Siapa sih yang enggak mencari kebahagiaan? Seharusnya, semua orang berhak. Tapi, kadang juga kita bisa terjebak ketika melakukan hal tersebut. Kali ini, saya akan membahas salah satu drama berjudul “Palm Trees and Power Lines,” yang berupaya menyentil dinamika kehidupan remaja, cinta, sampai kekerasan seksual dalam berpacaran.
Tokoh utama dalam cerita ini terfokus pada Lea, diperankan oleh Lily McInerny, yang hidup bersama Ibunya. Kehidupannya Lea terasa tak ada yang begitu spesial. Ia senang berjemur bersama sahabatnya, Amber, yang diperankan oleh Quinn Frankel, ataupun menghabiskan waktu dengan geng kecilnya. Tak ketinggalan, Ia pun punya hubungan friends with benefit Jared, diperankan oleh Timothy Taratchila, yang juga anggota geng itu.
Cerita berjalan lambat, hingga suatu ketika geng ini asyik makan di sebuah diner. Dari seberang meja, tampak pria yang sudah berusia 30-an, berambut cepak, mengamati Lea. Ketika Ia keluar dari sana, Ia memberikan wink, hingga membuat akhirnya Lea pun terpancing dengan panah asmara. Singkat cerita, Lea masuk ke dalam episode cinta yang mungkin tak akan pernah Ia bayangkan.
Cerita film ini ditulis oleh Jamie Dack, dan merupakan sebuah featured debut pertamanya. Sebetulnya, ini merupakan sebuah remake dari film pendek berjudul sama karya Dack, yang sempat menuai nominasi di Cannes Film Festival. Ini sedikit mengingatkan sama seperti “1985” ataupun “Thunder Road” yang juga berangkat dari sebuah shorts. Kisahnya kemudian ditulis bersama Audrey Finlay, dan berhasil menjadi sebuah featured film yang terbilang prestatif.
Bagaimana tidak, “Palm Trees and Power Lines” versi panjang ini berhasil meraih 4 nominasi pada Independent Spirit Awards untuk debut Dack dan penampilan cast-nya yang menawan. Film ini pun sudah malang melintang festival, semenjak dirilis di Sundance Film Festival 2022 lalu. Dack berhasil mendapatkan penghargaan sebagai Best Directing untuk Dramatic Award, sebelum akhirnya film ini sukses di Deauville dan Torino.
Bagi saya, “Palm Trees and Power Lines” memulai dengan menit-menit awal yang terasa datar dan sedikit membosankan. Film ini seakan membangun penonton untuk memahami konteks yang terjadi pada karakter Lea, tapi lewat adegan yang kadang kurang dibutuhkan. Film ini baru menjadi semakin menarik ketika secara perlahan ceritanya mulai membuka sosok Tom, diperankan oleh Jonathan Tucker, yang menjadi love interest Lea di film ini.
Sebetulnya, momen klimaks film ini adalah ketika bagian liburan, yang akan membawa penonton ke dalam situasi yang amat sulit untuk dilihat. Mungkin, ini bisa jadi akan memberikan trauma pada mereka yang pernah mengalaminya. Tanpa bermaksud membocorkan plotnya, yang lebih membuat saya geleng-geleng adalah ketika film ini menutup ceritanya dengan konklusi yang sama sekali tidak saya bayangkan. Well, itu pilihan Lea.
Dari segi penampilan, Lily McInerny menghadirkan sebuah penampilan breakthrough yang amat berani dan cukup totalitas. Memerankan karakter berusia 17 tahun yang dituntut untuk memeragakan berbagai jenis kegiatan seksual didalamnya, berhasil ditaklukannya. Yang paling saya sukai adalah momen ketika Ia berbicara melalui ekspresi dan tangisannya, pada karakter yang sudah tidak punya kendali atas dirinya sendiri.
Pada sisi lain, penampilan Jonathan Tucker sebagai si bangsat dalam ceritanya patut dipuji. Tucker bisa dengan mudah mengalihkan penonton menyaksikan diriniya memanipulasi Lea yang jauh lebih muda darinya, sebelum akhirnya kejutan itu menyentil kita semua. Sampai-sampai rasanya ingin memaki karakternya yang amat brengsek.
Tapi, namanya juga cerita. “Palm Trees and Power Lines” tahu betul bagaimana untuk membawa penonton tidak terlena dengan cerita yang seperti biasanya. Seusai melihat endingnya, saya begitu menyadari bagaimana sebetulnya karakter Lea. Cuma, sekali lagi, itu pilihan Lea dan memang free will-nya.
Secara penyajian, saya merasa “Palm Trees and Power Lines” terasa begitu minimalis. Film ini memang terasa handal lewat penyampaian drama terasa hard to watch. Tapi, sebetulnya, dialog-dialog singkatnya terasa kurang berarti. Belum termasuk dengan minimnya penggunaan musik disini, yang lebih terasa cuma sebagai penghubung adegan satu ke adegan lainnya. Film ini baru terasa unggul dalam menyampaikan emosi, itupun yang baru amat terasa ketika sudah berasa di titik klimaks film ini.
Jika bersetting di Indonesia, tentu saja “Palm Trees and Power Lines” tidak akan berakhir seperti itu. Yang pasti, suasana drama yang dihadirkan terasa begitu powerful dan menggertak hati terdalam saya. Sayang saja, semuanya baru dirasakan ketika film ini sudah mau menuju konklusi. Yang paling penting, ini adalah sebuah featured debut dan performance yang patut diperhatikan.