekat dengan seseorang, kaya ada sesuatu yang bisa mempertemukan kita. Entahlah feeling, dejavu atau mimpi. Ada ruang yang membuat kita bisa ketemu.
Q: Di bagian awal film, diperlihatkan jika Tantra mengambil telur yang disiapkan untuk para Dewa. Apakah ini yang menyebabkan Tantra sakit? Secara di Indonesia, banyak kepercayaan…
A: Sebenarnya itu tidak ditulis seperti itu. Adegan telur ditulis sebagai planting, jika telur digunakan dalam keseharian. Hal itu menjadi menarik buat saya, jika penonton bisa berkoneksi dengan film ini. Film ini sebenarnya menyediakan pintu-pintu saja. Mungkin orang Barat tidak memiliki pemikiran itu. Sebagai orang Asia, biasanya kita sudah terbiasa untuk mencari alasan dari hal-hal yang tidak masuk akal seperti itu. Kita berusaha mencari-cari sesuatu yang berhubungan dengan mistis sebagai penjawab alasan. Hidup kan begitu. Kita tidak pernah tahu. Bisa aja sebetulnya dia memang sakit, ya sakit aja. Cuma, ya manusia biasa mencari-cari tentang itu.
Q: Saat di film kan menggunakan Bahasa Bali. Bagaimana proses kreatifnya?
A: Ini sebenarnya adalah film ketiga saya yang menggunakan bahasa yang tidak saya gunakan. Jadi, film pertama saya di Wakatobi pakai bahasa Bajo. Film kedua, setting di Timor Leste dengan bahasa Timor. Ini adalah film ketiga yang saya tidak mengerti bahasanya. Tapi, itu memang yang selalu saya suka lakukan. Jadi, script-nya dalam Bahasa Indonesia, dan di translate langsung ke dalam Bahasa Bali oleh pemainnya.
Saya suka bagaimana pemain menginterpretasi dengan menggunakan bahasanya sendiri untuk suatu dialog. Kadang-kadang script itu bisa berbentuk baku. Salah satu tugas director adalah men-translate bahasa script menjadi bahasa adegan. Proses ini yang sebenarnya seru. Kadang-kadang, saya juga tidak mengerti mereka ngomong apa. Saya baru sadar ketika sudah di-translate, ada hal-hal kecil yang memang ditambahkan mereka ataupun dikurangi. Tapi, somehow itu membuat adegannya lebih bunyi. Karena di titik shooting, saya biasanya sudah percaya dengan pemain untuk menyampaikan adegan sesuai dengan apa yang ingin saya sampaikan. Jadi yang kita omongin bukan dialognya, tetapi sebetulnya ini adegan apa sih, rasanya seperti apa.
Tapi yang membuat saya cukup repot, ternyata di Bali sendiri, setiap daerah itu punya bahasanya yang beda-beda. Itu repot banget. Pemain sama extras bisa beda bahasanya. Itu lumayan pusing. Yang paling berbeda adalah Mba Ayu Laksmi, yang berasal dari Singaraja, daerah di Utara Bali. Itu agak bikin sedikit bingung buat saya, tetapi pada akhirnya karena sesama orang Bali mereka mengerti. Juga, karena peran Mba Ayu Laksmi disini adalah sebagai seorang istri, dan sosok Istri sebetulnya bisa dari mana saja, sehingga Mba Ayu menggunakan bahasanya sendiri di dalam film ini.
Q: Sebenarnya apa memang sudah direncanakan untuk masuk ke Berlinale?
A: Nggak. Karena kita tidak tahu filmnya selesainya kapan, dan festival itu banyak sepanjang tahun. Untuk film seperti ini, agak susah juga untuk lepasinnya. Karena proses finance-nya cukup panjang, dan kita dapet funding dari berbagai macam yang prosesnya juga panjang. Post production kita dapat dari Doha dan waktu itu kita enggak tahu kapan akan selesai sampai aku happy. Pas kebetulan selesai itu pas Toronto Film Festival. Saya sendiri malah tidak kepikiran Berlin karena biasanya Berlinale itu membutuhkan world premiere untuk film-filmnya. Sehingga aku memutuskan untuk masuk Toronto, world premiere disana dan sudah tidak kepikiran dengan Berlin. Tiba-tiba, pihak Berlin mengirimi e-mail untuk mempertimbangkan lagi untuk European premiere, dan mungkin kita bisa push untuk itu. Sebenarnya, mereka sudah nonton draft film ini. Cuma kita belum selesai dan belum ada untuk menyelesaikannya. Ini semua diluar ekspektasi kalau mereka ternyata sesuak itu sama film ini.
