Kali ini, saya akan mengajak Anda ke dalam salah satu tontonan keluarga, yang baiknya tidak ditonton sekeluarga. It’s a hard-to-watch, honestly. Filmnya berjudul “Bo Gia” aka “Dad, I’m Sorry,” sebuah film dari Vietnam yang menceritakan tentang kisah sebuah keluarga. Akan tetapi, sekali lagi, perhatian-perhatian! Film ini sama sekali bukan untuk general audiences.
Premis ceritanya, akan membawa kita ke dalam kehidupan kota Saigon masa kini. Tapi, kita tidak berbicara dari sudut pandang yang mewah. Kita akan terfokus ke sebuah gang sempit, yang ramai, dimana salah satu jalannya dihuni oleh keluarga besar yang hidup terpisah-pisah. Ya, sedikit mengingatkan saya dengan “Hillbilly Elegy.”
Keluarga besar ini terdiri dari 4 orang kakak-beradik, yang terlihat cukup kasar, namun sebetulnya mereka itu akur. Sosok pusat kita adalah Ba Sang, diperankan oleh Tran Tranh, seorang pria tua yang hidup dengan kedua anaknya. Sehari-hari Ia membawakan karung-karung beras dagangan saudarinya.
Lingkungan mereka pun, kurang lebih cukup serupa dengan bagaimana penggambaran kumuhnya Jakarta. Majisnya, dalam film ini penggarapan cerita dikemas dengan ekstrim. Komedi bagian awal menghadirkan suasana kekerasan di mana-mana yang memang tidak akan cocok buat para feel good seeker. Jangan kaget sama kekerasan perempuan ataupun aksi premanisme yang gak nanggung-nanggung.
Konflik utama cerita ini sebetulnya adalah mengenai Ba Sang dan Woan. Woan, diperankan oleh Tuan Tran, adalah putra Sang yang sudah dewasa, yang sebetulnya diam-diam merupakan seorang Youtuber. Woan juga kerapkali membuat ulah. Ia sibuk membuat rumah menjadi kolam renang demi sebuah konten Youtube-nya. Yup, salah satu tragedi dari para milenial di masa ini.
Terlepas hidup dengan Ayahnya di rumah yang kadang kalau hujan deras, lantai tergenang, Woan kerapkali berupaya untuk meningkatkan derajat keluarganya. Ia membeli baju mahal yang harganya 2x dari gaji Ayahnya, yang sayangnya modelnya sama sekali tidak disukai sang Ayah. Malang memang. Ia pun sampai-sampai berupaya memindahkan keluarga kecilnya untuk hidup di apartemen yang mewah. Namun, kisah film ini engga akan se-receh dan semudah itu, ferguso.
“Bo Gia” akan membawa penonton ke dalam alur plot tragedi tanpa jeda, layaknya menyaksikan thriller “Train to Busan.” Akan tetapi, dengan gaya cerita yang maskulin, seiring dengan berjalannya cerita, akan membawa Anda ke sebuah tontonan hangat tentang hubungan Ayah-Anak.
Kalau bicara drama tentang Ayah yang bertema mellow, ya tentu ada banyak. Sebut saja “Sabtu Bersama Bapak,” “A Taxi Driver,” sampai “Ode to My Father.” Kalau bernuansa komedi, Indonesia punya “Si Mamad” ataupun “Cek Toko Sebelah.” Tapi, kalau dengan balutan komedi ekstrim? Mungkin akan cukup langka. Disinilah keunikan “Bo Gia.” Dari segala upaya penggambaran temanya, film ini akan memperlihatkan kesemuanya itu se-ekstrim mungkin. Analogi hemat saya, jika Anda pernah menyaksikan “Hello Ghost,” film tersebut punya komposisi seimbang plot yang tak disangka.
Gilak! Saya terheran-heran bagaimana sebuah comedy tragedy ini bisa membuat saya bercucuran air mata sampai penghujung kisahnya. Pembawaan ceritanya sebetulnya tidak cengeng, banyak didominasi dengan dialog bad mouthing-nya ibu-ibu komplek plus saudara-saudara jahat. Akan tetapi, film ini selalu menendang emosi dengan pol ketika menyentuh aspek konflik utama.
Secara penyajian, kalau dilihat sepintas, apa yang ditawarkan film ini memang cukup standar, namun keunikan dan kualitas dari ceritanya ternyata akan memberi bekas. Tak heran, di negeri asalnya film ini berhasil menembus Box Office, sekaligus menjadi perwakilan Vietnam pada kategori Film Berbahasa Asing Terbaik di Academy Awards mendatang.
Kombinasi karakter keduanya, antara Sang dan Wuan juga digali dengan cukup mendalam. Jujur, cara pandang saya mungkin akan sangat serupa dengan Wuan. Akan tetapi, sudut pandang Sang juga membuka mata dibalik kebaikan hatinya yang selalu punya kepedulian. Ini sebuah film nyentrik yang berbobot. One of the best father-son relationship movie ever!