Semenjak disahkannya Individuals with Disabilities Education Act (IDEA) oleh Presiden Clinton pada tahun 1997, ternyata belum bisa menjadi solusi. Masih banyak para penyandang disabilitas yang berjuang demi kesetaraan pendidikan. Dalam versi yang paling personal, “Forget Me Not: Inclusion in the Classroom” akan mengajak kita untuk mengikuti perjuangan kedua orang tua Emilio demi mendapatkan pendidikan yang setara.

Film dimulai dengan membawa penonton ke tanggal 3 Mei 2016, ketika Hilda Bernier sebentar lagi akan melakukan persalinan. Ia pun melahirkan putra pertamanya, yang kemudian diberi nama Emilio Andres Bernier. Akan tetapi, seusai dengan perjuangan momen hidup mati tersebut ditambah dengan fakta baru. Dokter dan perawat yang membantu persalinan menginformasikan bahwa kondisi Emilio menunjukkan jika bayi mungil ini mengidap down syndrome.

forget me not
Courtesy of ROTA6, Cinema Libre Studio © 2021

Kenyataan pahit ini akan dilanjutkan dengan menghadirkan serangkaian rekaman perkembangan Emilio. Bayi mungil ini, tumbuh dan berkembang, sampai singkat cerita telah memasuki pada usianya yang kedua. Pada masa ini, Emilio mendapatkan pendidikan khusus. Ia melakukan serangkaian terapi sebelum akhirnya Ia akan mendapatkan IEP menjelang usia yang ketiga.

IEP atau Individualized Educational Program, merupakan sebuah program wajib yang dilakukan seluruh penyandang disabilitas dalam menentukan bentuk pendidikan yang akan diterimanya. Pada versi yang paling ideal adalah mendapatkan kesempatan pendidikan yang inklusi, yang berarti bersekolah bersama-sama anak-anak yang bukan penyandang disabilitas. Pada versi yang paling dihindari adalah 12-1-1, yaitu Ia mendapatkan pendidikan dalam kelas khusus bersama penyandang disabilitas lainnya.

forget me not
Courtesy of ROTA6, Cinema Libre Studio © 2021

Mungkin sekilas kita akan berpikir bahwa ketika disabilitas mendapatkan kelas spesial yang khusus akan terasa baik, karena mereka mendapatkan pendidikan yang lebih terfokus. Pada dasarnya, ini yang menjadi masalah. Thomas Hehir, yang pernah menjadi direktur pada US Department of Education’s Office of Special Education Program (1993-1999) mengatakan bahwa hasil penelitian menunjukkan bahwa pendidikan yang inklusi akan memberikan hasil yang lebih baik. Para penerima pendidikan inklusi, termasuk penyadang disabilitas, akan menunjukkan pencapaian yang lebih tinggi, bila dibandingkan dengan mereka yang mendapatkan kelas khusus.

Semangat inilah yang sebetulnya akan diangkat dalam film ini: semua orang layak mendapatkan pendidikan yang inklusi. Belum sampai disitu, sutradara film ini, Olivier Bernier, akan membawa penonton ke dalam potret Letchworth Village, yang dulunya merupakan institusi pendidikan khusus penyandang disabilitas, dan kini terbengkalai semenjak menjadi bukti kekerasan semenjak diungkap oleh reporter Geraldo Rivera. “Forget Me Not” memang akan benar-benar membuka mata. Film ini akan menyertakan beberapa cuplikan yang memperlihatkan bagaimana institusi ini benar-benar tidak memperhatikan para penyandang disabilitasnya.

forget me not
Courtesy of ROTA6, Cinema Libre Studio © 2021

Akan tetapi, penonton juga akan diajak membuka mata, sekaligus membuktikan komentar Thomas Hehir dari sebuah sekolah bernama Dr. William W. Henderson K-12 Inclusion School. Sekolah ini memperlihatkan bagaimana inklusi yang dimaksud memang bukan sekedar ucapan abal-abal. Malahan, menurut para guru, keberadaan inklusi menjadi sebuah tantangan untuk menjadi guru yang lebih baik.

Cerita Emilio dalam “Forget Me Not” tidak hanya akan jadi satu-satunya. Penonton akan mendengar serangkaian kisah, mulai dari Kim Williams, yang mencari hak putranya Wesley, agar mendapatkan lagi fasilitas pendidikan yang inklusif. Ataupun Christian Killoran, seorang lawyer yang berupaya agar putranya Aiden dapat masuk public middle school. Begitupula dengan Sabrina, seorang disabilitas yang kini menjadi mahasiswa dan bercita-cita menjadi seorang professor.

forget me not
Courtesy of ROTA6, Cinema Libre Studio © 2021

Saya percaya, Emilio hanyalah satu dari sekian banyak anak penyandang disabilitas yang mengalami segregasi di Amerika. Upaya untuk mendapatkan pendidikan yang setara ternyata hanya terkesan dilabeli dengan amanat undang-undang semata. Realitanya, setiap orangtua harus berjuang, bahkan harus melakukan perlawanan legal demi mendapatkan hak tersebut.

Terlepas dari Anda yang setuju atau tidak, tapi saya sepakat dengan film ini. “Forget Me Not” benar-benar akan membuka mata para penontonnya. Saya menyukai bagaimana film ini dapat menularkan perasaan para orangtua terhadap segregasi yang terjadi. Salah satunya adalah ketika Hilda Bernier menangis sambil membaca hasil evaluasi mengenai Emilio. Baginya, segala pencapaian Emilio adalah sebuah selebrasi, ketimbang membandingkan dengan anak yang lain.

forget me not
Courtesy of ROTA6, Cinema Libre Studio © 2021

Berdurasi 100 menit, “Forget Me Not” benar-benar akan menyentuh penonton lewat realita pahit ini. Upaya Olivier Bernier untuk mendokumentasikan segala hal yang berangkat dari sisi personalnya ini, berhasil dirangkai menjadi sebuah tontonan yang akan membuka mata, hati dan pikiran kita tentang penyandang disabilitas. Film ini sangat powerful, dan akan menguras emosi kita. Usaha untuk mendapatkan pendidikan yang inklusi memang masih belum berakhir, dan ini butuh bantuan seluruh pihak, termasuk kita.

Forget Me Not: Inclusion in the Classroom (2021)
100 menit
Documentary
Director: Olivier Bernier
Writer: Mariano Llinás, Martin Mauregui, Santiago Mitre
Full Cast: Olivier Bernier, Hilda Bernier, Emilio Bernier, Lori Podvesker, Sara Jo Soldovieri, Thomas Hehir, David H. Rose, Kim Williams, Christian Killoran
#639 – Forget Me Not: Inclusion in the Classroom (2021) was last modified: November 13th, 2022 by Bavner Donaldo