Termasuk ke dalam daftar film yang saya tunggu di tahun ini, film ini sudah lebih dulu mencuri perhatian saya dari trailer-nya yang sudah menegangkan. “Conclave” merupakan salah satu tontonan dari 2024 yang akan membawa penonton akan cerita di belakang layar dari pemilihan paus.
Sosok utama kita adalah Kardinal Lawrence, diperankan oleh Ralph Fiennes, yang merupakan pemimpin atau dekan dari para Kardinal. Suatu malam, Ia dipanggil oleh karena meninggalnya Bapa Suci Vatikan. Sesampai disana, Ia mulai akan mencuri perhatian penonton. Melalui dialognya, Ia berupaya menggali informasi akan kejadian kematian ini. Maklum, sehari sebelumnya, Ia telah berbicara kepada mendiang Paus akan keinginannya untuk mundur dari posisi dekan ini. Sayang saja, Paus menolaknya.
Misteri kematian Paus pun menjadi salah satu tanda tanya besar, walaupun hasil dugaan sementara dikarenakan serangan jantung. Lawrence pun ditemani oleh Kardinal Bellini, diperankan oleh Stanley Tucci, yang juga merupakan salah satu kardinal terdekat dengan Paus. Berhubung Paus telah tiada, sesuai dengan aturan Gereja, Kardinal Lawrence harus menjalankan salah satu tugas dari posisi yang diembannya: melaksanakan konklaf.
Dalam ingatan saya, saya masih mengingat jelas akan suatu buku ilustrasi yang berupaya menggambarkan peristiwa konklaf. Kegiatan ini terbilang sebagai suatu hal yang sakral dan tertutup, dengan ciri khas meniupkan asap setiap pembacaan hasil pengambilan suara. Bila sosok Kardinal telah memenuhi jumlah suara sesuai dengan ketentuan, maka bakaran kertas suara dan asap putih akan keluar dari Sistine Chapel. Jika masih belum memenuhi ketentuan, maka pengambilan suara akan dilakukan kembali, sekaligus pengeluaran asap berwarna hitam.
Film ini disutradarai oleh Edward Berger, yang sebelumnya sudah dikenal sebagai sutradara “All Quiet on the Western Front” yang kembali menghadiahkan Jerman Best International Feature di ajang Academy Awards. Naskah film ini ditulis oleh Peter Straughan yang sempat menulis “Tinker Tailor Soldier Spy.” Ceritanya sendiri merupakan hasil adaptasi dari novel best-selling berjudul sama yang ditulis oleh Robert Harris.
Sepanjang dua jam, “Conclave” terasa jadi sebagai suatu tontonan yang terus membangun pertanyaan. Betapa tidak, Berger membangun kesan menegangka sepanjang film. Mulai dari misteri kematian paus, hingga politik para kardinal yang menguji keimanan mereka, yang luar biasanya disuguhkan lewat pengambilan gambar yang amat memukau. Suguhan sinematografi dari Stephane Fontaine, amat berhasil membangun ketegangan dari konflik-konflik yang kerap hadir dingin. Salah satu bagian yang saya sukai adalah ketika pengambilahn shot dari belakang, ketika Kardinal Lawrence menatap kesibukan kardinal dari di hari pertama konklav. Ataupun, begitu dramatisnya saat Kardinal Lawrence menyerahkan hasil votingnya yang diakhiri dengan penyerangan ruangan konklaf.
Bila membahas kisahnya, saya menyukai penggambaran akan para manusia di dalam gereja, yang kembali menyadarkan kita jika mereka masih ‘manusia,’ yang juga masih punya prasangka, masih bisa berbuat salah, ataupun belum bisa selesai dengan dosa lama mereka. Potret ketidaksempurnaan ini malah terasa menjadi cambuk buat saya, yang seraya menyiratkan jika yang sudah berupaya hidup suci saja masih mengalami hal yang membuat mereka struggle, apa kabar yang belum?
Sudut penceritaan yang terpusat pada Kardinal Lawrence juga terbilang menarik. Di sisi lain, Lawrence harus bisa menjadi kepala dalam memastikan sosok yang dipilih memang relevan. Di sisi lain, Ia pun harus bergulat dengan kenaifan serta ego yang kerap menamparnya. Yang saya sukai adalah bagaimana Vatikan bekerja dengan segala macam rahasia, yang sengaja ditutupi, dan membuat mereka tidak memaksakan untuk mengetahui rahasia tersebut. Semacam memiliki keyakinan bahwa selalu ada maksud, yang nantinya akan terungkap secara sendirinya.
Luar biasanya, “Conclave” juga diisi dengan ensemble cast yang tidak main-main. Ralph Fiennes, yang dikenal melalui “The English Patient” ataupun “The Grand Budapest Hotel” hadir dengan penampilan akting yang amat memukau. Saya rasa, ini adalah peran terbaiknya. Begitupula dengan kehadiran Stanley Tucci, John Lithgow, sampai Isabella Rossellini, yang sudah memberi sinyal jika drama ini harus mendapat sorotan, mengingat kesemuanya ini adalah aktor senior, yang terbilang memberikan jaminan tersendiri. Menurut saya, “Conclave” pantas disebut sebagai salah satu film dengan ensemble cast terbaik dari tahun 2024.
Selain itu, rasanya perlu membahas set produksi film ini yang patut diacungi jempol. Pengambilan adegan film sebagian besar dilakukan di Cinecita Studios di Italia, yang berarti memberi kode jikalau lokasi-lokasi penting yang digunakan adalah buatan. Mungkin? Jika iya, maka Suzie Davis patut diberi acungan jempol akan upayanya ini. Production designer yang sebelumnya terlibat lewat “Saltburn” dan “Mr. Turner,” harus dapat menyajikan adegan secara nyata, mengingat tantangan yang begitu besar untuk membuatnya sama persis.
Rasanya tak adil juga bila tidak membahas score film ini yang digarap Volker Bertelmann. Komposer peraih Academy Awards untuk “All Quiet on the Western Front” ini juga akan membangun emosi penonton akan dramatisasi kisahnya layaknya teror. Ketegangan-ketegangan ini menjadi semakin hidup dengan alunan musik dawai yang bisa menakutnya, layaknya kita menyaksikan “Psycho.”
Pada musim penghargaan tahun ini, “Conclave” tentu harus disematkan sebagai salah satu film terbaik 2024. Film ini baru saja memenangkan Best Screenplay di Golden Globe Awards. Untuk Academy Awards tahun ini, saya rasa film ini akan banyak mengisi nominasi, termasuk Best Picture, Best Directing, Best Adapted Screenplay, Best Actor in Leading Role untuk Fiennes, Best Actor in Supporting Role untuk Lithgow dan Tucci, Best Actress in Supporting Role untuk Rossellini, Best Production Design, Best Original Score, Best Cinematography, dan mungkin Best Editing.
Akhir kata, daripada mempertanyakan apakah konklaf yang terjadi memang dilakukan seperti yang digambarkan film ini, setidaknya “Conclave” adalah sebuah sajian serius yang berhasil memenuhi ekspektasi saya, mengenyangkan segala rasa keingintahuan saya. Luar biasa!