Saat kecil saya bermimpi untuk pergi ke luar angkasa dan menggilai teori astronomi. Jantung saya berdebar ketika mengetahui bahwa ada potensi kehidupan di Mars. Beranjak dewasa, setelah menonton ragam teori konspirasi malah membuat saya berpikir. Sepertinya saya hanya bosan dengan rutinitas sebagai anak sekolahan saat itu. Luar angkasa dan misterinya menjadi sebuah distraksi dan harapan bagi saya untuk keluar dari lobang kebosanan. Mungkin, hal itu juga yang mendorong Gabriel Martins untuk kembali menyutradarai dan menulis sebuah film dengan judul yang memiliki kesan amat futuristik, “Mars One.”
Meskipun film ini berjudul “Mars One”, Martins tidak banyak menyinggung terkait proyek ambisius ini, melainkan menajamkan latar waktu dan juga pengaruh ideologi Amerika terhadap Brazil saat itu. “Mars One” bagaikan sebuah metafora akan kolonialisasi negara superior terhadap negara berkembang, tetapi juga sebagai sebuah visualisasi dan buah pemikiran bagaimana keluarga middle class memandang dunia dan realitanya.
“Mars One” diambil pada latar 2018 ketika Bolsonaro memenangkan pemilu. Hal ini menjadi kemenangan presiden yang tidak berasal dari partai butuh dan jauh dari konservatif setelah bertahun lamanya. Selain itu, Bolsonaro menjadi presiden yang disebut sebagai pendukung kanan garis keras dan ideologi liberalisme Amerika, periode transisi yang menantang bagi komunitas rentan dan termarjinalkan.
Berkelana ke negeri yang dijuluki The City of God, Brazil, kita akan diperkenalkan dengan sebuah keluarga middle class kulit hitam yang hangat dan memiliki ceritanya masing-masing. Mereka berusaha untuk bertahan ditengah gempuran krisis politik dan ekonomi. Tercia (Rejane Faria) adalah seorang ibu rumah tangga dan pembersih keliling yang memiliki paranoia. Ia meyakini bahwa kehadirannya hanya membawa kesialan bagi keluarga kecilnya. Wellington (Carlos Fransisco), seorang janitor, mantan pemabuk, dan penggila sepak bola Brazil yang begitu loyal terhadap pekerjaan dan keluarganya. Mimpinya adalah menjadikan si bungsu Deivinho (Cicero Lucas) pemain bola nasional, meskipun sebetulnya, Deivinho ingin pergi mengikuti misi ke Mars di tahun 2030 mendatang. Terakhir ada si anak sulung, Eunice (Camilla Damiao), seorang mahasiswi hukum yang mendambakan kebebasan serta tengah menjalin asmara dengan Joana (Ana Hilario) meskipun orang tuanya belum mengetahui identitas orientasi seksualnya.
Sangat berbeda dengan kesan futuristik pada judul, sekilas “Mars One” tampak seperti layaknya film drama keluarga yang sederhana. Tetapi jika kita lihat lebih dekat, ada banyak hal yang ingin Martin sampaikan melalui bahasa visual. Mimpi Deivinho untuk bergabung dengan misi Mars One bukan sekedar idealisme seorang anak kelas bawah semata, melainkan sebuah simbol akan harapan untuk pergi keluar dari realita. Hal yang sama juga terdapat pada adegan ketika Eunice bercinta dengan kekasihnya, Joana, di sebuah hunian apartemen eksklusif yang tentunya tidak bisa ia miliki. Martin secara berani mengangkat isu LGBT+ pada karakter Eunice, begitu juga dengan dinamika antara hubungannya dengan orang tua serta Joana yang merupakan anak dari keluarga liberal dan berada. Hal ini menjadi menarik jika dikaitkan dengan latar waktu film yaitu saat Bolsonaro menjadi presiden, karena pada saat itu secara hukum ia menentang pernikahan sesama jenis.
Adegan menarik lainnya juga pada saat Tercia di-prank oleh sebuah program stasiun Televisi yang dimana didominasi oleh kulit putih. Sepintas. kita akan melihat hal ini menjadi sesuatu yang lumrah. Well, it’s a prank. It’s supposed to be a joke, right? Well, not every joke is a joke. Martin sepertinya punya intensi lain dengan menunjukkan trauma dan kegelisahan yang dialami Tercia akibat prank bom bunuh diri yang dilakukan kepadanya. Lebih dalam lagi, Martin berusaha menggambarkan jarak, prejudism, dan perspektif yang terbangun antara komunitas kulit hitam dan kulit putih, dimana nyawa minoritas tampak begitu murah untuk menjadi lelucon belaka.
