Setelah sekian lama, saya menyempatkan kembali untuk menyaksikan klasik dari Filipina. Pilihan saya kali ini jatuh pada film hasil restorasi ABS-CBN pada program Sagip pelikula yang berjudul “The House in the Wood” aka “Haplos,” yang menawarkan cerita romansa bertema horor.
Cerita dimulai dengan kedatangan seorang pria bernama Al, diperankan oleh Christopher De Leon, yang kembali ke kampung halamannya. Sebelumnya, Ia mengadu nasib di Arab Saudi. Kepulangannya didasari atas sepeninggal Ibunya, yang membuatnya harus melihat kondisi disana, termasuk usaha es batu milik keluarganya.
Kepulangannya ternyata malah mempertemukannya kembali dengan Christy, seorang wanita yang berasal dari alumni yang sama, yang diperankan oleh Vilma Santos. Kesamaan latar ini membawa keduanya ke dalam kencan yang kemudian berujung dengan drama percintaan keduanya.
Masalah dimulai semenjak Al melakukan eksplorasi akan daerahnya. Ia menyusuri sungai sendirian, di tengah masih maraknya mistis akan mereka yang tak terlihat, yang konon mampu membuat mereka lenyap. Yang ada, Al malah menemukan sebuah rumah kayu megah di tengah hutan dengan tangga besar yang mengjuntai di bagian depannya. Disana, Ia bertemu dengan seorang perempuan bernama Auring, diperankan oleh Rio Locsin, yang juga jatuh hati dengan ketampanannya.
“The House in the Woods” ini merupakan produksi Mirick Films International di tahun 1982, yang disutradarai oleh Antonio Jose Perez aka Butch Perez, yang sebelumnya sudah sempat membuat “Binhi” di tahun 1973 bersama Peque Gallaga. Film ini terpilih ke dalam ajang festival Metro Manila di tahun tersebut, sekaligus membawa Rio Locsin untuk meraih nominasi untuk Aktris Pendukung Terbaik pada Famas Award, ajang film paling bergengsi di Filipina.
Ceritanya sendiri digarap oleh Ricardo Lee aka Ricky Lee, salah seorang penulis cerita kenamaan asal Filipina. Jika masih mengingat tulisan saya, Lee juga turut andil dalam menulis cerita “Itim” aka “The Rites of May” walaupun bersifat uncredited; serta juga menulis beragam klasik seperti “Himala,” “Karma,” “Cain at Abel,” sampai “Macho Dancer.”
Membahas cerita yang ditawarkan oleh “The House in the Woods” sendiri sebetulnya terasa punya potensi yang begitu besar. Kesan mistis di region Asia Tenggara cukup terasa berhasil menghidupkan ambience ceritanya. Sayangnya, eksplorasi horror disini cukup dangkal, yang membuatnya amat terfokus dengan kisah cinta segitiga antara Al, Christy dan Auring.
Padahal, ada beberapa adegan yang akan sedikit mengejutkan kita. Misalnya ketika Al yang sedang melakukan makan malam bersama keluarga Christy, tiba-tiba mengalami mati lampu ketika membahas sosok saudari Ibu Christy yang telah tiada. Pada jaman tersebut, kegiatan mati lampu memang terbilang sering, apalagi jika kita tinggal di pedalaman. Untuk ukuran Indonesia saja, jika anda dari timur, hal ini pun masih amat relate sampai dekade 2010-an. Lalu, saat Al yang membawa penonton pada kuburan-kuburan cantik, juga sedikit membangun hawa seram, yang sayangnya pada akhirnya “The House in the Woods” kurang mencolek bulu kuduk penonton.
Yup, “The House in the Woods” memang akan terlalu fokus dengan kisah cintanya. Terlepas dari upaya film yang juga memotret memori kehidupan Filipina yang berkembang, set-set yang dipilih terasa cukup memorable. Yang saya paling sukai adalah potret di depan gereja, ataupun kolam renang yang dipakai Al dan Christy yang terasa cukup misterius. Sentilan akan scammer ataupun pemberontakan juga dihadirkan film ini, yang secara implisit mengusung tema kemiskinan dan masa militer kala itu.
Jika bicara pada kualitas aktingnya, ini merupakan kolaborasi kesekian untuk pemain utama film “Tag-ulan sa tag-araw,” Vilma Santos dan Christopher De Leon. Keduanya menunjukkan konsistensi kepiawaian keduanya dalam berakting. Apalagi untuk hitungan kolaborasi yang kesekian, tentu menghidupkan chemistry disini terasa tak akan sulit bagi keduanya.
Untungnya, Rio Locsin juga bisa hadir mencuri perhatian dalam penampilannya, yang mungkin juga bisa membangun simpati dari penonton.
Secara kisah, “The House in the Woods” tergolong a pleasing movie. Romansa Al dengan kedua love interest-nya akan membawa penonton menyaksikan adegan-adegan romantis, termasuk saat Leon dan Santos yang berciuman sambil menggunakan es batu. Termasuk pula adegan ranjang yang mewarnai kisahnya. Kalau tentang pusat cerita yang membahas cinta segitiga, tentu sudah tidak ada sesuatu yang terasa spesial untuk dibahas.
Bila membandingkan film drama romantis asal Filipina favorit saya, “Hihintayin kita sa langit,” rasanya yang satu ini masih belum berhasil untuk menggeser posisi tersebut. Ekspektasi saya yang lumayan tinggi pada mistis dan horror hanya berhasil menjadi ornamen semata di film ini. Setidaknya, potret memori lampau yang dihadirkan “The House in the Woods” membuatnya jadi suguhan klasik yang sayang bila dilewatkan.