Dreamy and dreary. Dua kata yang pas untuk mendefinisikan film “Dear David”. Berawal dari imajinasi yang bergumul di kepala, lalu disalurkan oleh jemari yang menari di atas papan ketik, hingga akhirnya tertumpah di suatu wadah publik bernama media sosial.
Film ini berkisah tentang Laras (Shenina Cinnamon) yang seringkali berimajinasi dan menulis cerita sensual tentang teman sekolahnya, David (Emir Mahira), sampai suatu ketika, hal itu menjadi persoalan besar setelah tersebarnya cerita-cerita itu ke seisi sekolah.
Pada awal film, saya sebagai penonton dibuat terkesan dengan penggambaran imajinasi Laras. So dreamy. Mulai dari palet warna yang disuguhkan, properti dan set artistik, sampai ke efeknya. Yah, mungkin ada beberapa editing yang terlalu kelihatan dan terkesan tidak smooth, tetapi saya tetap menikmati bagaimana Lucky Kuswandi selaku sutradara menyuguhkan kesan imajinatif untuk penontonnya.
Yang saya tangkap dari film ini pada awalnya, mungkin “Dear David” ingin mengangkat isu yang sedang hangat belakangan ini, yakni pelecehan seksual, mental health, freedom, LGBTQ+, dan alter ego seseorang—yang mana, pada film ini, Laras adalah siswa berprestasi penerima beasiswa di sekolahnya, tetapi ia juga memiliki sisi gelap yang tiada diketahui siapa pun. Sampai sini, menurut saya pondasi ide cerita “Dear David” ini sudah cukup menarik, apalagi jika dilihat dari trailernya.
Tetapi, seiring durasi berjalan, saya tidak berhenti mengerutkan dahi. One word, weird. Laras memang tidak menyebarkan cerita itu, tetapi bukan berarti Ia tidak melecehkan David secara seksual. Entah bagaimana, “Dear David” menurut saya menciptakan standar ganda yang teramat. Sosok Laras sebagai perempuan di sini seolah “diperbolehkan” saja untuk menulis hal-hal kotor dan sensual tentang orang yang disukainya. Namun, bagaimana jika David yang melakukan itu terhadap Laras? Laras juga bersembunyi cukup lama sampai mengorbankan banyak orang, termasuk David-nya sendiri. Padahal David merasa cukup terganggu dengan tulisan tentangnya di sekolah, tetapi ia tidak menekan Laras dengan tegas untuk melakukan sesuatu yang bisa mengembalikan nama baiknya. Aneh.
Yah, mungkin selayaknya video porno yang tersebar, film ini ingin menegaskan bahwa yang seharusnya dijerat adalah penyebarnya. Alright, sampai sini saya mengerti. Tetapi, persoalan ini menurut saya sendiri juga sangat berbeda dengan kasus yang telah saya sebutkan. Laras memang menulisnya secara anonim dan hanya dijadikan draft, tetapi bukankah Ia ikut andil dalam menjadikan David sebagai objek seksual? Apa bila kita melakukannya diam-diam dan tidak diketahui orang lain namanya bukan pelecehan seksual? Menurut saya sama saja, perbedannya hanya rahasia atau tidak. Dan lagi, Laras tidak meminta maaf secara tulus dan menormalisasi perbuatannya sendiri atas dasar ‘seorang remaja yang memiliki hawa nafsu dan rasa suka terhadap seseorang’.
Permasalahan pelecehan seksual Laras terhadap David cukup ramai diperbincangkan di media sosial setelah “Dear David” secara resmi rilis di Netflix. Bahkan, aktor Emir Mahira selaku pemeran karakter David turut angkat suara dan menyatakan pendapat pribadinya bahwa Laras tidak melecehkan David. Tetapi, mungkin Emir lupa, bahwa ada scene di mana Laras secara terang-terangan menjadikan David sebagai fantasinya. Jelas, ini menciptakan standar ganda yang telah saya ungkit tadi. Dari sini, saya bertanya-tanya, apakah aktornya sendiri mempelajari dan mendalami topik dari film yang Ia mainkan sendiri?
Hal yang menurut saya tidak bisa dimaafkan adalah credit scene. Pada adegan itu terlihat jelas bahwa film ini seolah-olah menormalisasi sexualizing dan parahnya lagi, pelakunya adalah ibu dari Laras. Entah apa yang dimaksudkan dalam adegan ini, tetapi menurut saya lebih baik di-remove karena dapat menimbulkan kontroversi. Perlu diingat lagi, penonton memiliki pemikiran berbeda. Mungkin akan ada yang memiliki pikiran yang sama dengan saya, mungkin juga ada yang malah membiarkan hal itu terjadi. Yang bisa diharapkan hanya semoga tidak ada yang mencontoh tentang adegan menseksualisasi, baik dari dan terhadap perempuan ataupun laki-laki.
Selain itu, menurut saya akting para pemain di sini memang cukup bagus dan stick to character. Rasanya kualitas akting para aktor yang turut menghiasi film “Dear David” ini tidak perlu dipertanyakan lagi. Tetapi, jika melihat ke belakang, akting Shenina Cinnamon terkesan datar atau mungkin memang ia adalah spesialis dari karakter yang tergesa-gesa jika berbicara, suka menentang, dan lainnya yang serupa. Kita bisa melihat contoh ini di serial “I Love You Silly” ataupun film “Photocopier”. Acting Caitlin North Lewis yang berperan sebagai Dilla di film ini juga terkesan sama dengan penampilannya pada film “Paranoia”.
Menurut saya pribadi, film ini merupakan menjadi salah satu yang bisa menurunkan kualitas dari film yang diproduksi oleh Palari Films. Setelah sukses dengan film “Posesif”, “Aruna dan Lidahnya”, “Ali & Ratu Ratu Queens”, dan “Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas”, film “Dear David” adalah produk yang dapat menurunkan ekspektasi penonton terhadap produksi film selanjutnya di bawah naungan Palari Films.
Yah, meskipun begitu, saya akui sinematografi film “Dear David” cukup memanjakan mata. Terkadang warm, terkadang juga memberi kesan cool. Penonton seakan dimanjakan oleh pengemasan sinematografi. Dan lagi, lagu-lagu yang disuguhkan untuk menjadi backsound terasa pas dengan adegan yang sedang berlangsung pada saat itu.
Mungkin, di samping pemaparan di atas, memang “Dear David” hanya bertujuan sebagai hiburan, dan jika memang tujuannya seperti itu, semua cerita yang ada di dalamnya sudah pas, dan kritisi saya terhadap unsur naratif “Dear David” menjadi tidaklah penting. Tetapi, kita juga perlu ingat bahwa film selain menjadi hiburan, juga menjadi wadah edukasi baik secara akademis maupun moral.