Kehadiran Pixar terbilang cukup konsisten akhir-akhir. Sebut saja, semenjak “Coco” hingga “Soul” kemarin, studio yang berfokus memproduksi animasi ini selalu langganan paling tidak mengamankan satu slot untuk Best Animation Feature di Oscar. Pada produknya terbarunya, Pixar menghadirkan “Luca,” satu sajian terbaru yang memperkaya budaya di dalam kreasi dunia Disney.
Film ini bersetting di Portorosso, sebuah kota nelayan di tanah Italia. Suatu ketika, dua orang nelayan mendapatkan penampakan seekor sea monster, yang kemudian memberikan ancaman bagi penduduk sekitar. Lantas, dibuatlah sayembara untuk mencari sea monster tersebut lewat selebaran-selebaran di penjuru kota.
Karakter utama kita yang menjadi judul film ini, disuarakan oleh Jacob Tremblay, merupakan seekor sea monster yang hidup di bawah laut. Sehari-harinya, layaknya gembala di darat, Ia menjaga school of fish peliharaan keluarganya. Suatu ketika, Ia menemukan beberapa benda unik yang sepertinya dijatuhkan oleh ‘monster darat’ aka manusia. Benda tersebut, kemudian Ia sisihkan dibalik batu, guna untuk dipelajarinya.
Tapi, Ia kemudian berkenalan sea monster yang lebih tua darinya, bernama Alberto Scorfano, yang disuarakan oleh Jack Dylan Grazer. Alberto ternyata merupakan kolektor dari barang-barang tenggelam. Ia mengambil puing-puing itu dari dasar laut, dan membawanya ke sebuah runtuhan benteng yang dikenal dengan sebutan Isola del Mare. Luca kemudian mengikuti Alberto, karena Ia merasa Alberto mengambil barang yang seharusnya miliknya. Disinilah titik awal persahabatan keduanya dimulai.
Alberto memperkenalkan Luca dengan kehidupan darat. Dengan sangat shock, Luca kaget ketika sea monster sepertinya dapat bertransfigurasi menjadi manusia. Dari situ, Ia belajar banyak hal di Isola del Mare. Sampai akhirnya Ia mengambil kesimpulan terlalu dangkal: Luca harus bisa memiliki sebuah Vespa!
Sebagai featured film Pixar ke 24, “Luca” amat berbeda dengan apa yang dibawah “Soul.” Dari segi cerita, penggambaran fantasi terasa cukup menarik, walaupun agak sedikit mengingatkan saya dengan “Onward.” Bedanya, disini perpaduan dengan nuansa Italia yang identik dengan rumah-rumah tinggi, pasta, dan pusat kota yang selalu ada air mancur ini jadi sajian mencuci mata yang melegakan. Apalagi, ini ditambah dengan kualitas animasi Pixar yang sudah tidak perlu diragukan. Segala aspek yang dikemas detil serupa dengan aslinya menjadi poin plus dari film ini.
Kembali ke plot, dengan sajian yang berdurasi kurang dari 2 jam, film ini akan terbilang menghidangkan cerita yang sebetulnya tidak punya plot istimewa. Hampir serupa dengan kartun pendulu, formula yang dipakai dimulai dengan konflik diri sendiri yang ujung-ujungnya akan berbekal happy ending. Walaupun demikian, fokus saya bukan ke ceritanya sih. Saya amat menikmati bagaimana penggarapan ceritanya yang amat berkualitas.
Selain detil animasi yang meyakinkan, faktor-faktor yang memikau saya adalah penggambaran setting dengan pengemasan musik di film ini. Aransemen musik yang digubah Dan Romer, terasa membawa kita menyatu dengan setting yang diangkat. Masih terlalu dini, cuma dugaan saya, bisa saja Romer masuk ke nominasi Academy Awards mendatang. Gaya musiknya sedikit mengingatkan saya dengan Alexandre Desplat di “Fantastic Mr. Fox.”
Dari titipan pesan moral film ini, saya cukup menyukai gaya Alberto yang mampu menyulap Luca yang bukan seorang pengambil risiko untuk berani. Tapi, bila fokus pada Luca, saya menyukai semangatnya, untuk tidak pernah mau cepat kenyang, dan antusias untuk terus mengeksplorasi. Ini bisa jadi suatu reminder bagi kita-kita yang kadang sudah puas, atau memutuskan untuk berlindung saja dibalik kerangkeng yang nyaman. Dan akhirnya, keputusan Luca untuk keluar dari kerangkeng membawanya untuk pergi ke tempat yang lebih tinggi yang mungkin Ia tidak pernah rencanakan. Akhir kata, dibalik dari semua pesan-pesan terdalam kartun-kartun produksi Disney, tontonan yang satu ini amat memanjakan mata. Visually stunning!