Apa yang terjadi ketika Disney mengangkat salah satu villain-nya untuk berada sebagai karakter utama, dan menayangkan sebuah kisah dari sudut pandang yang berbeda? Ya, itulah perbedaan film “Maleficent” dengan animasi-animasi Disney lainnya. Penonton akan menyaksikan kembali “The Sleeping Beauty” lewat sebuah pengembangan kisah yang berbeda, dari sudut pandang Maleficent.
Semenjak dari tahun 2010, informasi mengenai film ini sudah cukup meluas. Apalagi ketika diperkuat melalui salah satu teaser yang menampilkan Angelina Jolie dengan kostum Maleficent. Awalnya, saya agak sedikit ragu tentang bagaimana Disney bisa untuk menjadikan sebuah animasi klasik menjadi versi live action. Ternyata, film yang berdurasi hanya 97 menit ini menampilkan sebuah kombinasi antara live action yang masih dicampur dengan sedikit animasi, walaupun tidak se-ekstrim “Beowulf.”
Film ini ternyata akan membuka pandangan penonton, dan sejalan dengan Teori Newton yang menyatakan bahwa setiap aksi terlahir dari setiap reaksi. Disini penonton akan melihat bagaimana setiap reaksi-reaksi itu yang melahirkan sosok Maleficent yang kita kenal sebagai tokoh antagonis klasik Disney.
Dunia peri dengan dunia manusia ternyata memiliki satu perbedaan yang khas, peri mampu hidup bersama dengan memegang teguh kepercayaan diantara mereka. Sebaliknya, dunia manusia hanya berisi tentang bagaimana untuk saling menguasai satu sama lain.
Saya cukup setuju dengan pendapat beberapa orang yang bilang bahwa Angelina Jolie merupakan satu-satunya sosok yang cocok untuk menampilkan karakter Maleficent. Terbukti, setelah menonton film ini, karakter Maleficent sangat menempel dengan Angeline Jolie, layaknya saya mengkaitkan Harry Potter dengan Daniel Radcliff. Jolie menampilkan sebuah penampilan yang fenomenal, dengan kostum yang terlihat berat yang dipadukan suara tawa berat Maleficent yang cukup creepy.
Dari jajaran cast-nya, mungkin yang cukup mengabil peranan adalah sosok Diaval, yang diperankan oleh Sam Riley. Penonton akan memutar pemikiran lama-nya ketika menyaksikan sosok burung gagak yang ternyata sangat loyal, namun baik hati. Atau, pada sosok tiga peri Aurora, Flittle, Knotgrass dan Thistlewitt. Ketiganya yang diperankan oleh Lesley Manville, Imelda Staunton, dan Juno Temple hadir sebagai bumbu komedi pelengkap film ini.
Film ini merupakan debut pertama Robert Stromberg sebagai sutradara. Pria yang sudah meraih dua kali Academy Awards ini dikenal sebagai Visual effect designer dan Production designer, seperti “Pan’s Labyrinth”, “The Hunger Games”, dan “Alice in Wonderland.” Cukup tak heran ketika film ini punya visualisasi efek yang cukup mengesankan, tetapi dalam beberapa bagian mudah terlihat. Sayangnya, pace film ini terkesan terlalu cepat bagi saya, namun mungkin ini disesuaikan dengan target penonton Disney yang masih kecil.
Serta untuk kesekian kalian James Newton Howard menampilkan suguhan musik yang menakjubkan. Kekuatan magis musik-musik ini cukup menyatu dalam merangkai kisah Maleficent. Apalagi ditambah dengan closing song “Once Upon a Dream” yang dinyanyikan Lana Del Rey. Wow!
Secara keseluruhan, film ini akan menjadi sebuah tontonan yang cukup menghibur. Film ini akan ditutup dengan sebuah narasi, “In the end, my kingdom was not united by a hero or a villain as legend predicted, but by one who was both hero and villain. Her name was Maleficent.” Yup, sosok Maleficent yang klasik akan melegenda dalam dunia Hollywood bersama Jolie. It’s memorable to watch and you’ll know what true love means.