Q: Bicara sinematografi film ini, kalian berani sekali untuk bermain dengan gelap. Ceritain dong kenapa bisa demikian, karena jika tidak di tampilkan di bioskop mungkin bisa tidak terlihat jelas.
A: Ya, ini sebenarnya hal yang paling susah dari film ini. Berani mutusin film segelap ini, karena saya menyadari akan keribetan dibelakangnya. Sebelum kemarin, terakhir saya di Berlin tahun 2011 untuk film pertama saya. Saya masih putar dengan film, dan kita bawa reel film. 6 bulan setelah pemutaran, semua film beralih ke DCP. Cuma dalam 6 bulan. Saya udah bikin mahal-mahal, bikin beberapa copy dan jadi enggak guna. Dengan DCP, kita bisa cuma pake USB. Ini kejadian udah 6 tahun yang lalu. Game changes a lot. Banyak sekali yang terjadi di industri film. Orang bahkan sekarang sudah tidak nonton film di bioskop. Mereka bisa nonton di handphone, laptop, dan seperti itu jamannya. Jadi cuma 6 tahun, dan ada banyak banget perubahan. Ini adalah my last chance untuk bisa buat film yang pure untuk Cinema, yang cuma bisa ditonton di bioskop. Habis ini, I don’t think I am able to do that again. Sekarang ini untuk distribusi kita mesti memikirkan apakah film ini bisa ditonton, dan saya tidak mengerti apa yang mungkin akan terjadi ke 6 bulan setelah ini. Ini perkembangan jaman, dan saya ingin membuat sesuatu untuk cinema. Dan itu penting, bisa membuat film yang Cuma bisa ditonton di cinema. Memang sesentimentil itu. Saya yakin saya sudah enggak akan bisa membuat film segelap ini.
Q: Salah satu film Oscar kemarin, “The Florida Project” juga mengangkat karakter anak sebagai pemerean utamanya. Cuma rating-nya sendiri dewasa, sama seperti film klasik buatan Jerman, “The Tin Drum.” Ini pertanyaan terakhir: Jadi sebenarnya target penonton “SEKALA NISKALA” itu anak-anak atau orang dewasa?
A: Saya sebenarnya tidak mentarget hal itu, karena kita tidak memikirkan market dan memang lebih ke arah eksplorasi. Jadi ini tidak dipikirkan sedari awal. Kalau film ini bisa dikonsumsi oleh anak-anak, ya silakan. Ini salah satu hal yang sebetulnya ingin saya ketahui saat menyelesaikan film ini. Sama seperti pengalaman film pertama saya. Di Indonesia ratingnya untuk 14 tahun keatas, sedangkan di Eropa film itu untuk 6 tahun keatas. Ada hal-hal yang tidak bisa menentukan anak itu harus nonton film untuk umur berapa, kecuali jika ada adegan-adegan blue scene.
Waktu di Berlin kemarin, saya justru ingin tahu kalau reaksi anak-anak kecil saat menyaksikan film ini. Mereka ternyata punya ekspresi yang berbeda yang tidak juga salah. Di film ini kamu bisa untuk mengekpresikannya hal secara bebas. Seperti mereka, saat adegan tari berlangsung mereka cenderung lebih excited dan membahasnya. Sedangkan kita yang dewasa cenderung lebih kontemplatif. Jadi, saat adegan yang menurut orang dewasa sedih, anak-anak cenderung melihat hal yang berbeda. Kids can questioned everything. Karena sebetulnya di film ini mereka bisa mempertanyakan sesuatu karena memang untuk dipertanyakan.