Menyaksikan film ini berawal dari ketidaksengajaan melihat versi trailer-nya di Youtube. Berjudul asli ‘En helt almindelig familie’ mengangkat sebuah premis yang mengingatkan saya dengan keluarga Kardashian. “A Perfectly Normal Family” akan bercerita tentang usaha seorang untuk mendapatkan penerimaan kembali setelah keputusannya untuk merubah gendernya. Ajaib bukan?
Thomas, diperankan oleh Mikkel Boe Følsgaard, merupakan seorang Ayah dari sebuah keluarga yang terbilang bahagia. Ia hidup bersama istrinya, beserta kedua putrinya, Emma dan Caroline, yang diperankan oleh Kaya Toft Loholt dan Rigmor Ranthe. Suatu hari keluarga bahagia ini awalnya berencana untuk mengadopsi seekor anjing. Alhasil, kegiatan tersebut berakhir dengan ricuh. Sesampai di rumah, ketika mood semuanya menjadi tidak baik-baik saja, kedua orangtua mereka mengungkap sesuatu yang umumnya dibenci anak-anak: keputusan untuk berpisah.
Perpisahan tersebut ternyata menimbulkan pertanyaan. Sampai akhirnya Thomas menjelaskan bahwa Ia selama beberapa bulan terakhir telah menjalani tes untuk melakukan sex reassignment surgery. Singkat cerita, Thomas keluar dari rumah. Beberapa waktu kemudian, seluruh anggota keluarga berkumpul di rumah sakit. Emma, si bungsu yang tak sanggup dengan fakta ini menutup seluruh kepalanya dengan syal. Pada momen tersebut, sang Ayah muncul dan memperkenalkan diri sebagai Agnete, serta menceritakan tentang persiapannya yang sebentar lagi akan melakukan operasi di Thailand.
Film yang berasal dari Denmark ini dirilis pertama kali pada International Film Festival Rotterdam, sampai sebulan berikutnya muncul pada layar perak di negara asalnya. Film ini merupakan first long featured film dari Malou Reymann, yang sebelumnya lebih banyak berkecimpung sebagai aktris dan film-film pendek. Alhasil, film ini membawa karya pertamanya ini menjadi salah satu film terbaik di negerinya. Terbukti dari terpilihnya film ini ke dalam nominasi film terbaik pada ajang Bodil Awards.
Bicara tentang penyajiannya, film ini punya pengemasan yang menarik. Reymann menggunakan kombinasi shot periode kekinian yang digabungkan dengan shot dimasa kedua anak Thomas masih balita, yang seakan menjadi selingan bagi penonton dalam menggambarkan situasi kontras keduanya. Yang satu memperlihatkan ketika kedua anak tersebut masih dalam pengawasan penuh kedua orangtuanya, dan satunya menegaskan pada fase menuju kedewasaan.
Bicara plotnya, sebetulnya dengan premis yang sudah cukup menawan ini kurang terlalu dimaksimalkan. Sepanjang cerita, yang lebih banyak membahas konflik antara Emma dan Agnete terasa berjalan dengan rasa naik turun, tanpa memperjelas konflik Agnete dengan mantan istrinya. Sisanya, seperti bagian Caroline, ataupun keluarga besarnya, hanya mendapat porsi tipis-tipis di dalam ceritanya.
Akan tetapi, secara kualitas penampilan, saya amat menyukai aksi Kaya Toft Loholt sebagai Emma. Walaupun berbekal sebagai karakter seseorang anak yang introvert, sosok Emma yang sedang bergejolak cukup amat berhasil digambarkan Loholt. Begitupula dengan Følsgaard yang penampilan hadir dengan amat meyakinkan sebagai seorang transgender. Totalitas Følsgaard cukup terasa dan hanya mampu diimbangi dengan karakter Loholt.
Sebetulnya, saya cukup amat penasaran dengan motif Thomas, yang menjadi pemicu saya untuk mengikuti ceritanya. Ternyata, film ini tidak menjawab seperti pertanyaan saya. Secara keseluruhan, “A Perfectly Normal Family” menghadirkan suatu potret kehidupan keluarga modern, yang tentu sudah tidak menjadi bahasan tabu. Sebuah perspektif lain tentang sebuah penerimaan.