Sudah dari lama rasanya saat saya pertama kali mendengar nama ‘Trump.’ Berawal dari reality show yang selalu saya ikuti sejak masih kecil, “The Apprentice” selalu memukau terutama saat akhir setiap episode yang memperlihatkan Trump mengucapkan ‘You’re fired’ pada peserta yang tereliminasi. Pada tahun ini, ketika Amerika Serikat sedang melakukan tahun pemilu layaknya di Indonesia, hadir film “The Apprentice,” yang mengisahkan perjalanan kehidupan Donald Trump muda.
Donald Trump, diperankan oleh Sebastian Stan, sedang punya masalah dengan pemerintah. Semua dikarenakan usaha real estate ayahnya, Fred Trump, yang diperankan oleh Martin Donovan, diduga melakukan diskriminasi pada masyarakat African American. Untuk itu, Ia menghadiri sebuah klub malam demi bisa menggaet seorang pengacara terkenal bernama Roy Cohn, diperankan oleh Jeremy Strong. Berkat kegigihannya, Trump pun berhasil memikat Roy untuk memasukkannya dalam circle-nya.
Trump mengawali bisnisnya dengan tidak mudah. Ia sampai-sampai harus menagih bayaran apartemen, sekaligus menikmati perlakukan yang tidak berkesan, sampai kadang-kadang berlebihan. Apalagi, Trump didik keras dengan Ayahnya. Mereka selalu berseberangan. Hal ini membuat peran Cohn cukup punya andil untuk mengajarkan tiga resep kesuksesannya.
“The Apprentice” disutradarai oleh Ali Abbasi, sutradara asal Iran yang sebelumnya sempat naik daun dengan “Holy Spider.” Naskahnya digarap oleh Gabriel Sherman, seorang jurnalis yang sempat melakukan banyak wawancara dengan orang-orang di sekitar Trump. Film ini kemudian dirilis pada 20 May lalu pada Cannes Film Festival, sekaligus bagian dari official selection festival bergengsi itu.
Apa yang diceritakan oleh “The Apprentice” sepanjang 122 menit durasinya akan membawa penonton untuk mendalami hubungan Trump-Cohn yang terbilang menarik. Gemblengan Cohn pada Trump di film ini seakan membentuk pengusaha yang kini Presiden Amerika Serikat ini semakin tajam. Terutama dengan keputusan-keputusannya. Saya rasa salah satu yang paling tajam ketika Cohn mengajarkan untuk tidak pernah mengeklaim kekalahan dan mengakuinya sebagai kemenangan.
Secara penyajian, saya menyukai bagaimana “The Apprentice” dihadirkan oleh Abbasi. Ia menggunakan tampilan layaknya menyaksikan suatu docudrama, ataupun membawa penonton menyaksikan rekaman video dari periode tersebut. Film ini sendiri bersetting sekitar era 70-an sampai 80-an. Gaya khas ini yang terlihat begitu menonjol.
Terlepas dari kontroversi akan kebenarannya, “The Apprentice” menjelaskan kepada penonton banyak hal yang mungkin tidak disadari. Seperti hubungan pernikahan Trump dan Ivana yang sebetulnya tidak baik-baik saja, disfungsi seksual yang Ia lakukan, sampai ketakutan Trump akan masalah kebotakan dan kegendutan yang dialaminya. Ini sendiri belum termasuk saat Ia ketakutan dengan Cohn yang kemudian menderita AIDS.
Membahas penampilan, saya amat menyukai penampilan Sebastian Stan sebagai Donald Trump. Stan yang dikenal lebih dahulu sebagai Bucky Barnes dalam franchise ‘Captain America’ membawakan karakter Trump dengan cukup mengesankan. Saya menikmati ekspresi, cara bicara, sampai gerakan tangan yang diperlihatkan Stan.
Selain itu, penampilan Jeremy Strong sebagai Roy Cohn juga patut mendapat pujian. Memerankan sosok Roy Cohn, Strong mempelihatkan ketegasan plus kelicikan pengacara ini, sekaligus kehidupan mewah, bebas dan liar. Menurut saya, penampilan Strong terasa cukup menonjol, apalagi ketika karakter ini diceritakan dari masa kejayaan dan keruntuhannya.
Dari sudut pendukung, film ini juga menghadirkan aktris peraih nominasi Oscar dalam “Borat Subsequent Moviefilm,” Maria Bakalova. Disini, Bakalova hadir memerankan sosok Ivana Trump. Peran Bakalova di film ini juga patut disimak, yang akan mengisahkan bagaimana Trump muda amat tergila-gila mengejar hati Ivana, dan kemudian hanya memanfaatkan hanya sebatas komoditas.
Film ini juga masuk ke dalam salah satu film yang akan diunggulkan dalam musim penghargaan tahun ini. Kalau saya, mungkin akan menjagokan Sebastian Stan dan Jeremy Strong untuk nominasi Aktor Terbaik dan Aktor Pendukung Terbaik. Bisa saja, Best Original Screenplay untuk Gabriel Sherman jadi kuda hitam di tahun ini.
“The Apprentice” tak cuma membawa kita dengan perjalanan Trump. Tetapi juga mengajarkan, kalau tidak ada yang namanya bisnis bersih. Kesuksesan Trump ini terasa dipenuhi dengan pro kontra yang mungkin sebagian diceritakan di film ini. Tidak cuma rekan kerja, sahabat, keluarga dan Istrinya juga dapat porsi drama yang bikin geleng-geleng Terlihat rasanya susah saat membangun, namun semuanya akan berubah ketika di puncak. Transformasi ini yang diperlihatkan “The Apprentice” sekaligus rasanya pantas untuk menyematkan kata ‘monster’ pada Trump.
Oh ya, ada satu aspek yang selalu menarik dari hubungan Trump dan Cohn, mengenai nasionalisme. Saya amat menyukai ketika keduanya selalu punya semangat untuk memajukan Amerika, yang memberi kita gambaran jika Trump memang sedari muda sudah punya bibit jadi Presiden. Mengingat pemilihan Presiden Amerika Serikat baru usai dan dimenangkan oleh Trump, saya ingin menutup tulisan ini salah satu tagline yang juga dihadirkan film ini: Make America Great Again.