Berkembangnya pengetahuan, terutama studi mengenai transgender, baik male-to-female ataupun female-to-male tetap masih memberikan serangkaian kesan tabu bagi khalayak ramai. Kali ini, Sundance Film Festival tahun ini menghadirkan “Desire Lines,” sebuah dokumenter hybrid yang akan memberikan sebuah penegasan kembali akan seksualitas transmaskulin.
Film ini disutradarai oleh Jules Rosskam, seorang filmmaker yang sudah terfokus dengan tema transgender dari abad 21. Sebagai featured film kelimanya, Ia menghadirkan “Desire Lines” dengan bentuk kombinasi antara serangkaian wawancara, dengan cerita seorang Iranian American bernama Ahmad Arastood, diperankan oleh Aden Hakimi, yang tengah mencari status jati dirinya.
Pada versi cerita, Ahmad mengunjungi suatu kantor arsip LGBT, demi menemukan jawaban tersebut. Ia kemudian masuk ke dalam serangkaian video wawancara, yang merupakan cerita dari ragamnya queer, yang berkisah secara eksplisit tentang hidup mereka. Pada kantor arsip tersebut, Ia bertemu dengan Kieran, diperankan oleh Theo Germaine, yang merupakan salah seorang petugas disana.
Seiring dengan berjalannya cerita, Ahmad seraya masuk ke dalam masa lalu. Ia kembali ke masa kejayaan bathhouse sebelum masa berkembangnya AIDS. Walaupun tak akan terlalu menyentil topik besar lain ini, “Desire Lines” amat terfokus dengan bahasan utamanya: kehidupan para transgender.
Apa yang dihadirkan “Desire Lines” memang masih akan terasa amat tabu, mengingat tema yang diangkat seperti membangun kebingungan. Film ini akan mengangkat cerita tentang perempuan-perempuan yang memutuskan untuk menjadi laki-laki, atau dengan sebutan female-to-male, dan tetap menikmati seksualitas mereka dengan lelaki. Apa yang diceritakan “Desire Lines” tetap akan menegaskan bahwa trans ftm memang berbeda dengan homoseksual, walaupun secara perilaku seksual mereka tidak mengalami perubahan seiring dengan berjalannya waktu.
Sayangnya, “Desire Lines” terasa amat membosankan buat saya. Upaya kombinasi campuran yang dihadirkan tidak membangun suatu ketertarikan sama sekali. Begitupula dengan eksplorasi panas Rosskam, yang juga menyelipkan suasana panas suatu bath house dalam film ini. Upaya rekoleksi Ahmad terasa amat tidak berarti dan mengalir tak jelas.
Sebetulnya, tema yang dibahas film ini masih punya potensi. Sayang saja, menyaksikan kedataran live action-nya, dengan serangkaian narasi yang terasa membosankan kurang membangun daya tarik untuk menghabiskan sajiannya. “Desire Lines” terasa berhasil akan penegasannya, namun berujung kurang memikat.