Ini adalah film kedua Alfred Hitchcock yang Saya tonton setelah “Rear Window”. “Psycho” adalah sebuah film misteri yang tidak hanya akan menggegerkan dan menakutkan, tetapi juga akan meneror penonton sepanjang film. Alfred Hitchcock membuktikan sebuah hal melalui film ini, yaitu lewat pengambilan setting, suasana, iringan musik, serta penggambaran yang tepat akan mampu menghadirkan suasana yang akan membuat penonton menarik napas dalam-dalam, walaupun sebetulnya hanyalah sebuah dramatisasi yang berhasil.
Film ini sejujurnya mengalir begitu saja. Sosok karakter utama, tidak akan disadari penonton karena baru akan muncul pada bagian pertengahan. Suatu hari, seorang wanita bernama Marion Crane, yang diperankan oleh Janet Leigh, membawa lari uang sebesar $40,000 dan melarikan diri keluar dari kota Phoenix, Arizona. Tergiur dengan uang kontan yang dipegangnya, membuat Ia harus meninggalkan kehidupannya, termasuk pekerjaan, keluarga dan kekasih gelapnya.
Pada bagian awal film “Psycho”, penonton memang akan sengaja difokuskan dengan sosok Crane. Crane yang sangat tampak canggung, dan sedang melarikan diri, memang sempat memberikan kesan yang misterius bagi beberapa orang yang ditemuinya. Hingga akhirnya Ia harus bertemu dengan sosok Norman Bates, yang diperankan oleh Anthony Perkins, yang merupakan seorang pria yang bekerja di Bates Motel.
Plot yang tidak terduga, berhasil memukau Saya. Sosok Marion Crane yang akan dikira Saya sebagai pemeran utama film ini, ternyata hanya akan berakhir pada bagian pertengahan film, ketika Ia dibunuh oleh sosok yang misterius. Adegan pembunuhan Crane menjadi sangat fenomenal, hingga saat ini. Crane yang saat itu sedang mandi dengan shower, tiba-tiba dihampiri sosok misterius yang membawa pisau dan menusuknya hingga tewas. Hitchcock memang sangat terampil untuk membuat sebuah koreografi adegan dan pengambilan shot sehingga menjadi sebuah memorable, tanpa harus memperlihatkan bagian-bagian tubuh Janet Leigh, seperti yang dilakukan oleh film-film saat ini.
“Psycho” cukup menarik. Walaupun terdapat sebuah adegan mandi, namun Hitchcock menyulapnya agar tidak terlihat seronok dan vulgar. Yang cukup menarik adalah ketika pengambilan gambar yang pada awalnya terfokus pada sebuah mata, namun lama-kelamaan ketika mulai menjauh, penonton akan melihat wajah dan tubuh Marion Crane yang tewas naas.
Pada awalnya, menyaksikan film ini seperti tidak ada sesuatu yang begitu istimewa. Mulai dari Hitchcock yang menjadi cameo saat Crane memasuki kantornya, Saya menganggap adalah sebuah ritual kebiasaan Hitchcock. Yang menarik dari sosok Marion Crane adalah ketika Ia tidak mampu untuk menutupi keadaan dirinya, karena pelarian diri dan uang tunai dalam jumlah besar, dan sebuah konflik diri sendiri. Janet Leigh memberikan sebuah penampilan yang tidak hanya bagus sebagai Marion Crane, tetapi juga meyakinkan. Kekuatiran yang digambarkan, tentu sejalan dengan beberapa adegan saat Ia merasa diikuti oleh orang-orang yang mencurigainya.
Ketika sosok Marion Crane hilang di pertengahan film, penonton akan difokuskan dengan sosok “Ibu” Norman Bates. Saat kematian Detektif Arbogast, secara langsung, penonton akan melihat sosok pembunuh berdarah dingin yang juga menghabisi nyawa Crane. Juga dengan sosok Norman Bates sebagai anak yang berusaha menutupi aib “ibunya”, dengan membuang mayat-mayat tersebut ke dalam sebuah lumpur yang berada tidak jauh dari motel mereka. Pengambilan gambar yang sangat sentimental menyatu dengan alunan horror Bernard Herrmann, yang membuat film ini menjadi sebuah klasik horror misteri yang fenomenal.
Kemudian penonton juga akan terfokus dengan usaha yang dilakukan Samuel dan Lily. Samuel merupakan kekasih Marion, dan Lily, merupakan adik Marion. Samuel dan Lily yang menjadi semakin penasaran setelah kehilangan kontak dengan Detektif Arbogast, memutukan untuk melakukan investigasi langsung di Motel Bates. Cukup menarik, saat adegan Lily yang menemukan mumi Ibu Norman di ruang bawah tanah rumah Norman, yang memberikan sebuah antiklimaks dari konflik cerita ini.
Film ini memberikan sebuah penyelesaian saat adegan di kantor polisi. Dimana selain Lily dan Samuel, penonton juga akan mengerti dengan apa yang selama ini sebetulnya terjadi. Sosok psikiater menjelaskan karakter Norman Bates yang merupakan seseorang yang berkepribadian ganda dengan konflik diri sendiri yang dialaminya. Selain itu, yang cukup menarik adalah ending yang cukup menjadi suatu hal yang sangat mengerikan, yaitu ketika Norman Bates melakukan adegan tertawa. Adegan yang sebetulnya tampak biasa berubah menjadi sebuah adegan yang cukup meneror penonton.
Memberikan sebuah penyelesaian ending yang tidak terduga, menjadi salah satu kekuatan cerita film ini. Saya menjadi semakin menikmati film ini ketika rasa penasaran Saya semakin meningkat dengan cerita yang semakin menjadi misterius. Kesan hitam putih film ini juga membuat suasana film horror semakin melekat. Coba bayangkan bila saat adegan sentimentil tetesan darah Crane yang bersatu dengan air pancuran shower terlihat dalam berwarna, tentu penggambaran tersebut tidak akan menjadi sesuatu yang tampak “mengerikan” dan terkesan biasa. Itulah mengapa kadang format hitam putih tetap diminati hingga kini.
Secara keseluruhan, film ini adalah sebuah hal yang tidak akan terlupakan dalam sejarah genre horror Hollywood. “Psycho” telah menjadi sebuah kesatuan dan telah menginspirasi beberapa film-film horror saat ini. Film ini dapat dikatakan sebagai salah satu film terbaik Hitchcock dari sekian film-film misterinya yang fenomenal. “Psycho” tidak hanya berhasil memberikan suatu nuansa yang berbeda, mencekam dan menegangkan, tetapi juga membuktikan untuk kesekian kalinya bahwa sebuah kisah misteri yang penuh dengan teror dapat menjadi sebuah film klasik horror yang melegenda.