Semakin berkembangnya teknologi, semakin pula media sosial menjadi-jadi. Fenomena masyarakat yang kini telah dihujani dengan ragam informasi yang beredar, memberi tantangan akan lemahnya pemilahan mana yang benar dan mana yang salah. Di tengah ketidakjelasan tersebut, “Budi Pekerti” menawarkan suguhan kepada penonton akan betapa bahayanya media sosial melalui kisah seorang guru BK.
Namanya Prani, diperankan oleh Sha Ine Febriyanti, adalah seorang guru BK yang tengah berharap mendapatkan posisi sebagai wakasek kesiswaan. Sosoknya yang tegas menjadikannya seorang legenda di sekolah. Ia terkenal untuk tidak memberi hukuman fisik, namun melalui sebuah refleksi. Sedari awal film ini, Prani mempelihatkan penonton cara Ia mendidik muridnya melalui hukuman yang cukup unik. Ia menugaskan sang murid untuk memutar rekaman ejekan yang dibuat pada temannya, untuk didengarkan pada tumbuhan. Sungguh unik.
Kehidupan Prani seakan menggambarkan potret malangnya nasib guru di negeri ini. Ia hidup mengontrak, dan sedang menunggak. Belum lagi sang suami, Didit, diperankan oleh Dwi Sasono, tengah depresi semenjak hadirnya covid dan kegagalan yang terus menerus pada usahanya. Ia juga hidup ditemani putranya Muklas, diperankan oleh Angga Yunanda, yang merupakan seorang influencer terapi animalia; serta putrinya Tita, diperankan oleh Prilly Latuconsina, yang menyulap baju thrift shop menjadi labelnya sendiri.
Masalah berawal ketika Prani yang sedang mengantre untuk membeli salah satu jajanan kue putu yang legendaris. Sosoknya yang kadung kesal dengan antrian yang tak kunjung datang, memberinya kegeraman ketika mendengar adanya pihak-pihak yang seakan curang dengan menitipkan pesanan. Perempuan yang merasa dicurangi ini lantas meledak dengan ungkapan yang salah dimengerti. Ia pun lantas viral dalam semalam.
Kisah “Budi Pekerti” ditulis dan disutradarai oleh Wregas Bhanuteja, sutradara muda berprestasi yang sebelumnya telah memikat penonton melalui karya “Photocopier.” Saya sendiri cukup terpukau akan film pendeknya yang berjudul “Prenjak,” yang sampai memenangkan Discovery Awards pada Cannes Film Festival tahun 2016. Disini, Bhanuteja menawarkan sebuah cerita orisinil yang dikemas apik, terutama dalam menyorot masalah media sosial di tengah situasi pandemi covid-19.
Membahas kisahnya, begitu banyak aspek yang menyelimuti film ini. Film ini membahas masalah depresi, yang membawa kita menjadi lebih aware dengan well-being pasca pandemi. Film ini juga menyuguhkan kreativitas para guru dalam membangun lingkungan belajar secara online, misalnya lewat kompetisi virtual background, ataupun perayaan upacara. Film ini juga menyentil perilaku masa pandemi, seperti penggunaan standing picture ketika melakukan konferensi berujung alasan sinyal yang kerapkali dilakukan para siswa badung. Yang paling menonjol adalah lautan cerita sosial media.
Mengulas bagaimana Ibu Prani mendadak tenar mengalahkan putranya, tentu jadi sorotan utama film ini. Yang membuatnya semakin runyam adalah bagaimana hadirnya ragam efek dari orang-orang disekitarnya. Ada yang menambah emosi, ada pula yang mendukung. Kesemuanya ini dikemas cukup apik dalam penceritaan “Budi Pekerti.” Sampai-sampai, saya pun keikut emosi ketika film ini membawa Ibu Prani ke dalam situasi yang amat tidak mengenakkan.
Baiknya, alur yang dikemas pun hampir terasa seperti apa yang kita saksikan dalam realita. Ada video klarifikasi yang ternyata malah tidak berhenti, dan malah menjadi bola liar. Netizen yang malah mencari masa lalu, sampai-sampai keikutsertaan ragam pihak yang ingin memanfaatkan momen tersebut. Serangkaian fenomena inilahnya yang seakan menampar penontonnya untuk kembali berpikir, ‘apakah saya sudah bijak dalam menggunakan sosial media saya?’
Salah satu keberhasilan “Budi Pekerti” adalah pada sosok Ibu Prani itu sendiri. Penampilan Sha Ine Febriyanti dalam film ini terasa sungguh powerful. Ia menghadirkan kita dengan sosok guru yang tegas, yang namun tenggelam dalam segala kesulitan yang tak henti mengitarinya. Saya pula menyukai beberapa adegan artistik dalam film ini. Misalnya, ketika Prani memainkan ring light dan menyajikan wajahnya dalam ragam warna pada adegan; ataupula ketika Ia tiba-tiba ikut menenangkan diri bersama muridnya di kolam kecil sekolah. Sungguh artistik!
Secara penyajian, “Budi Pekerti” hadir sebagai suguhan drama yang tidak kaleng-kaleng. Penyajian yang amat artistik, membawa bagaimana tata sinematografi, tata suara, sampai editing menjadi begitu unggul dalam menghidupkan ceritanya. Dan sekali lagi, latar kota Yogyakarta menjadi sasaran utama dalam menghidupkan kisah ini. “Tilik,” “Losmen Bu Broto,” “Ada Apa dengan Cinta 2,” dan kini “Budi Pekerti” yang memberi rasa lewat dialek jawa yang mewarnai dialognya.
Film yang memberi 17 nominasi pada Piala Citra ini memang menjadi bukti jikalau “Budi Pekerti” merupakan produksi serius yang mengesankan. Walaupun hanya berakhir dengan 2 kemenangan bagi Sha Ine Febriyanti dan Prilly Latuconsina, saya rasa kemenangan bagi keduanya cukup telak.
Pengalaman menonton yang dihadirkan “Budi Pekerti” terbilang luar biasa. Tak hanya menawarkan situasi yang tidak mengenakkan, segala rentetan peristiwa kerap membuat saya terus ber-refleksi layaknya murid yang terkena hukuman Bu Prani. Alhasil, film ini sendiri juga yang membuat penonton berpikir siapa yang sebetulnya bersalah.
Saya rasa, “Budi Pekerti” adalah sebuah tontonan cerdas! Pesan yang dihadirkan terasa amat reflektif. Penonton dapat menyimpulkan sendiri dan memahami betapa ganasnya dunia yang ada dalam genggaman kita. Mengutip ungkapan yang sering disebut: ‘kadang yang terlihat baik belum tentu baik dan yang terlihat buruk belum tentu buruk.’ Two thumbs up!