“Dune” is back! Yang ditunggu-tunggu telah datang. Mengusung judul bagian kedua, “Dune: Part Two” akan membawa penonton kembali ke dalam kisah pelarian Paul Atraides, yang kini bersama para Fremen untuk melawan House Harkonnen. Film yang dianggap sebagai salah satu film tersukses di 2024, kembali menawarkan pengalaman menonton yang luar biasa.
Cerita pada bagian kedua ini masih akan melanjutkan film sebelumnya, “Dune.” Kehancuran House Atreides yang mendapatkan serangan dari House Harkonnen ternyata belum berakhir. Paul Atreides, diperankan oleh Timothee Chalamet, berhasil melarikan diri bersama sang Ibu, Lady Jessica, yang diperankan oleh Rebecca Ferguson. Keduanya dibantu oleh pemimpin Freemen bernama Stilgar, diperankan oleh Javier Bardem, yang merasa bagian dari penglihatan yang dilihatnya.
Keduanya pun tiba di Arrakis, salah satu kelompok yang menunggu kedatangan mesias mereka. Percayanya Stilgar akan Paul membuatnya Ia dengan mudah untuk menguasai sudut pandang para pengikutnya. Walaupun demikian, Paul amat naif untuk mengamini tingkat kepercayaan Stilgar. Arrakis pun terpecah, sebagian percaya akan dirinya sebagai ‘Lisan al-Gaib’ aka ‘Muad’Dib;’ namun sebagian lagi menganggapnya sebagia penipu. Demi membangun kepercayaan, Paul hanya meminta untuk dapat mendukung pasukan Freemen sambil membuktikan kemampuannya.
Semakin lama, semakin meyakinkan. Paul dengan mudah mempengaruhi Arrakis, apalagi ketika sang Ibu dipercaya untuk meneruskan posisi Reverend Mother. Ia pun mengirim ancaman pada Emperor Shaddam IV, diperankan oleh Christopher Walken, yang menyatakan bahwa dirinya adalah Muad’Dib. Paul pun bersiap untuk melakukan penyerangan pada House Harkonnen, yang telah menghabisi bangsanya.
Sebagai sebuah kelanjutan, “Dune: Part Two” terasa memegang beban yang begitu besar. Selain telah menggantungkan cerita pada film “Dune,” kelanjutan ini membuat besarnya ekspektasi cerita dari novel adaptasi epik ini. Alhasil, “Dune: Part Two” masih terasa magisnya, walaupun dari segi cerita masih terdapat beberapa bagian yang terasa begitu loncat-loncat.
Denis Villeneuve menawarkan sebuah pengalaman yang amat memukau. Rasanya begitu sayang ketika saya hanya sempat menyaksikannya melalui home theatre. Kualitas sajian yang ditawarkan film ini terasa begitu wow. Mulai dari cerita fantasi yang panjang, tidak main-main, Anda harus bersiap selama 146 menit, dengan kehadiran banyak karakter, bangsa, hingga makhluk yang akan membuat Anda takjub.
Membahas ceritanya, film ini terasa cukup kuat dalam mengangkat kombinasi antara fantasi dengan setting kehidupan budaya Arab. Hal ini terlihat jelas melalui penggunaan latar gurun yang hampir menghiasi sepanjang adegan, berbeda dengan epic “Star Wars” yang masih terbilang variatif. Bagian dalam cerita yang juga menarik adalah menyangkut pengaruh dan kepercayaan. Masyarakat Arrakis bisa dengan mudahnya menaruh kepercayaan yang besar pada pemimpin mereka, yang sekilas terlihat seperti ‘dibodohi,’ namun sebetulnya mengartikan apa yang dapat dikatakan sebagai ‘believer.’
Untuk ukuran sebuah adaptasi, ini terasa luar biasa. Saya amat menyukai bagaimana situasi gurun, tetap mampu dihadirkan sebagai tontonan seru, ditambah sentuhan artistik yang menyelimuti. Misalnya dari sinematografi, terutama permainan ketika adanya ledakan-ledakan besar bak bom atom dalam “Oppenheimer,” namun dikemas dengan kemasan blur, untuk menguatkan rasa jika ini diambil dari jarak dekat.
Aspek yang saya rasa amat berbeda berikutnya adalah costume design. Film-film science fiction maupun fantasi kerapkali menawarkan kostum yang serba futuristik. Disini, saya tetap terpesona dengan penggambaran para Bene Gesserit, yang selalu tampil serba tertutup, namun amat ikonik. Momen favorit saya adalah ketika para Bene Gesserit hadir dengan serba putih dalam pertandingan Feyd-Rautha.
Elemen produksi juga amat begitu menawan dalam “Dune: Part Two.” Penonton akan diajak terpukau dengan keindahan set-set yang mungkin permainan efek komputer. Yang paling membuat saya terkagum adalah cadangan air suci milik Arrakis. Selain itu adalah penggambaran singgasana Emperor yang terasa simpel, namun amat punya kesan modern futuristik.
Visualisasi adegan juga jadi kunci unggulan “Dune: Part Two.” Salah satu yang membuat saya terpukau seperti ketika para pasukan yang tiba-tiba bisa muncul dari dalam pasir, seraya menaiki tangga. Ataupun juga dengan visualisasi yang memperlihatkan banyaknya pasukan, yang memberi kesan megah. Belum lagi, adegan mengendarai sandworm yang terasa begitu menyenangkan.
Ngomongin ensemble cast-nya, “Dune: Part Two” juga masih membawa bintang-bintang besar dari film terdahulunya. Mulai dari Timothee Chalamet yang kian dekat dengan Zendaya, kelucuan Javier Bardem, perubahan Rebecca Ferguson, sampai-sampai penampilan Austin Butler yang amat berbeda dari “Elvis.” Penampilan dalam film ini terasa begitu mengesankan, apalagi ketika ditambah bahasa Arrakis yang kerap diucapkan para pemain dalam dialognya. Film ini juga turut menghadirkan aktor-aktris legenda seperti Christopher Walken dan Charlotte Rampling.
Secara penyajian, “Dune: Part Two” benar-benar akan memberikan kualitas sajian yang akan sedikit mencengangkan. Ketika film ini dikemas dengan rating PG-13, film ini setidaknya masih memperlihatkan beberapa adegan yang sebetulnya sadis, tapi masih dikemas in a proper way.
Sayangnya, saya punya ekspektasi yang terlalu besar dengan film ini. Dalam “Dune: Part Two” saya masih menemukan beberapa kejanggalan. Misalnya dari flow cerita yang terasa cukup dipercepat, sehingga mengalir dengan tidak mulus. Begitu juga dengan beberapa adegan yang memperlihatkan dengan jelas permainan visual efek komputer, yang terasa kurang terlalu diperhatikan karena begitu terasa akan kesan ‘buatan’-nya. Walaupun saya rasa film pendahulunya masih terlalu baik, saya tetap akan menantikan kelanjutan seri ini. It’s still a masterpiece!