Martin juga berusaha menghadirkan isu dinamika keluarga yang dekat dengan kita. Seperti halnya dinamika antara Wellington dan keluarganya, dimana ia sebagai kepala keluarga kerap memiliki kontrol yang kuat atas keluarga. Dinamika Wellington dengan kedua anaknya, khususnya Eunice menarik untuk disimak! Tetapi hal lain yang menarik ditilik adalah tentang bagaimana Martin mencoba untuk memberi pesan yang esensial terhadap kedua karakter perempuan, Eunice dan Tercia. Martin secara kuat menghadirkan keseimbangan feminisme dalam “Mars One.” Martin juga secara kuat berhasil menyampaikan kultur Brazil serta penggambaran dinamika keluarga Wellington, dan tekanan kehidupan keluarga kelas menengah kebawah yang menurut saya menjadi lem yang memperkuat film.
Namun terlepas dari kekuatan reasoning setiap karakter, cerita yang disuguhkan terkesan tanggung. Banyak sekali yang dapat ditajamkan seperti ketakutan dan resolusi trauma Tercia ataupun proses penerimaan seksualitas Eunice yang seolah terjadi begitu saja, resolusi konflik keluarga yang begitu cepat dan terlalu utopis tergantung bagaimana sudut kita memandang sebuah dinamika keluarga. Akhirnya, resolusi dan beberapa adegan yang cukup penting menjadi terkesan terburu-buru dan loncat sana-sini, tanpa ada pendalaman lebih terhadap konflik dan emosi. Untungnya, chemistry serta akting setiap cast terlihat begitu alami dan hidup! Carlos Francisco and Camila Damiao are brilliant actors. Also, Rejane Faria and Cicero Lucas with their microexpressions added more spice to the scenes.
Dalam segi sinematografi, Leonardo Feliciano tidak terlalu banyak menggunakan camera movement ataupun shot yang berarti, tetapi mampu secara efektif membawa kita mengenal karakter dengan lebih dekat. Seperti pada setiap konflik adegan ataupun gejolak emosi yang dirasakan karakter Wellington, kamera akan selalu berubah menjadi shaky. Dengan pemilihan tone yang hangat, kamera pun terasa organik dan raw. Meskipun dalam beberapa bagian dapat diberikan aksentuasi atau penekanan untuk memberikan kesan mendalam lagi. Hal ini karena Martin tampaknya cenderung menuangkan segala pikirannya dalam dialog antar karakter. Dengan durasi hampir 120 menit, beberapa bagian sejatinya sudah mampu disampaikan dengan menggunakan visual tanpa unsur dialog sekalipun. Sehingga beberapa adegan kurang efektif dan bertele-tele. Sayang sekali karena film ini nyaris tampak seperti sebuah sinetron dengan potensi film indie.
Film berbahasa Brazil ini memiliki komposisi musik yang mumpuni, penempatan yang efektif serta minimalis. Dengan pengolahan tema dan harmoni yang sederhana, musik yang didominasi dengan denting piano, woodwind, dan strings memberikan efek whimsical, light, serta secara efektif memperkuat sentuhan sentimental. Selain itu, pemilihan karakteristik orkestra sebagai konsep latar musik juga berhasil meningkatkan nilai dramatisir tanpa membuatnya terkesan seperti soap drama. Tentunya kita juga diselingi beberapa lagu pop Brazil.
Overall, “Mars One” lebih dari sekedar film tentang impian seorang anak yang ingin pergi mengikuti misi untuk mengkolonisasi planet Mars di tahun 2030. Lebih dari itu, Mars One adalah sebuah teleskop untuk menilik kehidupan keluarga “middle class” kulit hitam dan dinamika kehidupan yang dihadapinya oleh karena sistem dan konstruksi sosial yang ada.
So, watch it or skip it? Kalau Anda menyukai film dengan konsep drama keluarga atau ingin coba bereksplorasi dengan film non-Hollywood, then “Mars One” is definitely a must try. Film ini cocok dijadikan sebagai teman untuk menghabiskan waktu akhir pekan. Tetapi jika kamu kurang menyukai film dengan konflik keluarga, then you’ll find yourself predicting every scene or switching to another film in the first half.