Lahir seperti anak yang tak dianggap, membuat Ia harus hidup dalam sebuah pusat reformasi remaja. “The Lost Boys” adalah salah satu jebolan Berlin International Film Festival, yang menawarkan cerita Joe, yang menemukan cinta dari kondisinya yang tengah tersesat.
Sosok utama film ini bernama Joe, diperankan oleh Khalil Ben Gharbia. Joe tengah tinggal di sebuah pusat reformasi remaja, yang berisikan anak-anak remaja dengan permasalahan yang berbeda-beda. Mereka semua dibantu salah satunya oleh seorang petugas bernama Sophie, diperankan oleh Eye Haidara, yang berupaya mendukung anak-anak agar dapat nantinya kembali ke masyarakat.
Sehari-hari, remaja laki-laki ini menghabiskan kegiatan yang beragam. Mulai dari berkonsultasi secara individual, ataupun memiliki kelas untuk membuat rap mereka. Mereka juga diharuskan untuk bekerja di ruang las. Mereka berolahraga, dan kadang jika diberikan waktu, juga mendapat ijin untuk pergi ke hutan secara bergerombol, serta dengan pengawasan tentunya.
Joe memang terlihat berbeda dengan yang lain. Sedari awal, “The Lost Boys” amat tegas memperlihatkan bagaimana Ia tak mendapat perhatian seperti yang anak-anak lainnya. Ia pun enggan untuk kembali pada sang Ibu. Suatu hari, pusat tersebut kedatangan anak baru. Ia bernama William, diperankan oleh Julien De Saint Jean, yang dimasukkan hasil melakukan penusukan seorang laki-laki. Kehadiran William malah memicu Joe untuk melanggar serangkaian aturan di tengah kondisinya yang tengah di dorong agar dapat keluar dari pusat tersebut.
“The Lost Boys” adalah sebuah directorial featured debut sutradara asal Belgia, Zeno Graton, yang juga ditulisnya bersama Clara Bourreau dan Maarten Loix. Film perdananya ini terpilih menjadi salah satu film yang berkompetisi dalam Generation 14plus pada Berlin International Film Festival.
Sebagai suatu suguhan drama, “The Lost Boys” terasa amat mengunggulkan ekspresi ketimbang verbal. Film ini terbilang punya sedikit kata, sebab penonton diminta untuk menjadi pengamat, yang dipaksa untuk memahami apa maksud dari setiap karakternya, walaupun tanpa ada ucapan. Hal ini amat terasa dalam penggambaran Joe dan William, keduanya hemat, dan seraya membangun ketertarikan bagi saya akan kedua karakternya yang dikemas seperti sok misterius.
Sayangnya, kita kurang terlalu diulas bagaimana Joe masuk ke dalam pusat rehabilitasi tersebut. Tapi, penonton akan amat jelas paham bagaimana William memang dirasa pantas masuk kesana. Ketika cerita ternyata mulai agak mengarah ke dalam romansa, “The Lost Boys” pun juga terasa tersesat dalam menceritakan kisahnya. Rasa keingintahuan yang tinggi tersebut ternyata hanya berujung dengan kesimpulan yang ternyata amat sederhana.
Secara penyajian, gaya observatif yang dihadirkan memberikan citarasa artistik dalam “The Lost Boys.” Yang paling saya sukai adalah ketika terfokus pada sosok Joe, dan selalu memancing serangkaian asumsi dalam benak saya untuk memahami karakternya. Malangnya, film ini terlalu terjebak dengan gaya ini, yang membuat adanya ambiguitas akan situasi, terutama bagaimana cerita film ini akan dibawa.
“The Lost Boys” pun ditutup dengan ending yang bukan tidak terduga, namun agak sedikit mengecewakan. Yang membuat mengecewakan bukanlah karena kekesalan dengan pilihan yang dipilih oleh karakternya, namun lebih kepada bagaimana saya merasa terlalu banyak menghabiskan waktu untuk kesederhanaan kisah yang ingin diusung. Pada akhirnya, “The Lost Boys” berkisah dengan mereka yang terjebak, namun juga akan menjebak penonton dengan kesederhanaan ceritanya.